Mohon tunggu...
Yoga Nanda Khoiril Umat
Yoga Nanda Khoiril Umat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

NAMA : Yoga Nanda Khoiril Umat NIM : 41521010152 DOSEN : Prof Dr Apollo, M.Si.Ak,CA,CIBV,CIBV, CIBG JURUSAN : Teknik Informatika Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aplikasi Pemikiran (A) Panopticon oleh Jeremy Bentham dan (B) Kejahatan Structural oleh Giddens Anthony

29 Mei 2023   21:41 Diperbarui: 30 Mei 2023   23:51 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumen Pribadi 

A. KONSEP PANOPTICON OLEH JEREMY BENTHAM  

Jeremy Bentham lahir di London pada tanggal 15 Februari 1748. Dia memulai sekolahnya di Westminster School dan pada tahun 1760 dia menjadi mahasiswa hukum di Queen's College, Oxford dimana, pada tahun 1763, dia mengikuti, dengan ketidaksetujuan yang semakin besar, pelajaran yang diadakan oleh William Blackstone . Setelah menyelesaikan studinya, dia mendaftar di Lincoln's Inn; di tahun-tahun ini dia membaca, antara lain, karya Montesquieu, Voltaire, Hume, Helvétius dan Beccaria. Ayahnya, seorang pengacara kaya, mencoba mendorongnya untuk mempraktikkan profesinya sendiri tetapi Jeremy merasa tidak puas dengan sistem hukum yang ada. Setelah pengalaman singkat dalam profesi di bidang hukum tersebut, Jeremy Bentham memutuskan untuk mengabdikan dirinya untuk belajar dan merenung . Pada kenyataannya, dia tidak tertarik untuk menggambarkan hukum sebagaimana adanya tetapi untuk menunjukkan hukum sebagaimana mestinya.  Pada tahun 1774,Jeremy Bentham mulai mengerjakan Comment on the Commentaries, sebuah karya yang sangat banyak yang mewakili salah satu kritik paling ekstensif terhadap Commentaries on the Laws of the Laws dari Blackstone .

Pada 1791 Jeremy Bentham menulis Postscript dan menerbitkannya bersama dengan Surat yang sama-sama merupakan teks utama proposal Bentham untuk reformasi penjara. Pada tahun 1792 ayahnya meninggal dan Jeremy Bentham pun mewarisi rumah Westminster serta penghasilan 700 poundsterling setahun yang menjamin dia kemungkinan menjalani kehidupan yang dikhususkan untuk belajar. Jeremy juga  menggunakan sebagian besar uang yang diwarisi dari ayahnya dalam upaya untuk membuat Panopticon . Antara 1797 dan 1798 dia menangani masalah orang miskin dan mengusulkan untuk menyesuaikan proyek Panopticon dengan reformasi sistem bantuan orang miskin. Konsep Panopticon terinspirasi pada saat Jeremy Bentham melakukan perjalanannya ke Krichev di Rusia pada tahun 1786 untuk mengunjungi saudaranya, Samuel, yang terlibat dalam mengelola proyek-proyek industri. Disana samuel memperlihatkan area kerjanya, sebuah bangunan melingkar di pusat proyek yang menjadikannya sebuah sarana untuk para sejumlah kecil manajer mengawasi begitu banyak aktifitas tenaga kerja, baik atau buruk dari tempat ia berdiri. Jeremy kemudian tertarik dan mulai mengembangkan model ini untuk di berlakukan pada bangunan penjara. Setelah kembali ke Inggris dari Rusia, Bentham terus bekerja pada gagasan penjara Panopticon, dan ditugaskan gambar dari arsitek, Willey Reveley. 

APA ITU PANOPTICON ? (WHAT)

Istilah "Panopticon" berasal dari kata Yunani "panoptes" yang berarti "semua melihat". Konsep desain ini adalah untuk memungkinkan pengamat untuk mengamati (-OPTICON) semua (pan-) penghuni lembaga tanpa mereka bisa mengatakan apakah atau tidak mereka sedang diawasi. Dalam desain arsitektur Panopticon, terdapat sebuah menara pengawasan di tengah yang dikelilingi oleh serangkaian sel atau ruangan yang menghadap ke menara tersebut. Para penghuni sel tidak dapat melihat pengawas di dalam menara, tetapi pengawas dapat memantau setiap gerakan dan tindakan mereka. Selain itu, ada juga penggunaan jendela kaca cermin untuk menimbulkan rasa ketidakpastian pada para penghuni, karena mereka tidak tahu apakah mereka sedang diamati atau tidak.

Ide dasar di balik Panopticon adalah menciptakan sistem pengawasan yang efektif dan tak terlihat, dengan tujuan menghasilkan perbaikan perilaku individu yang diawasi.  Konsep Panopticon yang diusulkan oleh Jeremy Bentham adalah salah satu kontribusi penting dalam pemikiran sosial dan filosofi politik. Dalam pandangan Bentham, Panopticon adalah suatu struktur penjara atau lembaga pengawasan yang dirancang sedemikian rupa sehingga para penghuni atau tahanan bisa diawasi secara terus-menerus tanpa mereka menyadari apakah mereka sedang diamati atau tidak. Konsep ini memiliki implikasi yang mendalam dalam konteks kebebasan, pengawasan, dan kontrol di dalam masyarakat.

Sumber gambar: Dokumen Pribadi 
Sumber gambar: Dokumen Pribadi 

Konsep utama yang terkandung dalam Panopticon adalah kekuasaan pengawasan. Dalam sistem ini, para penghuni atau tahanan mengembangkan kesadaran konstan bahwa mereka selalu bisa diamati, sehingga mereka secara otomatis mengontrol perilaku mereka sendiri. Bentham berpendapat bahwa kehadiran pengawas yang konstan akan menciptakan perasaan terus-menerus bahwa seseorang selalu diawasi, bahkan jika tidak ada pengawas yang sedang melihat pada saat itu. Dengan demikian, Panopticon menciptakan pengendalian yang kuat dengan mengandalkan efek psikologis pengawasan yang tak terlihat.

