Diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh orang-orang Tionghoa dan peranakannya di Indonesia pada zaman Kolonial, menurut Ben, muncul kembali di era Orde Baru. Dengan mekanisme yang masih sama persis dengan politik kolonial akhir abad 19, orang-orang Tionghoa dan peranakannya dibatasi ruang geraknya. Mereka di-bantji-kan kembali oleh pemerintahan Orde Baru.
Sebelum membahas lebih jauh tentang diskriminasi dan kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakannya di era Orde Baru, hal pertama yang harus diingat adalah Orde Baru itu sendiri merupakan sebuah rezim pemerintahan yang lahir setelah terjadinya sebuah peristiwa kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa.Â
Siauw Giok Tjhan, dalam bukunya G30S dan Kejahatan Negara, menuliskan bahwa pasca tragedi G30S berkembang sebuah doktrin anti-Tionghoa. Doktrin tersebut berangkat dari sebuah logika bahwa RRT (Republik Rakyat Tiongkok) sebagai negara yang berhaluan komunis berada dibalik tragedi G30S. Oleh sebab itu orang Tionghoa (yang dianggap mendukung RRT) secara otomatis juga mendukung komunisme dan harus segera diganyang.Â
Dalam konstruksi sosial yang seperti inilah Orde Baru lahir. Saya Shiraishi menyusun sebuah teori dalam bukunya Pahlawan-pahlawan Belia terkait lahirnya Orde Baru. Ia menuliskan bahwa Orde Baru lahir dari keterlambatan Sukarno untuk membahasakan tragedi G30S dengan bahasanya sendiri, sehingga kacaunya kondisi sosial dan budaya  saat itu dapat dimanfaatkan Suharto untuk membangun rezim Orde Baru dengan bahasanya yang membutuhkan bapak, yaitu bahasa kosong.
James Siegel dalam artikelnya yang berjudul Berbahasa menuliskan bahwa "Tidak punya "bahasa". Maka berdiri di luar dunia budaya dan sosial."(hlm. 341).Â
Berkaitan dengan pendapat Siegel tersebut, dalam sebuah poster di ruang kelas Palma, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, saya pernah membaca bahwa "Cultures comes through language". Berdasarkan kedua teori itu, dapat dipahami bahwa bahasa memegang peranan penting dalam sebuah proses kebudayaan. Tanpa bahasa, maka manusia dapat terpisah dari kebudayaannya, atau bahkan tidak berbudaya.
Sesuai dengan logika tersebut, maka menjadi terang permasalahan, mengapa di era Orde Baru orang-orang Tionghoa dilarang menyelenggarakan sekolah dan mendirikan pers nya sendiri. Melalui sekolah dan pers, bahasa memegang peranan vital dalam proses penyampaian informasi dan pembentukan pemahaman bersama.Â
Tentunya pemahaman bersama yang dimaksud disini berkaitan erat dengan konteks budaya yang melekat pada individu-individu yang hidup bersama tersebut.Â
Sekolah Tionghoa dan Pers Tionghoa akan membuat akar budaya Tionghoa (terutama melalui penggunaan bahasa) di Indonesia dapat menguat dan terus lestari, sehingga kesadaran akan hak-hak mereka dalam lingkungan sosial, budaya, dan juga politik dapat muncul. Hal ini jelas sebuah ancaman bagi stabilitas pemerintahan Indonesia, dari kaca mata rezim Orde Baru.Â
Oleh sebab itu, semasa rezim Orde Baru berkuasa, Orang-orang Tionghoa dan peranakannya dialienasi dari dunia politik dan pertahanan keamanan. Bahkan praktek kebudayaan mereka juga dilarang; seperti peringatan Hari Raya Imlek dan pertunjukan Barong Sai. Nama-nama Tionghoa juga harus dikonversikan ke nama-nama Indonesia.
Diskriminasi, kekerasan dan alienasi yang dialami oleh orang-orang Tionghoa dan peranakannya di Indonesia tidak hanya terjadi di awal kelahiran dan di era berkuasanya rezim Orde Baru. Â Seno Gumira Ajidarma, dalam cerpennya yang berjudul "Clara", memotret bentuk-bentuk kekerasan (penganiayaan dan perkosaan) yang diderita orang-orang Tionghoa dan peranakannya sewaktu pecah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.Â