Sekitar satu tahun yang lalu, Film Endgame garapan Marvel berhasil mengambil hati kita semua. Saat itu, linimasa dihias dengan "Endgame, Avengers, matinya Ironman" dan lain sebagainya. Isu tersebut seperti oksigen baru bagi netizen di jagat maya.
Ketika kita bosan dengan berita saling klaim berkaitan dengan penghitungan suara antar kandidat presiden, Endgame hadir dengan kedigdayaannya yang khas Amerika. Di posisi itu, saya amat berterima kasih kepada Marvels dan tentu saja Hollywood.
Jika kita mencoba tekun mencermati media sosial saat itu, semua orang berbondong-bondong posting soal Endgame; mulai dari ramainya antrian tiket, epik dari alur yang mengharu biru, hingga kematian Ironman, yang bisa dikatakan sebagai simbol kental dari Marvels itu sendiri.Â
Hollywood telah menghegemoni jagat perfilman sejak awal abad-20. Khusus di Indonesia, Hollywood telah menjadi kiblat perfilman. Katakanlah, ia sudah menjadi kiblat film berkategori bagus dan menghibur.
Persepsi kita seakan sudah diarahkan oleh Hollywood, bahwa film yang bagus adl film yang memiliki happy ending, superhero akan menjadi pemenang, dunia akan damai, kejahatan akan kalah dengan kebaikan. Lihat saja Endgame! Pe(rang)mainan berakhir dengan Avengers sebagai pemenangnya, walau harus mengorbankan Ironman dan Black widow.
***
Saat ini, linimasa kita juga banyak dihiasi oleh berita yang mengharu biru: Covid-19. Hampir setiap jam, stasiun TV secara bergantian menyiarkan berita terkait Covid-19. Mulai dari jumlah korban jiwa yang berjatuhan, hingga langkah-langkah taktis penanganannya.
Hidup kita saat ini sangat bergantung dengan para medis yang kini menjadi pahlawan menggantikan Ironman dan kawan-kawannya. Semua orang resah, khawatir kalau-kalau mereka terkena virus mematikan tersebut. Beberapa negara pun mencoba peruntungan dengan memberlakukan lockdown.
Reaksi pun bermacam-macam; ada yang berhasil menekan angka penyebaran virus, namun ada pula yang mengalami chaos. Seluruh dunia, baik negara maju mau pun negara berkembang bahu membahu melawan virus itu secara bersama-sama.
Di Indonesia, pemerintah melakukan banyak hal untuk menyelamatkan rakyatnya dari virus ini. Bala bantuan dari luar negeri didatangkan, rumah sakit khusus penangulangan virus ini disiagakan, bahkan sekolah, kantor, dan tempat hiburan ditutup secara paksa. Semua untuk menyelamatkan warga dari virus mematikan tersebut.
Imbas dari virus ini selanjutnya sangat mematikan: sektor ekonomi mikro mengalami kemandekan finansial, secara pribadi, kita berperang melawan gejala psikosomatis dan tekanan mental akibat shock yang tak jelas kapan akan berakhir. Virus ini begitu mematikan: ia tak nampak, namun ketika menjangkit, manusia akan menjadi medium untuk penyebarluasan virus tersebut. Absurd.