Tanggal 14 Oktober diperingati sebagai HARI PENGLIHATAN SEDUNIA. Memperingati penglihatan sama saja memperingati mata sebagai indra penglihatan. Menariknya, mata juga mempunyai berbagai fungsi lain.Â
Mata sebagai alat komunikasi, penjaga keseimbangan, kamera pengawas, dan alat membaca. Pada tulisan ini, saya fokus saja pada fungsi mata sebagai alat membaca. Hemat saya, hal ini sangat mendesak bagi bangsa kita. Mari kita jawab membatin pertanyaan berikut. Sudahkah kita selalu memanfaatkan mata untuk membaca?Â
Pada umumnya seseorang sudah membaca sejak TK atau SD. Saat itu ia membaca abjad, suku kata, kata, hingga kalimat. Seterusnya ia membaca untuk tujuan tertentu. Misalnya, membaca untuk didengarkan orang lain atau membaca untuk memahami apa yang sedang dibacakan. Biasanya seseorang membaca pada jam sekolah. Ia membaca sekadar untuk urusan sekolah. Indonesia membutuhkan pribadi-pribadi yang membaca melampaui jam sekolah. Artinya kita juga membaca pada waktu-waktu luang dan dimanapun. Itulah tolok ukur tingginya minat baca.Â
Berdasarkan hasil survei UNESCO tahun 2022 lalu, minat baca Indonesia menempati urutan ke 60 dari 70 negara. Standar internasional dalam membaca adalah setiap tahun seseorang harus membaca minimal 3 buku baru.Â
Orang Jepang rata-rata bisa membaca hampir 20 buku baru setiap tahun. Sedangkan Indonesia hanya satu buku baru, tapi itu pun dibaca oleh 90 orang. Sungguh memprihatinkan, bukan? Meski demikian, kita jangan pesimis.Â
Menurut survei Perpusnas, minat baca masyarakat Indonesia tahun 2022 sebesar 63, 9 poin, meningkat 7,4% dari tahun sebelumnya. Jadi, terang harapan minat baca masyarakat Indonesia sebetulnya tidak meredup. Tanggung jawab kita hanya memacu diri sendiri dan sesama agar nyala harapan minat baca kita makin terang.Â
Negara Indonesia lahir dan bertumbuh dari hasil membaca. Soekarno, Moh. Hatta, Kartini, dan masih banyak nama besar lainnya merupakan sejumlah tokoh bangsa yang telah berjasa melahirkan dan mengembangkan Indonesia karena membaca. Konon pada tahun 1916, Soekarno pernah menulis: "Buku mengenalkanku pada dunia dengan pikiran-pikiran terhebat dan aku ingin dunia tahu, aku dan bangsaku juga besar."Â
Moh. Hatta juga demikian. Ia sangat akrab dengan buku. Bahkan di jeruji besi pun ia tidak kesepian. Buku selalu menemani kesendiriannya. Ketika saatnya bebas, Moh. Hatta keluar dengan ide-ide cemerlang yang kian membakar daya juang. Seumur hidupnya, Moh. Hatta berhasil mengoleksi ribuan judul buku.Â
Hal yang sama juga dengan Kartini di tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1903 ia menulis: "Aku benamkan diriku dalam membaca dan membaca." Itulah yang terekam dalam buku kumpulan surat-suratnya Habis Gelap, Terbitlah Terang. Soekarno dan para tokoh penting lainnya tidak mungkin punya segudang ide untuk melahirkan dan membesarkan Indonesia tanpa membaca. Mereka menemukan itu dalam berbagai buku.Â
Hebatnya, mereka menyukai buku ketika teknologi informasi belum pesat. Bacaan-bacaan masih terbatas. Berbeda dari itu, sekarang referensi bacaan ada di mana-mana; murah dan mudah didapat. Kita bisa ke toko buku terdekat atau ke perpustakaan. Lebih gampang lagi dengan searching di google. Segudang literatur e-book bisa kita download secara gratis. Kita sedang berada di lautan referensi bacaan. Kita hanya butuh rasa suka untuk membaca semua itu.Â
Perasan suka membaca bisa tumbuh karena dua hal berikut. Pertama, menemukan manfaat gemar membaca. Ini sangat penting. Tanpa memahami pentingnya gemar membaca, mustahil seseorang suka membaca. Keseringan membaca dapat membantu seseorang lebih berkualitas dalam 3 aspek; intelektual, sosial, dan fisikal.Â
Secara intelektual seseorang akan memperoleh wawasan yang kaya. Pemikirannya semakin tajam dan kreatif. Secara sosial, seseorang yang banyak membaca lebih terbuka menerima berbagai perbedaan. Setelah membaca dari banyak sumber terpercaya, seseorang tidak akan mudah terprovokasi oleh omongan-omongan keliru yang merusak kebersamaan.Â
Kemudian secara biologis, kegemaran membaca dapat mencegah terjadinya pikun. Bagi hidup secara keseluruhan, orang yang banyak membaca lebih sering bahagia. Demikian kata mantan Duta Baca Indonesia, Najwa Sihab.
Kedua, memulai dari lingkungan keluarga. Beberapa waktu lalu saya pernah berbincang dengan teman saya yang sedang melanjutkan studinya di Italia. Dalam perbincangan itu saya menumpahkan keluhan saya tentang rendahnya minat baca para siswa di Indonesia.Â
Saya bertanya, apakah itu disebabkan karena kuatnya gempuran alat komunikasi yang tampakanya lebih menarik? Kalau bukan itu, hal apa sesungguhnya yang menjadi biang kerok rendahnya minat baca para siswa kita. Teman saya menanggapi keluhan dan pertanyaan saya dengan bercerita tentang realitas yang ia amati di Italia.Â
Di sana, teknologi apapun termasuk teknologi komunikasi jauh lebih canggih melampaui yang kita miliki. Namun, masyarakat di sana tidak sampai kecanduan teknologi. Mereka bisa menjadi tuan atas hanphone yang mereka miliki.Â
Mereka tahu kapan hanphone digunakan dan kapan diistirahatkan. Di samping itu, sebelum seorang anak mengenal hanphone, ia terlebih dahulu diperkenalkan dengan budaya membaca di dalam rumah.Â
Orangtua adalah contoh dan teladan pertama membaca. Jadi, minat baca anak tidak menunggu di sekolah melalui paksaan para guru. Sekolah hanya menjadi lingkungan lain yang ikut mengkondisikan kebiasaan membaca. Minat itu sudah mulai lahir dan mengakar di dalam keluarga sehingga bertumbuh menjadi kebiasaan di mana-mana.Â
Lalu bagaimana dengan negara kita?Â
Kalau di Italia sudah membudaya, di Indonesia juga bisa, dimulai dari Anda dan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H