Salah satu aspek penting dari konsep ini adalah kebebasan yang terjadi dalam struktur kekuasaan. Meskipun terlihat sebagai alat pengawasan dan kontrol, Panopticon juga memiliki potensi untuk menghasilkan kebebasan individu. Bentham berpendapat bahwa dengan memperkenalkan pengawasan yang konstan, seseorang akan terpengaruh untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri secara sadar. Dalam situasi ini, individu memilih untuk tunduk pada norma-norma sosial yang ada dan menghindari perilaku yang melanggar hukum atau melawan kepentingan umum. Bentham sendiri menjelaskan Panopticon sebagai "modus baru memperoleh kekuatan pikiran atas pikiran.” Selain penjara Panopticon dapat diterapkan untuk bangunan dengan kebutuhan sistem pengawasan yang tinggi seperti sekolah, rumah sakit, atau asrama. Efek utama dari mekanisme panopticon ini adalah menimbulkan kesadaran untuk diawasi, dilihat, secara terus menerus pada diri. Dengan demikian, Panopticon mengarah pada masyarakat yang lebih teratur dan terkendali, di mana individu secara sukarela mengikuti peraturan.

Namun, kritik juga diajukan terhadap konsep Panopticon. Beberapa orang berpendapat bahwa sistem ini dapat disalahgunakan dan menciptakan kondisi yang tidak adil. Pengawasan yang konstan dapat memicu perasaan takut dan ketidakamanan yang berkepanjangan, serta merusak privasi individu. Selain itu, beberapa kritikus berpendapat bahwa Panopticon menciptakan kekuasaan yang tidak seimbang di antara pengawas dan penghuni, yang dapat digunakan untuk menghambat kebebasan individu.

Meskipun Panopticon khususnya dikembangkan untuk penggunaan di penjara, konsep ini telah diterapkan dalam berbagai konteks sosial, termasuk lembaga pendidikan, tempat kerja, dan bahkan dunia digital. Misalnya, teknologi pemantauan seperti kamera pengawas dan pemantauan online mencerminkan prinsip-prinsip Panopticon dalam mempengaruhi perilaku dan memberikan rasa kehadiran pengawasan yang terus-menerus.

Pengaruh konsep Panopticon dalam pemikiran sosial dan politik masih relevan hingga saat ini. Dalam era di mana teknologi semakin canggih dan privasi menjadi perhatian utama, perdebatan seputar pengawasan dan kontrol tetap menjadi topik yang penting. Konsep Panopticon mengajak kita untuk mempertimbangkan dampak pengawasan yang konstan terhadap kebebasan individu, serta mempertanyakan batasan-batasan dan etika dari penggunaan kekuasaan pengawasan dalam masyarakat kita.

MENGAPA JEREMY BENTHAM MEMBUAT TEORI PANOPTICON ? (WHY)

Jeremy Bentham membuat gagasan tentang penjara Panopticon dengan beberapa alasan utama:

  1. Meningkatkan Efisiensi Pengawasan: Salah satu alasan utama di balik penciptaan Panopticon adalah meningkatkan efisiensi dalam pengawasan. Bentham ingin menciptakan sistem pengawasan yang efektif, di mana sejumlah besar individu dapat diawasi oleh sedikit penjaga atau otoritas pengawas. Dengan penempatan penjaga di menara pusat yang dapat mengawasi seluruh area, Panopticon memungkinkan pengawasan yang terpusat dan maksimal dengan jumlah penjaga yang terbatas. Hal ini diharapkan dapat mengurangi biaya dan sumber daya yang diperlukan dalam menjaga keamanan dan ketertiban.

  2. Mendorong Pengendalian Diri: Bentham percaya bahwa pengawasan konstan yang dimungkinkan oleh Panopticon dapat mempengaruhi perilaku individu. Dengan menyadari adanya kemungkinan pengawasan setiap saat, individu cenderung mengawasi dan mengontrol diri mereka sendiri. Mereka akan membatasi perilaku mereka agar sesuai dengan norma dan aturan yang ditetapkan, karena mereka tidak pernah tahu kapan atau apakah mereka sedang diamati. Dalam pandangan Bentham, ini akan mendorong pengendalian diri yang lebih besar dan disiplin individu.

  3. Membentuk Masyarakat yang Taat: Konsep Panopticon juga berkaitan dengan ide Bentham tentang pembentukan masyarakat yang taat pada hukum dan peraturan. Dengan adanya pengawasan yang konstan dan tak terlihat, diharapkan individu akan merasa terus-menerus diawasi dan merasa tidak aman jika melanggar norma dan aturan yang berlaku. Hal ini diharapkan dapat membentuk masyarakat yang lebih patuh pada norma dan aturan, serta mengurangi potensi pelanggaran hukum.

  4. Peningkatan Keamanan dan Pengendalian: Panopticon juga mencerminkan kekhawatiran Bentham tentang keamanan dan pengendalian dalam institusi seperti penjara. Dalam sistem Panopticon, penjara diatur sedemikian rupa sehingga tahanan merasa selalu diawasi dan terbatas dalam ruang gerak mereka. Bentham berpendapat bahwa ini dapat mengurangi risiko pemberontakan atau kekacauan dalam penjara, serta mencegah pelarian tahanan. Dalam konteks ini, Panopticon dianggap sebagai solusi yang lebih efektif dan aman dalam menjaga keamanan institusi.

Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan ini, Bentham merancang konsep Panopticon sebagai alat pengawasan yang menggabungkan efisiensi, pengendalian diri, dan pembentukan masyarakat yang taat pada norma dan aturan.

