Semakin tingginya mobilitas ternyata membawa perubahan pola transportasi sebagian besar masyarakat kita. Mereka yang awalnya cukup terlayani dengan angkutan umum dengan trayek tertentu, kini bergeser dengan jasa ojek roda dua.Â
Selain lebih cepat, masyarakat agaknya jengah dengan kondisi mayoritas angkutan umum swasta kita. Usia kendaraan yang relatif tua, mesin tidak sehat, tidak nyaman, serta rawan kejahatan disinyalir sebagai faktor-faktor utama beralihnya konsumen ke ojek daring.Â
Akses yang mudah bagi penumpang, hanya dengan ponsel dan jaringan internet, juga membuat angkutan umum kalah telak dalam aspek direct service. Ojek yang dulunya hanya dipilih konsumen sebagai alat transportasi alternatif atau malah pelengkap, kini justru menjadi primadona dengan berbagai keunggulannya.
Pemerintah memang masih terus bergerak mewujudkan transportasi massal yang layak, seperti LRT, MRT, perbaikan dan inovasi tanpa henti pada kereta api, dan pengembangan berbagai jaringan trayek bus massal, seperti Transjakarta.Â
Dalam suatu sistem transportasi massal, idealnya ojek dan angkutan massal lain mutlak untuk bersinergi satu sama lain, agar masyarakat terlayani secara point to point.Akan tetapi selama hal tersebut belum terwujud, sulit rasanya menafikan keberadaan ojek dan membiarkan konsumen hanya memprioritaskan transportasi ojek daring yang harusnya ilegal.
- Belum adanya standar tarif yang berlaku.
Sejak dirilisnya Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No 108 tahun 2017, polemik yang melibatkan mitra dari ojek daring adalah belum adanya perubahan terhadap standar tarif yang berlaku. Bagi mereka, tarif yang diterapkan sepihak oleh aplikator saat ini masih jauh panggang dari api.Â
Di sisi lain, pengojek konvensional pun menganggap rendahnya tarif ojek daring berimplikasi kepada respons negatif konsumen yang terbiasa dicekoki tarif promo dari aplikator ojek daring.
- Kerap menimbulkan konflik
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kehadiran ojek daring tidak selalu mulus. Sejak hadir secara daring di medio 2015, eksistensi ojek daring terus meningkat dengan berbagai citra positif maupun negatif. Beberapa peristiwa bentrok dengan angkutan umum, ojek konvensional, hingga friksi dengan pengguna jalan lain membuat sebagian media menyebut ojek daring sebagai "Geng Motor Baru".
Sebuah ironi, ketika jasa transportasi yang cukup powerful secara bisnis justru terkadang menjadi ancaman bagi lingkungan sekitar. Ditambah dasar hukum yang belum jelas, membiarkan para pengojek daring dengan tarif (yang menurut mereka) rendah bagaikan menyimpan api dalam sekam. Bukan tidak mungkin, kekecewaan mereka akan terakumulasi dan menemukan momentum lain yang bisa memicu konflik horizontal. - Standar keselamatan dan keamanan yang belum terpenuhi
Mengingat keberadaannya yang belum legal, aturan mengenai standar keselamatan dan keamanan juga belum diatur. Padahal, data kepolisian tahun 2017 menyebutkan, bahwa 71% kecelakaan di tahun 2016 terjadi pada sepeda motor. Adanya standar yang jelas bagi pengemudi dan penumpang tentu memperkecil peluang statistik di atas terulang.
Pemerintah sebagai regulator sudah sepatutnya mengambil langkah cepat dan tegas. Diperlukan payung hukum untuk melegalkan atau melarang kendaraan roda dua sebagai angkutan umum.Â
Jika konsep ojek saja tidak terdefinisikan, maka sulit untuk bisa menjamin proteksi baik kepada aplikator, mitra pengemudi, maupun penumpang. Sepeda motor sejatinya memang tidak pernah didefinisikan sebagai moda transportasi umum.
Akan tetapi perubahan pola transportasi mayoritas masyarakat urban dengan memanfaatkan kendaraan roda dua untuk mobilitas, membawa pemerintah pada dua pilihan, melegalkan atau melarang keberadaan ojek.Â
Jika pemerintah bergeming pada UU 29 tahun 2009, maka pelarangan keras dan tegas terhadap ojek baik konvensional maupun daring adalah suatu keniscayaan. Namun demikian, pilihan untuk merevisi undang-undang tetap dimiliki, meski dengan standar baku layanan yang mungkin akan sedikit merepotkan pada awal implementasinya.