"Sebentar lagi Mas, ada apa?"
"Kalau sudah selesai kita bicara ya, mumpung Vino masih tidur," ajak Andi yang membuat jantung Rina berdetak makin kencang. Membangun kekhawatiran yang terasa logis dipikiran Rina hingga membuat dadanya sesak.
"Ya Mas, nanti kususul."
Rina menyempatkan diri melongok Vino yang tengah terlelap. Memastikan Vino dalam keadaan aman. Ah, lebih tepatnya mengulur waktu untuk meredam detak jantungnya yang tengah terpacu kencang sebelum berbicara pada suaminya.Â
Dihirupnya nafas panjang-panjang dan menghembuskannya berkali-kali. Mencoba membangun tembok kepasrahan jika ketakutannya akan perceraian terjadi dalam pembicaraan nanti. Bayiku yang manis, sungguh tak adil untukmu jika mama dan papa bercerai, gumamnya.
Rina melangkah mendekati suaminya yang tengah duduk bersandar di sofa biru depan televisi. Andi yang menyadari kedatangan Rina meletakkan gawai di tangannya ke sofa sebelah kirinya. Senyumnya mengembang dan tangan kanannya menyambut Rina. Sedikit menyeret Rina agar segera duduk disebelahnya. Rina menurut namun ekspresinya beku, seperti seorang tersangka yang siap diadili. Membuat Andi mengerti, dengan cara apa dia berbicara.
"Rin, apa kamu sedang sakit?"
"Tidak!" jawab Rina singkat. Andi dengan tenang membelai rambut istrinya. Dilihatnya wanita yang sangat dicintainya itu dengan seksama. Andi tersadar sejak kelahiran Vino rasanya komunikasi dengan Rina tak serutin dulu. Mereka berdua seolah tenggelam dalam kesibukan adaptasi kebiasaan baru mengurus Vino.
"Sayang, ku rasa kamu sedang tidak baik-baik saja. Maksudku badanmu sehat tetapi hatimu, ah ... maksudku pikiranmu sedang sakit,"
"Maksudmu aku gila?"
"Tidak! Bukan sayang. Mungkin babyblues dan semacamnya, yang pasti kamu sepertinya memerlukan lebih dari sekedar aku," kata Andi sedikit berhati-hati dengan tetap membelai rambut istrinya.