"Maafkan aku Pak Pohon, sepertinya topi itu menghalangiku untuk bahagia. Satu-satunya yang bisa membuatku tetap hidup hanyalah dasi."
"Kau pasti tahu, kalau tanpa memakai sesuatu, maka kau disebut golongan papa. Tidak punya apa-apa."
Aku terdiam dan berpikir. Oh, Langit. Betapa bodohnya aku. Pasti topi itu sudah diambil orang lain yang tak memiliki. Belasan tahun lalu, banyak yang menginginkan topi, meski kini tren itu berganti dasi.
"Wahai Pak Pohon yang bijaksana. Sekiranya aku bisa mendapatkan lagi topi."
"Oh, sayang sekali. Sudah lama topi tidak ada di sini. Atau kamu mau sesuatu yang baru? Yang belum pernah orang miliki?"
"Apakah itu wahai Pak Pohon?" Tanyaku bersemangat.
"Ini... pakailah. Semoga cocok dan jangan meminta lagi. Manusia hanya bisa meminta dua kali dalam hidupnya."
Aku bingung. Ini belum pernah ada. Topi menutupi kepala. Dasi menutupi hati. Sepatu menutupi kaki. Sedang ini menutupi apa?
"Hai, manusia. Itu namanya topeng. Menutupi mukamu. Pakai dan keluarlah dari hutan pekerjaan untuk selama-lamanya."
Dengan sedikit bingung, aku memakai topeng dan berjalan kembali ke arah tempat tinggalku. Benar sekali, topi yang kutinggal di tanah berpatok tadi sudah lenyap.
Tanpa terasa, Â sampailah aku di rumah. "Nah! Sepertinya kau lebih cocok memakai penutup wajah. Hahaha," ucap paman sembari menggoyangkan badanku.