Mohon tunggu...
Yoga Suganda
Yoga Suganda Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Inikah "Quo Vadis" Ojek?

27 April 2018   16:41 Diperbarui: 27 April 2018   16:43 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Perpindahan atau mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat lain merupakan suatu keniscayaan dan telah berlangsung sejak dulu kala. 

Namun demikian, proses perpindahan antartempat tersebut baru menemui perkembangan signifikan sejak penemuan roda pada 3.500 tahun sebelum masehi. Selanjutnya, alat transportasi terus berkembang hingga hari ini. 

Diawali dari perubahan cara menggerakkan alat, penggunaan mesin penggerak, pola keselamatan, hingga sekarang berkembang tak hanya menjadi bisnis dengan target penguasaan pasar, tapi juga sekaligus menguasai database.   

Percepatan kemajuan teknologi melalui masifnya jangkauan internet membawa banyak kemudahan, tak terkecuali di Indonesia. Negeri yang jumlah penduduknya hampir 262 juta jiwa dan tersebar di belasan ribu pulau ini merasakan dampak yang signifikan dari teknologi. Kemudahan dalam bertransaksi, berkomunikasi, hingga akses informasi, seolah menjadikan Indonesia terasa dekat satu sama lain. 

Dilansir dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pada tahun 2017, separuh penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan internet. Pemanfaatan teknologi pun pada akhirnya terserap di semua lini kehidupan, tak terkecuali di dunia transportasi. 

Pola bisnis yang sebelumnya (mungkin) belum pernah terpikirkan di ranah transportasi pun tercipta. Sebuah perusahaan transportasi bisa menjadi besar tanpa sedikit pun memiliki aset produktif dalam bentuk kendaraan.

Ojek sebagai salah satu jasa mobilisasi penumpang telah eksis sejak 1960-an. Tak hanya di Indonesia, jasa transportasi roda dua juga sudah ditemui di berbagai belahan dunia lain. Media yang digunakan pun terus bertransformasi, dari sepeda nirmesin hingga kendaraan bermotor lebih dari dua roda, atau kolaborasi keduanya. 

Kemampuannya menyelinap dalam kemacetan, bisa langsung menjangkau tempat tujuan dan tanpa trayek khusus, membuatnya menjadi favorit masyarakat. Tak hanya itu, entry barrier yang rendah membuat orang tidak sulit untuk beralih profesi dan mencari rezeki dengan menjadi pengojek. 

Asalkan bermodal sepeda motor, keahlian mengendarai, serta menguasai berbagai tujuan di wilayahnya, dipastikan mudah untuk menjajakan jasa sebagai pengojek.

Namun sayangnya, keberadaan ojek sama sekali tidak diakui oleh pemerintah. Hal itu tercermin di UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 47 ayat 2, disebutkan bahwa Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:

  • Sepeda Motor,
  • Mobil Penumpang,
  • Mobil Bus,
  • Mobil Barang, dan
  • Kendaraan Khusus.

Sedangkan dalam pasal 47 ayat 3, dijelaskan bahwa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b, c, dan d dikelompokkan berdasarkan fungsi:

  1. Kendaraan Bermotor Perseorangan,
  2. Kendaraan Bermotor Umum.

Pada Pasal 138 ayat 2 pun menjelaskan bahwa "angkutan umum dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum". Artinya, kendaraan roda dua tidak dikategorikan sebagai kendaraan bermotor umum. Dengan kata lain, bisnis jasa ojek roda dua sejatinya adalah bisnis yang terlarang di negeri ini.

Lantas apakah dengan terlarangnya bisnis ojek membuat masyarakat menjauh? Berbanding terbalik dengan pemerintah, dewasa ini masyarakat justru menjadikan jasa ojek (terlebih ojek daring) menjadi semacam candu. 

Kebutuhan akan jasa ojek seakan tidak terhindarkan, utamanya di kota-kota besar. Jika pada awalnya jasa ojek daring hanya berfungsi untuk antar dan jemput manusia, kini bertransformasi mempertemukan berbagai pihak yang saling membutuhkan. 

Peluang bisnis pun jadi semakin terbuka lebar. Di sisi lain, aspek keamanan bagi kedua belah pihak menuai kritik dari banyak pihak. Baik penumpang maupun pengemudi sama sekali tidak mempunyai standar baku keselamatan. 

