Rina menoleh menatap Andi. Keduanya beradu pandang beberapa detik. Memberi kesempatan Rina untuk menyelidik tujuan dari perkataan Andi barusan. Nyatanya dia tak mendapatkan tanda ejekan atau kekecewaan lain selain ketulusan.Â
Rina kembali tertunduk menatap kakinya yang pucat. Sedari tadi dia pikir suaminya akan memarahinya bahkan akan membicarakan perceraian dengannya. Tetapi dugaannya salah. Perkataan suaminya barusan serasa menohok hatinya lebih dalam. Membuatnya berpikir bahwa dia memang sedang tidak baik-baik saja.
"Rin, apakah kamu marah? Tersinggung dengan perkataanku barusan?"
"Eem, tidak. Entahlah! Apakah selama ini kamu menilaiku gila? Maksudku tidak baik-baik saja?"
"Ya, kejadian tadi sore. Apa yang kamu lakukan pada Vino. Beberapa hari lalu kamu juga hampir menelan obat banyak-banyak. Beberapa kali kehilangan respon dan emosimu tidak stabil. Aku khawatir, aku tak mau kehilangan atau terjadi apa-apa padamu dan Vino."
Rina mulai menangis, ketegangan yang tadi menjadi tumpuannya kini hilang. Tubuhnya lemas bersandar di pelukan suaminya dengan air mata penyesalan. Perkataan suaminya benar, apa yang dilakukannya pada Vino dan sebelum-sebelumnya bukan keinginannya. Akhir-akhir ini terkadang tanpa sadar dia bertindak bodoh menyakiti diri sendiri namun terkadang hatinya merasa senang tanpa sebab.
" Kalau kamu mau kita pergi ke dokter ya?"
"Maksudmu aku gila mas? Harus ke RSJ?"
"Tidak, ke dokter bukan berarti gila, mungkin dengan ke dokter kamu akan diberi obat atau apa yang bisa membuatmu kembali seperti dulu sayang. Aku akan menemani besok jika kau setuju."
Rina tetap memeluk suaminya dan menangis. Tak ada jawaban mengiyakan ajakan Andi namun juga tak ada respon menolak. Butir air mata wanita itu cukup deras hingga membasahi bajunya. Memperlihatkan kerapuhan yang selama ini dipendamnya sendirian.
"Aku malu mas harus ke SpKj," lirih suara Rina terdengar di telinga Andi. Lelaki itu tersenyum mencium kening wanita yang dicintainya dengan tulus. Berusaha menghadirkan kenyamanan dan kekuatan untuk Rina.