Sedangkan, Menurut Michael Foucault (1790) alasan mengapa konsep panopticon dibuat yaitu untuk menjelaskan tentang relasi antara yang diawasi dan mengawasi, orang yang mengontrol dan dikontrol, orang yang merehabilitasi dan direhabilitasi, orang yang abnormal dan menormalkan dalam sebuah ruang kekuasaan tanpa kontak langsung. Efek utama dari mekanisme panopticon ini adalah menimbulkan kesadaran untuk diawasi, dilihat, secara terus menerus pada diri seseorang. sebuah kesadaran yang mengisaratkan bahwa segala tindak-tanduk dan gerak-gerik mereka ada yang mengontrol dan mengawasi. Tentunya kesadaran diawasi dan dikontrol ini menimbulkan efek kepatuhan, tekanan bahkan ketakutan. Hal ini dapat menyimpulkan bahwa desain dari Panopticon akan sangat berefek pada psikologi si penerima atau Narapidana.

Hasil dari efek kepatuhan, tekanan dan ketakutan yang muncul dari Desain Arsitektur Panopticon ini diharapkan dapat memberikan 'kesadaran dan efek jera' untuk niat atau tindakan kriminal yang akan dan telah dilakukan. Seperti yang dikutip dalam buku 'Psikologi Arsitektur' 

“Manusia terdiri dari dua entitas: Tubuh (body) dan jiwa (mind). Ada tiga posisi filosofis yang mewarnai perkembangan disiplin psikologis, salah satunya yaitu; Tubuh dan jiwa merupakan entitas yang terpisah namun saling berhubungan (Interactionism)”

Rancangan penjara Panopticon yang dibuat oleh Jeremy Betham selain bertujuan untuk mendisiplinkan narapidana juga agar supaya penjara dalam perawatan dan penanganannya dapat lebih mudah dan murah daripada penjara yang ada pada waktu itu. karena diperlukan staff yang lebih sedikit. Tanpa memperhatikan lagi hak asasi atau kebutuhan pelayanan untuk para Narapidana. Jika ini terjadi dan dijalankan tanpa ada istirahat dan dalam kurun waktu yang panjang justru akan berdampak buruk, dimana ketika seseorang kehilangan Kontrol Atas Ruang, secara psikologis kemampuannya untuk berfungsi akan kurang. Bahkan kerusakan psikologis permanen bisa muncul akibat hal tersebut atau ‘kegilaan’. Hal ini adalah dampak buruk yang kemungkinan akan muncul dari desain Panopticon dan harus dihindari, maka dari itu dibutuhkan penyeimbangan antara Dimensi Kebutuhan Ruang untuk para Narapidana nantinya agar efek yang tidak diinginkan dapat dihindari dan yang dibutuhkan tetap didapat.

BAGAIMANA IMPLEMENTASI KONSEP PANOPTICON TERHADAP MASA KINI ? BESERTA KASUSNYA . (HOW)(KASUS)

Bagi kita yang beragama islam, mungkin konsep panopticon ini tidaklah terdengar asing. Sebab, pada konsep panopticon membuat orang merasa diawasi meskipun belum tentu ada yang mengawasi. Hal ini juga berlaku pada berbagai kepercayaan atau keyakinan yang ada di masyarakat. Dimana keimanan seseorang membuat mereka merasa yakin bahwa segala sesuatu yang mereka kerjakan dilihat oleh Tuhan mereka yang selalu mengawasi umatnya entah pagi,siang, ataupun malam sehingga manusia merasa terawasi 24 jam dan juga manusia menjadi tidak berani untuk melakukan kejahatan meskpun masih banyak yang memang melakukan kejahatan dikarenakan mereka tidak takut dengan tuhan. Namun, balik ke pembahasan mengenai konsep pengawasan panopticon ini sebenarnya sudah banyak diterapkan dalam masyarakat modern dan beberapa contohnya yaitu 

Salah satu contoh kasus di mana konsep Panopticon diterapkan adalah dalam sistem penjara modern. Penjara sering kali diatur sedemikian rupa sehingga seluruh area tahanan dapat diamati dari pusat pengawasan di tengah-tengah. Para penjaga dapat mengawasi aktivitas tahanan dengan efisiensi tinggi, sedangkan tahanan tidak pernah tahu apakah mereka sedang diamati atau tidak. Hal ini menciptakan perasaan terus-menerus diawasi, yang berdampak pada perilaku tahanan. Mereka cenderung mengontrol diri mereka sendiri, mengurangi kekerasan dan melanggar aturan penjara. Panopticon menciptakan lingkungan yang memperkuat disiplin dan pengendalian diri.

Penerapan Panopticon juga dapat ditemukan di tempat kerja. Dalam beberapa kasus, perusahaan menggunakan kamera pengawas di area kerja atau perangkat lunak pemantauan untuk memantau aktivitas karyawan secara terus-menerus. Karyawan menyadari adanya pengawasan dan potensi pengawasan yang terus-menerus, yang mendorong mereka untuk mematuhi aturan perusahaan dan membatasi perilaku yang tidak diinginkan. Pengawasan ini memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan mengendalikan perilaku karyawan di lingkungan kerja.

Konteks pendidikan juga menghadirkan kasus penggunaan konsep Panopticon. Dalam beberapa sekolah, pemasangan kamera pengawas di koridor dan area umum membantu guru dan staf mengawasi kegiatan siswa dengan lebih efektif. Siswa merasa terus-menerus diawasi dan mungkin mempertimbangkan tindakan mereka dengan lebih berhati-hati, yang pada gilirannya meningkatkan disiplin dan kepatuhan terhadap peraturan sekolah. Pengawasan yang konstan ini menciptakan lingkungan yang aman dan teratur bagi siswa.

Dalam era digital dan media sosial, konsep Panopticon juga meluas ke ranah online. Perusahaan dan platform media sosial menggunakan algoritma dan pemantauan aktivitas pengguna untuk mengawasi perilaku online individu. Data pribadi dikumpulkan untuk berbagai tujuan, termasuk pemasaran, pengambilan keputusan, atau bahkan pengendalian sosial. Aktivitas online kita menjadi terus-menerus diawasi, dan kesadaran ini dapat memengaruhi cara kita berinteraksi dan berperilaku di dunia maya.

Konsep Panopticon ternyata juga digunakan oleh negara-negara besar serta Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengawasi negara- negara yang memang bermasalah ataupun menyebabkan ancaman bagi negara lain, Hal ini terjadi pada saat masyarakat internasional yang kewenangannya pada tahun 1990-an pertama kali diwakili oleh PBB dan badan-badannya,  Korea Utara dan Irak memiliki banyak kesamaan. Keduanya merupakan bagian integral dari doktrin "negara nakal" yang dirumuskan Amerika Serikat dan dengan demikian, telah di kategorikan oleh analis keamanan ke dalam kelompok kategori yang sama. Seperti yang pernah dikatakan Bill Clinton, bahwa keduanya “tidak mau mematuhi kehendak masyarakat internasional”. Selain penunjukan mereka sebagai penjahat dalam tatanan dunia baru yang dicita-citakan oleh Amerika Serikat, maka dari itu Korea Utara dan Irak berbagi pengalaman lain yang lebih kompleks, sehingga mereka berdua berada di bawah pengawasan terus-menerus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan khususnya, dan negara-negara anggotanya. Korea Utara dan Irak telah diidentifikasi sebagai "subjek buruk" dari komunitas internasional yang muncul pada akhir abad ke-20, dan mereka harus diawasi dan dihukum (oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa atau lainnya jika Perserikatan Bangsa-Bangsa terbukti tidak mencukupi).

Namun, penerapan konsep Panopticon juga menimbulkan pertanyaan etika dan privasi. Sejauh mana kita harus membiarkan pengawasan mengintervensi kehidupan pribadi kita? Bagaimana kita menemukan keseimbangan antara keamanan dan kebebasan? Pertanyaan-pertanyaan ini mengingatkan kita untuk mempertimbangkan dampak sosial, politik, dan individu dari sistem pengawasan yang terinspirasi oleh konsep Panopticon.

Dalam semua kasus ini, prinsip Panopticon menciptakan lingkungan yang mengintensifkan pengawasan dan mempengaruhi perilaku individu. Rasa terus-menerus diawasi mendorong pengendalian diri, kepatuhan terhadap aturan, dan peningkatan kontrol sosial. Namun, penerapan konsep Panopticon juga menimbulkan pertanyaan tentang privasi, kebebasan individu, dan etika penggunaan kekuasaan pengawasan. Konsep Panopticon yang ditemukan oleh Jeremy Bentham telah merubah cara kita memahami pengawasan dan pengendalian sosial. Penerapannya dalam berbagai kasus, termasuk sistem penjara, tempat kerja, lingkungan pendidikan, dan dunia online, telah membawa perubahan signifikan dalam perilaku individu dan mempengaruhi kontrol sosial. Namun, penting bagi kita untuk terus mengevaluasi dan memahami konsekuensi dari penggunaan konsep Panopticon, serta memastikan bahwa pengawasan yang dilakukan berada dalam batas-batas yang etis dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang kita anut. 

B.KEJAHATAN STRUCTURAL OLEH ANTHONY GIDDENS

Kejahatan adalah realitas yang tidak dapat diabaikan dalam masyarakat. Namun, kejahatan tidak selalu berkaitan dengan tindakan individu semata. Salah satu konsep yang mengungkap dimensi sosial kejahatan adalah "kejahatan struktural." Dalam pandangan Anthony Giddens, seorang peneliti sosial terkemuka, kejahatan struktural terjadi sebagai konsekuensi langsung dari ketidaksetaraan struktural yang ada dalam masyarakat. Dalam esai ini, kita akan menjelajahi pemahaman Giddens tentang kejahatan struktural dan pentingnya memahami akar ketidakadilan dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Anthony Giddens lahir pada tahun 1938 di Edmonton, London utara, putra seorang pegawai di London Transport.  Dia dididik di sekolah tata bahasa lokal yang kemudian melanjutkan ke Universitas Hull, di mana dia membaca dua mata pelajaran non-sekolah yaitu sosiologi dan psikologi. Dalam hal ini dia unggul, lulus dengan penghargaan kelas satu pada tahun 1959. Setelah lulus, dia pergi ke London School of Economics, di mana dia menyelesaikan tesis MA berjudul "Sport and Society in Contemporary England.” Pada tahun 1961 ia mulai sebagai dosen sosiologi di Universitas Leicester. Di Leicester dia tidak mengajar kursus tahun kedua dalam teori sosiologi klasik (selain tiga kuliah tentang Simmel) yang merupakan pelestarian Ilya Neustadt atau kursus tahun ketiga tentang perkembangan teori yang lebih baru ini diberikan oleh Percy Cohen, tentang Teori Sosial Modernnya (1968) diturunkan darinya. Sebaliknya, dia terutama bertanggung jawab untuk kursus tahun ketiga dalam psikologi sosial, di mana dia memilih untuk menghubungkan "kepribadian sosial" dengan sejumlah topik lain, termasuk sosialisasi, bahasa, pembentukan sikap, identitas, institusi, dan karakter bangsa. Dalam kursus ini dan kursus lainnya, termasuk kuliah tentang Durkheim dan juga tentang bunuh diri di hadapan banyak pendengar tahun pertama, orang lain terkesan tidak hanya dengan apa yang dia katakan tetapi juga dengan cara dia mengatakannya, dengan kefasihan yang luar biasa dan tanpa catatan serta juga waktu dan tempat yang signifikan turut memberikan dampak positif dan mendukung kemampuan nya tersebut. Seperti yang ditunjukkan masing-masing oleh T. H. Marshall (1982) dan John Eldridge (1990), Leicester pada akhir 1950-an dan 1960-an adalah salah satu persemaian sosiologi Inggris.

Secara umum, karir akademik Anthony Giddens dapat diuraikan dalam lima fase. Karya akademiknya mengiringi setiap periode. Pada tahun 1960-1970, dia mulai menulis dengan mengkritik teori sosiologi yang sudah ada. Karya awal Anthony Giddens membentuk dan mempengaruhi tulisannya yang lebih lanjut, Bagian pertama adalah bahwa Anthony Giddens menulis Jalan ke Tiga dari 1994 hingga sekarang. Selain itu, dia mulai menganalisis teori-teori sosial dari abad ke-19 dan menentukan relevansinya dengan perkembangan yang terjadi selama periode tersebut. Dia juga menulis Teori Strukturasi dan sejarah sosiologi dari 1976 hingga 1979. Selanjutnya, dia menulis tentang Teori Modernitas dari 1990-1993. Secara umum, karir akademik Anthony Giddens dimulai dengan menulis ringkasan dan analisis karya ahli teori sebelumnya untuk membantu mengembangkan teori strukturasinya. Anthony Giddens adalah salah satu sosiolog Inggris yang paling terkenal setelah perang dunia kedua. Studinya sangat memengaruhi ilmu sosial dan 

Dari tahun 1991-2000, Anthony Giddens menjadi presiden British Sociological Association dan International Sociological Association (ISA) dari tahun 1994 hingga tahun 1998. Ia juga anggota dari banyak asosiasi profesional internasional lainnya, termasuk teori sosial, sosiologi, dan psikologi.  

APA ITU TEORI STRUKTURAL OLEH ANTHONY GIDDENS ? (WHAT)

Teori struktural adalah teori yang menolak dualisme (oposisi) dan mencoba menemukan preferensi atau hubungan setelah konflik tajam antara struktur fungsional dan konstruktivisme fenomenologis. Anthony Giddens tidak puas dengan teori visi struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak dalam pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor menjadi struktur, dalam hal ini sejarah dilihat secara mekanis daripada sebagai produk dari keacakan aktivitas agen. Tetapi Anthony Giddens juga menentang konstruktivisme fenomenologis, yang dia sebut sebagai "akhir dari subjek-imperialisme". Maka ia ingin mengakhiri perbedaan antara keduanya dengan menyatukan kedua aliran tersebut.

Anthony Giddens menyelesaikan perdebatan antara dua teori yang mengklaim atau percaya bahwa tindakan manusia disebabkan oleh kekuatan eksternal dan yang menyarankan tujuan tindakan manusia. Menurut Anthony Giddens, struktur tidak berada di luar individu, melainkan internal dalam arti. Untuk aspek internal ini, Anthony Giddens mengandalkan subjek independen yang terlibat dalam pengelolaan struktur itu sendiri. Anthony Giddens (2011) menjelaskan bahwa struktur tidak disamakan dengan restriksi, tetapi selalu dengan limiting dan enable. Ini tidak mencegah ciri-ciri struktural sistem sosial meluas dalam ruang dan waktu di luar kendali aktor individu, juga tidak mencegah teori sistem sosial dari aktor pendukung, yang didefinisikan ulang dalam tindakan mereka, untuk mewujudkan sistem tersebut. 

Teori strukturasi bermula dari kritik Anthony Giddens terhadap cara kerja strukturalisme, post-strukturalisme dan fungsionalisme dalam melihat struktur. Salah satunya adalah, apa yang dilakukan oleh tokoh strukturalis Claude Levi Strauss telah berimplikasi jauh terhadap terapan analisis ilmu-ilmu sosial. Anthony Giddens mengkritik perspektif strukturalis merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap subjek”. Sebagai contoh dalam memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, perhatian strukturalis tidak terpusat pada perilaku para pemodal atau konsumen, tetapi justru pada logika-internal kinerja modal; dengan kata lain, strukturalisme adalah bentuk dualisme (Giddens, 2008: 335). Dualisme ini juga ada pada perspektif post-strukturalis (Giddens, 1987: 348). Pemikir penting post-strukturalis, Jasques Derrida misalnya, melihat perbedaan bukan hanya menunjuk sesuatu, melainkan sebagai pembentuk identitas yang bahkan merupakan hakikat sesuatu tersebut; atau dualisme yang ada pada fungsionalisme Talcott Parsons. Fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Anthony Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apapun, yang punya kebutuhan adalah para pelaku. Fungsionalisme memberangus fakta bahwa manusia sebagai pelaku, bukan orang-orang dungu, dan bukan robot yang bertindak berdasar “naskah” (peran yang sudah ditentukan). Fungsionalisme menafikan dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial, akibatnya terjadi pertentangan antara yang 'statis' dan 'dinamis', atau antara 'stabilitas' dan 'perubahan'. Pada intinya teori strukturasi menekankan kembali pada prioritas logis dari struktur (Priyono, 2002: 10).  

Strukturisasi adalah kondisi untuk menjelaskan bagaimana tatanan hubungan sosial tersusun dalam hubungan dualistik (timbal balik) antara agen dan struktur (Ross dalam Beilharz, 2002: 22-23). Hubungan antara dualitas struktur dalam proses reproduksi sosial dapat dipahami dengan adanya tiga tingkat kesadaran atau tiga dimensi dalam diri manusia, yaitu; Persepsi wacana, persepsi praktis, dan persepsi/motivasi bawah sadar. Giddens memperkenalkan konsep-konsep ini sebagai alternatif dari tiga serangkai psikoanalitik Sigmund Freud tentang ego, superego, dan ego (Giddens, 1984: 7).

Anthony Giddens mengawali refleksinya dengan mengkritik fungsionalisme dan strukturalisme. Ada tiga kritik terhadap fungsionalisme Anthony Giddens, pertama, bahwa fungsionalisme mengesampingkan fakta bahwa anggota masyarakat bukanlah orang bodoh. Individu bukanlah robot yang bergerak sesuai naskah. Kedua, fungsionalisme adalah cara berpikir yang berpendapat bahwa sistem sosial memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ketiga, fungsionalisme menghilangkan dimensi ruang dan waktu untuk menjelaskan proses sosial. Sedangkan mengenai strukturalisme, Anthony Giddens menganggap strukturalisme terlalu jauh dari pokok bahasannya (Priyono, 2000: 17). Baik strukturalisme maupun fungsionalisme menekankan keunggulan masyarakat secara keseluruhan atas bagian-bagian individualnya (Giddens, 1984: 2). Strukturalisme sangat menentang tradisi hermeneutik diduga memberdayakan subjektivitas sebagai pusat budaya dan sejarah (Giddens, 1984: 2). Mirip dengan fungsionalis, fungsionalis menentang tradisi sosiologis interpretatif. Memang, dalam sosiologi interpretatif, tindakan dan makna menempati tempat sentral dalam menjelaskan perilaku manusia. Konsep struktural tidak terlalu penting dan tidak banyak diskusi tentang kendala. Namun, fungsionalisme dan strukturalisme lebih diutamakan daripada tindakan dan sifat struktur yang membatasi sangat ditekankan (Giddens, 1984: 2).

 Dalam menyusun Teori Strukturasi, Anthony Giddens sedikit banyak berhutang pada gagasan-gagasan Strukturalisme. Hal ini tampak dalam catatan- catatannya Giddens (1979: 68-73) atas Strukturalisme, yaitu

  • (a) Teori Strukturalis menunjukkan pentingnya penciptaan ruang melalui perbedaan dalam proses konstitusi bahasa dan masyarakat, 
  • (b) pemikiran Strukturalis berupaya memasukkan dimensi waktu ke dalam pusat analisis itu sendiri, 
  • (c) pemikiran strukturalis menunjukkan bahwa ‘jarak dalam waktu’ dalam beberapa aspek pentingnya sama dengan ‘jarak etnografis’, 
  • (d) Teori Strukturalis menawarkan kemungkinan pemahaman yang lebih memuaskan tentang totalitas sosial daripada yang ditawarkan oleh Fungsionalisme. Menurut Fungsionalisme, masyarakat bisa dipotret sebagai pola hubungan diantara ‘bagian-bagian’, sementara Teori Strukturalis mengajukan gagasan bahwa masyarakat seperti bahasa, sebaiknya dipandang sebagai ”sistem maya" 8 dengan sifat berulang, dan
  •  (e) dalam Teori Strukturalisme ada upaya gerakan untuk melampaui dualisme subjek/objek 


MENGAPA ANTHONY GIDDENS MENCIPTAKAN TEORI KEJAHATAN STRUKTURAL ? (WHY) 

Kejahatan struktural merupakan hasil dari kesenjangan dan ketidaksetaraan struktural yang hadir dalam masyarakat. Anthony Giddens mengidentifikasi bahwa aspek-aspek sosial seperti ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, dan perbedaan kekuasaan antar kelompok sosial memainkan peran penting dalam menciptakan kondisi yang memicu kejahatan. Dalam konteks ini, kejahatan struktural terlihat berbeda dari kejahatan individual yang biasanya diasosiasikan dengan tindakan individu yang melanggar hukum.

Menurut Anthony Giddens, kejahatan struktural bukanlah hasil dari tindakan individu yang melanggar hukum, melainkan merupakan konsekuensi langsung dari ketidaksetaraan struktural dalam masyarakat. Anthony Giddens mengidentifikasi struktur sosial sebagai faktor penentu utama dalam mempengaruhi tingkat kejahatan di masyarakat. Struktur sosial mencakup kesenjangan ekonomi, ketidakadilan politik, dan perbedaan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial.

Kejahatan struktural dapat terjadi ketika kekuasaan, kekayaan, dan sumber daya terkonsentrasi secara tidak adil dalam kelompok atau individu tertentu. Misalnya, ketika kelompok tertentu mendominasi sektor politik atau ekonomi, mereka dapat mengeksploitasi kelompok yang lebih lemah secara sistematis. Akibatnya, ketimpangan dan ketidakadilan ini menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya kejahatan struktural.

Anthony Giddens mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan kejahatan struktural. Pertama, ketidakadilan ekonomi dapat menciptakan kesenjangan pendapatan yang luas di masyarakat. Ketika sebagian besar kekayaan dan sumber daya terkonsentrasi pada segelintir individu atau kelompok, terjadilah peningkatan ketidaksetaraan yang mengakibatkan kemiskinan dan ketidakstabilan sosial. Dalam situasi seperti itu, individu yang terpinggirkan mungkin terdorong untuk terlibat dalam kejahatan, seperti pencurian, penipuan, atau perdagangan narkoba, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Kedua, ketidakadilan politik juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi kejahatan struktural. Ketika kekuasaan politik terkonsentrasi pada kelompok tertentu, mereka dapat menyalahgunakan posisi mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi atau melindungi kepentingan kelompok mereka. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penindasan sosial dapat menjadi contoh kejahatan struktural yang terjadi akibat ketidakadilan politik.

Anthony Giddens menekankan bahwa untuk memerangi kejahatan struktural, perubahan struktural dalam masyarakat menjadi sangat penting. Kesetaraan dan keadilan harus menjadi tujuan utama dalam upaya melawan kejahatan struktural. Redistribution of wealth (pemerataan kekayaan), redistribusi kekuasaan politik, dan akses yang lebih merata terhadap sumber daya dan peluang bagi semua anggota masyarakat adalah langkah-langkah yang diperlukan.

Pemerataan kekayaan akan mengurangi kesenjangan ekonomi yang menjadi salah satu penyebab kejahatan struktural. Melalui kebijakan ekonomi yang inklusif, kesempatan dan manfaat ekonomi dapat didistribusikan secara lebih merata, mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Redistribusi kekuasaan politik juga penting untuk mengatasi kejahatan struktural. Dengan memastikan partisipasi politik yang lebih luas dan menjaga prinsip-prinsip demokrasi, kekuasaan tidak akan terpusat pada sekelompok kecil, tetapi akan mencerminkan kepentingan dan aspirasi semua anggota masyarakat.

Selain itu, penting untuk memberikan akses yang lebih merata terhadap sumber daya dan peluang bagi semua. Dalam konteks pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur dasar, kesenjangan akses dapat menciptakan jurang dalam kesempatan hidup yang dapat memicu kejahatan struktural. Dengan memastikan akses yang merata dan membangun sistem yang inklusif, kita dapat mengurangi risiko kejahatan struktural.

BAGAIMANA KETERKAITAN ANTARA KORUPSI DENGAN TEORI KEJAHATAN STRUKTURAL ? BESERTA CONTOH KASUSNYA. (HOW)(KASUS) 

Kita akan membahas keterkaitan antara kasus korupsi dengan kejahatan struktural, pertama-pertama kita harus memahami dulu apa itu korupsi. Menurut yang dikemukan oleh Nurdjana bahwa : 

“Korupsi diartikan sebagai suatu tingkah laku dan atau tindakan seseorang yang tidak mengikuti atau melanggar norma yang berlaku serta mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong-menolong dalam kehidupan bernegara/bermasyarakat dengan mementingkan diri pribadi/keluarga/golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan pengendalian diri sehingga kepentingan lahir dan batin atau jasmani dan rohaninya tidak seimbang, serasi dan selaras dengan mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakkan nafsu dunia yang berlebihan sehingga merugikan keuangan/ kekayaan negara dan atau kepentingan masyarakat/negara baik secara langsung maupun tidak langsung” (Nurdjana, 2010: 19-20).

Korupsi sebagai kejahatan struktural dipandang oleh sebagian kalangan sebagai akibat langsung dari politik kekuasaan. 'Kekuasaan' seringkali didefinisikan berdasarkan tujuan dan kemauan, yakni sebagai kemampuan mencapai hasil-hasil yang diinginkan dan dimaksudkan. Sebaliknya Parsons (1971) dan Foucault (1979) misalnya, sebagaimana dikemukakan oleh Giddens (1984: 15), memandang 'kekuasaan' sebagai milik masyarakat atau komunitas sosial. Hal ini mencerminkan dualisme antara subjek dan objek, antara agen dan struktur. 'Kekuasaan' dalam agensi menurut Giddens (1984: 14) berarti kemampuan bertindak sebaliknya atau mampu melakukan campur tangan di dunia atau menarik intervesi itu, dengan efek mempengaruhi proses atau keadaan khusus secara sadar maupun tidak. Korupsi sebagai kejahatan struktural melibatkan sarana material salah satunya adalah uang. Konsepsi Giddens dijelaskan, uang merupakan alat perentangan waktu dan ruang. Uang merupakan alat simbolis atau sarana pertukaran yang bisa diedarkan terlepas dari siapa atau kelompok mana yang memegangnya pada waktu dan tempat tertentu. Ekonomi uang (money economy) telah menjadi sedemikian abstrak dalam kondisi dewasa ini. “Money bracket time and space” (Giddens, 1991: 18).

Tindak korupsi melibatkan penyalahgunaan kekuasaan oleh individu atau kelompok yang memiliki posisi otoritas dalam sistem politik atau administrasi publik. Tindak korupsi melibatkan manipulasi, pemerasan, atau penyalahgunaan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Praktik korupsi ini seringkali mempengaruhi kebijakan publik, alokasi sumber daya, dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. 

Sumber gambar: Dokumen Pribadi
Sumber gambar: Dokumen Pribadi

Dalam konteks kejahatan struktural, tindak korupsi juga memperkuat dan memperburuk ketidakadilan sosial yang ada. Korupsi dapat memperbesar kesenjangan ekonomi, menghambat pembangunan yang berkelanjutan, dan menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap layanan publik. Misalnya, ketika dana publik yang seharusnya digunakan untuk penyediaan pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur disalahgunakan atau dialihkan oleh koruptor, hal ini dapat menciptakan kondisi di mana kelompok masyarakat yang rentan tidak dapat mengakses layanan penting tersebut. Ini memperburuk kesenjangan sosial dan menyebabkan peningkatan ketidakadilan yang merugikan.

Selain itu, tindak korupsi juga menciptakan lingkungan yang merusak kepercayaan dan integritas institusi publik. Korupsi menghancurkan sistem hukum yang adil, melumpuhkan mekanisme pengawasan, dan merusak etika publik. Hal ini menciptakan siklus di mana korupsi semakin mengakar dalam masyarakat, karena kepercayaan publik terhadap institusi-institusi yang seharusnya melindungi kepentingan mereka rusak. Untuk mengatasi tindak korupsi dan kejahatan struktural yang terkait dengannya, Anthony Giddens menekankan perlunya perubahan struktural dalam masyarakat. Penegakan hukum yang kuat dan transparan diperlukan untuk memerangi tindak korupsi dan memastikan pertanggungjawaban terhadap pelaku korupsi. Selain itu, reformasi politik dan pemerintahan juga penting untuk mengurangi kesenjangan kekuasaan dan memperkuat mekanisme pengawasan terhadap pengambilan keputusan yang rentan terhadap korupsi.

Dalam rangka memerangi tindak korupsi, penting untuk membangun budaya integritas dan transparansi dalam masyarakat. Kesadaran akan dampak negatif dari korupsi perlu ditingkatkan, dan pendidikan tentang etika dan nilai-nilai yang mendorong kejujuran dan pertanggungjawaban harus ditanamkan sejak dini.

Contoh Kasus Korupsi dengan kejahatan struktural yang terjadi di indonesia. 

Salah satu contoh kasus korupsi dengan kejahatan struktural yang terjadi di Indonesia adalah kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Kasus ini terjadi pada tahun 1997 dan terkait dengan dugaan penyalahgunaan dana bantuan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada sejumlah bank yang mengalami kesulitan keuangan akibat krisis ekonomi.

Beberapa rincian dan fakta terkait kasus BLBI:

  • Latar Belakang: Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang parah. Banyak bank menghadapi masalah keuangan yang serius, dan Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas sebagai upaya untuk memperbaiki situasi tersebut.
  • Penyalahgunaan Dana BLBI: Dalam kasus ini, terungkap bahwa sejumlah bank yang menerima bantuan likuiditas dari Bank Indonesia diduga menyalahgunakan dana tersebut. Mereka menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadi, seperti memperkaya diri sendiri atau mengalihkannya ke perusahaan atau proyek pribadi.
  • Keterlibatan Pejabat dan Pengusaha: Kasus BLBI melibatkan beberapa pejabat pemerintah dan pengusaha yang diduga terlibat dalam praktik korupsi dan penyalahgunaan dana. Mereka diduga menerima suap atau mengatur aliran dana untuk keuntungan pribadi.
  • Besarnya Kerugian Negara: Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara akibat kasus BLBI mencapai triliunan rupiah. Dana bantuan yang seharusnya digunakan untuk memulihkan kondisi perbankan dan perekonomian justru dimanfaatkan secara tidak sah oleh sejumlah pihak.
  • Penanganan Hukum: Kasus BLBI telah ditangani oleh aparat penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung. Beberapa tersangka telah diadili dan divonis bersalah atas tindak korupsi terkait kasus ini.

Kasus BLBI adalah contoh nyata kejahatan struktural karena melibatkan penyalahgunaan dana publik yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki sistem perbankan dan mendukung pemulihan ekonomi. Praktik korupsi dalam kasus ini mencerminkan ketidakadilan struktural dalam sistem keuangan dan tata kelola yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan dana yang merugikan negara dan masyarakat secara luas. Kasus BLBI juga menyoroti pentingnya penguatan sistem perbankan dan tata kelola yang transparan serta perlunya penegakan hukum yang kuat untuk memberantas praktik korupsi dan kejahatan struktural. Selain itu, kasus ini juga menggarisbawahi pentingnya pemantauan yang ketat dan pengawasan yang efektif dalam penggunaan dana publik guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan dana negara.

Kasus korupsi di Indonesia sering kali terkait dengan adanya ketimpangan kekuasaan, di mana pejabat yang memiliki otoritas dan pengaruh besar dalam pengambilan keputusan memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Selain itu, akses terbatas terhadap sumber daya juga menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi, seperti dalam kasus penyalahgunaan dana publik yang dialihkan untuk kepentingan pribadi.

Dalam analisis kejahatan struktural Giddens, penting untuk memahami bahwa korupsi bukan hanya merupakan tindakan individu, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada. Faktor-faktor seperti sistem politik, budaya korupsi, dan kurangnya pengawasan yang efektif juga berperan dalam memfasilitasi terjadinya tindakan korupsi.

Dengan menggunakan teori kejahatan struktural, kasus korupsi di Indonesia dapat dianalisis lebih dalam untuk memahami bagaimana faktor-faktor struktural dalam masyarakat mempengaruhi tingkat korupsi dan bagaimana upaya pencegahan dan perbaikan dapat dilakukan melalui perubahan struktural dan pengawasan yang lebih efektif.

KESIMPULAN 

Baik teori Panopticon maupun teori kejahatan struktural menekankan pentingnya pengawasan dan kontrol terhadap perilaku individu. Dalam teori Panopticon, Bentham menggambarkan struktur fisik penjara yang memungkinkan pengawas untuk melihat tahanan tanpa mereka menyadari apakah mereka sedang diamati atau tidak. Hal ini menciptakan rasa ketidakpastian yang mendorong tahanan untuk selalu berperilaku sesuai dengan norma yang ditetapkan. Dalam teori kejahatan struktural, Giddens berfokus pada pengaruh struktur sosial terhadap tingkat kejahatan dalam masyarakat. Dia mengakui pentingnya sistem pengawasan dan kontrol sosial untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Dalam dua teori ini, konsep kekuasaan juga menjadi hal yang penting. Di teori Panopticon, Bentham menekankan kekuasaan yang dimiliki oleh pengawas yang berada di pusat penjara, sementara tahanan berada dalam posisi yang lemah dan tunduk pada otoritas pengawas. Dalam teori kejahatan struktural, Giddens menggambarkan bagaimana kekuasaan dan struktur sosial yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi tingkat kejahatan. Dia mengidentifikasi bagaimana ketimpangan kekuasaan, akses terbatas terhadap sumber daya, dan ketidakadilan sosial dapat mempengaruhi tingkat kejahatan.

Mereka berdua juga menekankan konsep kontrol sosial. Dalam teori Panopticon, Bentham berpendapat bahwa kontrol sosial adalah mekanisme penting dalam menjaga ketertiban dan membatasi perilaku individu. Dalam teori kejahatan struktural, Giddens menekankan pentingnya kontrol sosial yang efektif dalam mengatasi faktor-faktor struktural yang berkontribusi terhadap kejahatan. Dia berpendapat bahwa melalui kontrol sosial yang baik, masyarakat dapat mempengaruhi individu untuk berperilaku sesuai dengan norma yang diinginkan.


REFERENSI : 

Jurnal dan Buku Luar negeri  ;

  • Debrix, F. (1999). Space Quest: Surveillance, Governance, and the Panoptic Eye of the United Nations. Alternatives: Global, Local, Political, 24(3), 269–294. doi:10.1177/030437549902400301

  • The Blackwell Companion to Major Contemporary Social Theorists Edited by George Ritzer Copyright © 2000, 2003 by Blackwell Publishing Ltd  

  • Verry, Matthieu. (2021). Panoptique - Jeremy Bentham. 10.13140/RG.2.2.19694.33605/1.

Jurnal Dalam Negeri;

  • Eldija D.Fadilla & Mastutie Faizah. (2016).  PANOPTIC ARCHITECTURE. 13(1). 16-23
  • Thoyibbah, Imadah. (2016). MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS. Jurnal Filsafat. 25. 134. 10.22146/jf.12617.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun