Jiwa yang Berkarat
Oleh Yohana Hartriningtyas
Ada perasaan resah ketika Andi tak mendapati istrinya menunggu di teras rumah sore ini. Di ruang tamu pun tak tampak keberadaannya. Sepi. Samar-samar telinganya menangkap suara bayi menangis berasal dari kamar yang hanya dibatasi tembok ruang tamu. Lelaki di liputi kelegaan sesaat sebelum yang melihat istri dan anaknya di kamar.
"Rin! Apa yang kamu lakukan!" teriaknya sambil berlari mengapai bantal yang hampir dijejalkan Rina ke wajah bayi mereka yang baru berusia 3 bulan.
Rina terperanjat. Melompat dan berdiri mematung di pinggiran kasur. Seolah mempersilahkan Andi suaminya merebut bantal dan membuangnya entah ke mana.Â
Matanya tenggelam melihat gerakan tangan kekar Andi yang meraih dan mengendong bayi yang tadinya terbaring menangis di hadapannya. Tak ada suara teguran atau sapaan yang keluar dari mulut Andi saat mereka bertemu tatap beberapa detik. Pria itu melangkah pergi begitu saja meninggalkan kamar dan dirinya dalam gemuruh emosi yang berkecamuk.
Beberapa menit berlalu. Suara tangisan bayi bernama Vino perlahan terhenti, membuat kesadaran logika Rina kembali. Wanita itu duduk bersimpuh dan mulai menangis menyesali perbuatannya.Â
Apa yang barusan dia lalukan? Kenapa bisa dia setega itu ingin membunuh bayinya sendiri dengan bantal? Bayinya hanya menangis, bukankah wajar karena bayi hanya bisa menangis? Tapi kenapa? Ada apa denganku hingga aku melakukan itu? Entahlah. Setidaknya dia bersyukur akan kedatangan suaminya yang menyelamatkan Vino.
***
Keluar dari kamar Andi memeluk Vino erat. Menimang-nimang bayi kecilnya dengan penuh rasa sayang untuk meredakan tangisnya. Rasa lelah sepulang bekerja menguap entah ke mana saat mendapati perbuatan istrinya tadi. Dirinya sedikit marah namun lelaki itu cukup rasional untuk mengerti keadaan istrinya yang tengah tidak baik-baik saja.Â
Ya, Rina tidak dalam keadaan rasional. Babyblues atau depresi mungkin, tapi sepertinya lebih dari itu. Ingin rasanya mengajak Rina memeriksakan diri ke SpkJ rekomendasi temannya, tetapi hatinya tak kuasa. Dia takut istrinya salah sangka menyebutnya gila, tetapi hari ini dia bertekad untuk membicarakannya. Rina sudah terlalu sakit hingga hampir membunuh anaknya. Andi tahu istrinya sedang butuh pertolongan lebih dari sekedar support darinya.
Dilihatnya Rina keluar dari kamar dengan keadaan memprihatinkan. Matanya merah dan sedikit basah habis menangis. Rambutnya kusut serta hidung sedikit berair. Langkah kaki Rina yang mendekat mempertajam bau asam yang berasal dari tubuh wanita itu. Seharian mungkin istrinya belum sempat mandi pikirnya.