Tentu ini bukanlah suatu kondisi ideal dan diinginkan. Karena bukan tidak mungkin, ketika terjadi insiden yang fatal dan merugikan, pada akhirnya pemerintah yang mengambilalih peran.  

Kolaborasi teknologi dengan transportasi pada akhirnya terjadi pada tahun 2009 di San Fransisco, Amerika Serikat dengan Uber sebagai pionirnya. Kehadiran jasa transportasi berbasis online (daring) tersebut sejak awal ditolak oleh banyak negara bagian disana, mengingat longgarnya regulasi terhadap pola bisnis ini. 

Akan tetapi, nyatanya Uber terus berkembang pesat. Tercatat, 81 negara di seluruh benua sudah mereka singgahi dan berbagi manfaat dengan mitra disana. Beragam jasa bisnis transportasi ride sharing ini juga menjamur di Indonesia sejak 2010, dengan diawali oleh kehadiran Gojek. 

Selanjutnya beberapa pemain lokal seperti Blue-Jek, Ojesy, Transjek, Golek, dan lainnya sempat berkompetisi berebut penumpang di negeri ini. Seleksi alam pada akhirnya menyisakan Gojek dengan pesaing tunggal, Grab, dari Malaysia, yang mendominasi pasar Indonesia, setidaknya sampai hari ini.

Era kolaborasi transportasi dengan teknologi sesungguhnya hanyalah awal, atau pintu masuk bagi masyarakat untuk terkoneksi dan terlayani secara digital. Karena sesungguhnya pola digital ini akan memiliki impact yang besar dalam kehidupan secara menyeluruh. 

Semakin luasnya jaringan internet dan terjangkaunya harga gawai sebagai media untuk mengakses layanan digital membuat layanan wireless jadi hal yang lazim serta dianggap mudah dan murah.

Aplikasi yang dibangun oleh Gojek, misalnya, saat ini sudah bisa melayani berbagai kebutuhan, mulai dari pulsa ponsel, pindah rumah, hingga menghilangkan pegal di badan. 

Tercatat saat ini Gojek sudah memiliki enam belas layanan spesifik kepada pelanggan, dan tentu akan terus bertambah ke depannya. Terlepas dari berbagai isu persaingan tak imbang, dalam konteks strategi pemasaran, antara Gojek dengan pesaing lokal lain, ketergantungan manusia Indonesia pada platform layaknya Gojek nyaris tak terelakkan. Bahkan kenyataan bahwa Gojek tak lagi murni dimiliki oleh Indonesia, tak sedikit pun membuat pelanggan mengubah pilihan.

Mengutip dari hasil penelitian bersama antara Lembaga Demografi UI dengan Gojek Indonesia pada tahun 2017, diperoleh kesimpulan bahwa Gojek berhasil berkontribusi pada perekonomian dengan melibatkan mitra pengojek maupun mitra UMKM. 

Tak tanggung-tanggung, angka yang diklaim sebagai kontribusi dari kolaborasi Gojek dengan mitra pengojek mencapai 8,2 triliun rupiah per tahun. Sedangkan kontribusi bagi perekonomian dari kolaborasi Gojek dengan mitra UMKM mencapai 1,7 triliun rupiah per tahun.

Perubahan cara dari konvensional menjadi daring dalam mobilisasi penumpang menggunakan kendaraan roda dua sejatinya merupakan perubahan revolusioner, sebuah disrupsi, yang tentunya membawa dampak bagi pihak-pihak yang terlibat. 

Perubahan signifikan yang tidak hanya aspek pola layanan, biaya, tetapi juga pola pemilikan terhadap aset (dalam hal ini sepeda motor) yang awalnya menjadi core dari bisnis tersebut.

Salah satu pihak yang terdampak langsung adalah jasa ojek konvensional, yang pada awal kemunculan ojek daring menimbulkan konflik horizontal diantara mereka. Konflik yang menyisakan beberapa cerita yang tidak mengenakkan, karena menimbulkan kerusakan dan beberapa korban luka di beberapa kota di Indonesia.

Beberapa permasalahan yang kini timbul dari fenomena tersebut diantaranya:

  • UU No. 22 tahun 2009 tentang angkutan umum tidak mengakui sepeda motor sebagai moda angkutan umum.

Keberadaan ojek sejak tahun 60-an sampai hari ini, patut mendapat atensi khusus dari pemerintah. Kemampuannya menjelajah hingga gang sempit masih menjadi salah satu andalan masyarakat dalam beraktvitas. 

Peninjauan perlu segera dilakukan mengingat banyaknya perubahan situasi dan kondisi sejak kali terakhir undang-undang tersebut diketuk palu. Jika tidak, pemerintah tentu harus konsisten dan tegas dalam memaknai kehadiran roda dua di jalanan negeri ini. Tidak ada lagi sepeda motor yang diperbolehkan mengaspal untuk menjajakan jasa transportasi kepada masyarakat.

Tidak adanya payung hukum sejatinya membahayakan bagi stakeholder, karena bisnis (baik prinsipal maupun pemodal) menjadi tidak memiliki kepastian hukum, konsumen tidak terproteksi, dan pemerintah dianggap tidak tanggap dalam merespons dan beradaptasi dengan kondisi yang tengah berubah. 

Terlebih jasa transportasi roda dua dalam bisnis ini melingkupi database masyarakat Indonesia, dengan backup dana besar dari luar negeri yang tentunya memiliki potensi impact non bisnis.

  • Sistem angkutan umum yang sifatnya massal saat ini belum layak dan memadai,

Semakin tingginya mobilitas ternyata membawa perubahan pola transportasi sebagian besar masyarakat kita. Mereka yang awalnya cukup terlayani dengan angkutan umum dengan trayek tertentu, kini bergeser dengan jasa ojek roda dua. 

Selain lebih cepat, masyarakat agaknya jengah dengan kondisi mayoritas angkutan umum swasta kita. Usia kendaraan yang relatif tua, mesin tidak sehat, tidak nyaman, serta rawan kejahatan disinyalir sebagai faktor-faktor utama beralihnya konsumen ke ojek daring. 

Akses yang mudah bagi penumpang, hanya dengan ponsel dan jaringan internet, juga membuat angkutan umum kalah telak dalam aspek direct service. Ojek yang dulunya hanya dipilih konsumen sebagai alat transportasi alternatif atau malah pelengkap, kini justru menjadi primadona dengan berbagai keunggulannya.

Pemerintah memang masih terus bergerak mewujudkan transportasi massal yang layak, seperti LRT, MRT, perbaikan dan inovasi tanpa henti pada kereta api, dan pengembangan berbagai jaringan trayek bus massal, seperti Transjakarta. 

Dalam suatu sistem transportasi massal, idealnya ojek dan angkutan massal lain mutlak untuk bersinergi satu sama lain, agar masyarakat terlayani secara point to point.Akan tetapi selama hal tersebut belum terwujud, sulit rasanya menafikan keberadaan ojek dan membiarkan konsumen hanya memprioritaskan transportasi ojek daring yang harusnya ilegal.

  • Belum adanya standar tarif yang berlaku.

Sejak dirilisnya Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No 108 tahun 2017, polemik yang melibatkan mitra dari ojek daring adalah belum adanya perubahan terhadap standar tarif yang berlaku. Bagi mereka, tarif yang diterapkan sepihak oleh aplikator saat ini masih jauh panggang dari api. 

Di sisi lain, pengojek konvensional pun menganggap rendahnya tarif ojek daring berimplikasi kepada respons negatif konsumen yang terbiasa dicekoki tarif promo dari aplikator ojek daring.

  • Kerap menimbulkan konflik
    Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kehadiran ojek daring tidak selalu mulus. Sejak hadir secara daring di medio 2015, eksistensi ojek daring terus meningkat dengan berbagai citra positif maupun negatif. Beberapa peristiwa bentrok dengan angkutan umum, ojek konvensional, hingga friksi dengan pengguna jalan lain membuat sebagian media menyebut ojek daring sebagai "Geng Motor Baru".
    Sebuah ironi, ketika jasa transportasi yang cukup powerful secara bisnis justru terkadang menjadi ancaman bagi lingkungan sekitar. Ditambah dasar hukum yang belum jelas, membiarkan para pengojek daring dengan tarif (yang menurut mereka) rendah bagaikan menyimpan api dalam sekam. Bukan tidak mungkin, kekecewaan mereka akan terakumulasi dan menemukan momentum lain yang bisa memicu konflik horizontal.
  • Standar keselamatan dan keamanan yang belum terpenuhi
    Mengingat keberadaannya yang belum legal, aturan mengenai standar keselamatan dan keamanan juga belum diatur. Padahal, data kepolisian tahun 2017 menyebutkan, bahwa 71% kecelakaan di tahun 2016 terjadi pada sepeda motor. Adanya standar yang jelas bagi pengemudi dan penumpang tentu memperkecil peluang statistik di atas terulang.

Pemerintah sebagai regulator sudah sepatutnya mengambil langkah cepat dan tegas. Diperlukan payung hukum untuk melegalkan atau melarang kendaraan roda dua sebagai angkutan umum. 

Jika konsep ojek saja tidak terdefinisikan, maka sulit untuk bisa menjamin proteksi baik kepada aplikator, mitra pengemudi, maupun penumpang. Sepeda motor sejatinya memang tidak pernah didefinisikan sebagai moda transportasi umum.

Akan tetapi perubahan pola transportasi mayoritas masyarakat urban dengan memanfaatkan kendaraan roda dua untuk mobilitas, membawa pemerintah pada dua pilihan, melegalkan atau melarang keberadaan ojek. 

Jika pemerintah bergeming pada UU 29 tahun 2009, maka pelarangan keras dan tegas terhadap ojek baik konvensional maupun daring adalah suatu keniscayaan. Namun demikian, pilihan untuk merevisi undang-undang tetap dimiliki, meski dengan standar baku layanan yang mungkin akan sedikit merepotkan pada awal implementasinya.

Oleh karena itu, diperlukan satu beleid yang mengatur bisnis ojek, baik konvensional maupun ojek daring, secara menyeluruh. Beberapa poin penting yang harus diintervensi pemerintah adalah aspek keselamatan, dikotomi ojek penumpang dan barang, serta batas tarif yang berlaku. Aspek keselamatan yang dapat dipertimbangkan meliputi perlengkapan pelindung pendukung, seperti di bagian kaki dan tangan. 

Sedangkan untuk ojek pengangkut barang, spesifikasi boks juga diatur dimensi dan materialnya agar ideal dengan tiap jenis sepeda motor. Adapun penetapan batas bawah dan batas atas per kilometer diatur dengan nominal yang dirasa adil bagi aplikator dan mitra pengemudi. 

Tarif yang berlaku saat ini (tanpa potongan diskon/tarif promo) dapat dijadikan rujukan harga per kilometer. Hal lain yang patut dipertimbangkan adalah perlunya penanda/atribut khusus kepada ojek konvensional yang sedang melayani pelanggan.

Hal lain yang perlu diatur adalah perlunya pemberdayaan ojek konvensional. Pemantik konflik yang timbul antar pengemudi ojek sejak keberadaan ojek daring adalah anjloknya jumlah penumpang. 

Tarif promo yang murah dan kemudahan dalam melakukan pemesanan jelas membuat penumpang perlahan tapi pasti berpaling ke ojek daring. Sementara itu, terdapat kendala bagi pengemudi ojek konvensional untuk bergabung menjadi mitra ojek daring. Hal tersebut antara lain karena faktor kegagapan teknologi, usia pengemudi, kendaraan yang dimiliki, sampai ketidakinginan terikat dengan perusahaan.

Beberapa saran yang bisa dilakukan:

       1. Menjadikan pengojek konvensional sebagai mitra terdaftar di tiap lingkungan kelurahan/kecamatan.

  • Pada tahap awal, titik pangkalan harus ditentukan terlebih dahulu dan dengan kontrol yang tepat. Pertimbangan akan titik pangkalan bisa berdasarkan tingkat konsentrasi penumpang, lokasi yang strategis, dan tingkat keamanan lokasi. Pengemudi yang terdaftar pada masing-masing lokasi harus melibatkan pengemudi yang sebelumnya berprofesi sebagai ojek konvensional di kawasan tersebut. Berikut konsep dan keterangan yang dapat dipenuhi untuk mewujudkan wacana tersebut:
  • Titik pangkalan disepakati dan dalam pengawasan di satu kelurahan/wilayah tertentu;
  • Pengemudi dan kendaraan harus terdaftar pada masing-masing titik pangkalan;
  • Masing-masing titik difasilitasi satu buah ponsel dengan nomor call centre yang spesifik, atau aplikasi yang terpasang khusus pada pangkalan;  
  • Daftar nomor telepon call centre ditampilkan daring pada web pemerintah/media sosial resmi/aplikasi resmi maupun secara konvensional dengan disertai harga per kilometer;
  • Pola pelayanan dapat digambarkan melalui bagan berikut:

                                  1
    Penumpang --> Pangkalan --> Penumpang --> Tujuan
                                 2                             3                                4

    Pengemudi --> Pangkalan
                                5

    Keterangan:

  • Alur nomor 1; penumpang mengirim SMS/WhatsApp ke callcentre untuk melakukan pemesanan. Contoh : Pangkalan Pecenongan, nomor callcentre 0812-345-678 dengan lokasi penjemputan penumpang di Kantor LAN RI,
  • Alur nomor 2; narahubung di pangkalan Pecenongan menginformasikan kepada pengemudi (sesuai antrian) untuk menjemput penumpang di Kantor LAN RI (sesuai dengan tarif yang sudah baku),
  • Alur nomor 3; narahubung menginformasikan kepada penumpang terkait profil dan keterangan kendaraan pengemudi ojek yang akan menjemput,
  • Alur nomor 4; pengemudi mengantarkan penumpang ke tujuan,
  • Alur nomor 5; pengemudi kembali ke pangkalan Pecenongan dan kembali antri sesuai urutan;
  • Pengemudi menggunakan atribut tertentu (jaket, helm, dsb) sebagai penanda ojek konvensional;
  • Tersedia layanan pengaduan pelanggan dengan nomor terpusat pada Kementerian Perhubungan;
  • Narahubung/petugas bisa digantikan secara bergilir oleh pengemudi dengan antrean terdepan;
  • Call centre di tiap pangkalan bisa digantikan dengan aplikasi sederhana dan terpasang di masing-masing titik pangkalan
  • Idealnya, penggunaan nomor telepon sebagai basis pemesanan ojek cukup mendukung dalam memenuhi aspek keselamatan baik bagi pengemudi maupun penumpang. Hal ini mengingat sudah terintegrasinya satu nomor telepon dengan identitas warga. Jika data yang terekam valid, harusnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap penelusuran data pelanggan maupun pengemudi. Sehingga, dalam situasi terburuk sekalipun, jaminan data yang dijadikan acuan bisa membantu menyelesaikan masalah.
    2. Memberdayakan ojek konvensional dengan fungsi tertentu

Studi kasus di Kabupaten Purwakarta, Bupati petahana, Dedi Mulyadi, berupaya memberdayakan pelaku ojek konvensional untuk berperan menjadi ojek pariwisata. Ojek tersebut rencananya dipersiapkan untuk mengantar wisatawan untuk mengunjungi tempat wisata yang belum terakses dengan baik. Langkah ini dilakukan untuk memproteksi dan memberi pilihan alternatif bagi pengemudi dari serbuan ojek daring yang mengancam keberadaan ojek konvensional.

Keberadaan ojek pariwisata sangat membantu wisatawan yang ingin mengakses tempat wisata, terutama yang memiliki medan yang cukup berliku dan tidak mudah dijangkau kendaraan roda empat. 

Jika menilik wisata Gunung Bromo, misalnya, maka kebutuhan akan ojek sepeda motor wisata bisa dipertimbangkan. Akan tetapi faktor keselamatan dan keamanan bagi pengemudi dan wisatawan tetap harus dikedepankan. Oleh karenanya, payung hukum yang melandasi keberadaan ojek harus disiapkan terlebih dahulu.

Pemerintah harus segera menerapkan kebijakan yang adil dan membawa manfaat bagi seluruh masyarakat. Keberadaan ojek sebagai bagian dari sistem transportasi di negeri ini perlu diberikan tempat khusus dengan regulasi yang jelas namun dengan tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat. 

Harus diakui, tidak mudah untuk berupaya menerapkan perundang-undangan sebagai payung hukum ditengah berbagai pro kontra pemanfaatan sepeda motor untuk transportasi umum. Terlebih, cukup banyak kepentingan yang harus diakomodir dan tidak hanya melibatkan pihak lokal saja. 

Akan tetapi, hal ini sangat layak untuk diprioritaskan guna kepastian keberlangsungan usaha dan pemberdayaan masyarakat. Pada skala yang lebih luas, landasan legal yang jelas menjadi suatu langkah maju dalam layanan transportasi yang terintegrasi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun