Bapak dan Ibu melihat ada kejujuran dan sikap pemberani dalam dirinya, kata-katanya jujur apa adanya, dia tidak menutupi kelebihan juga tidak malu membuka kebusukan. Nok, masa lalunya memang kelam, silahkan kamu pertimbangkan itu, hanya kalian yang bisa memastikan apakah masa depan kalian saling menghidupi atau saling mengorek luka masa lalu.
Biarlah ini menjadi duka Bapak untuk menghadapi orang-orang di luar sana, Bapak rela demi kebahagiaanmu bersama Mas Wil. Selanjutnya layaklah kamu pertimbangkan matang-matang, Bapak dan Ibu merestui kalian bersama juga tak menggugat pilihanmu untuk menolaknya.
"Pak, makasih ya Pak," pinta Audrey dalam tangisnya yang lembut.
"Iya nok, asal kamu bahagia," jawab Ayah.
Audrey sudah tiba di bandara Pkl 19.00, Wilfred mendarat sejam lagi.
Audrey memeluk Wilfred dengan erat, beberapa saat mereka melepaskan kelegaan dan kerinduan, seolah mereka kekasih yang ribuan tahun menanti restu dari dewa.
"Bagimana caranya dapat restu Bapak Ibuku?" Tanya Audrey saat mereka makan malam.
"Tampil dan berkata sejujurnya, aku mencintaimu sekaligus aku tak bisa menjamin kebahagiaanmu, tapi aku akan berusaha keras bahkan di luar kemampuanku. Ketidakyakinan Bapak sangat wajar dan manusiawi, tapi buat apa dia dapat menantu yang sopan, ramah, baik, penuh cinta tapi untuk menutupi kekurangannya - ingin diterima dan diapresiasi, menutupi ketakutannya akan realita bahwa hidup harus berjuang. Aku memberikan alternatif, bahwa aku bukanlah lelaki yang pantas menerima sisa hidupmu, tapi lelaki yang berusaha paling gigih untuk memperjuangkanmu dan anak-anakmu kelak dengan cara dan pemikiran yang realistis dan penuh makna. Aku ingin kita menghidupi dunia, tapi sebelum itu kita harus hidup dengan baik dulu. Kita hanya bisa memberikan apa yang kita punya kan nok," terang Wilfred.
Audrey tercekat atas ucapan Wil, kita hanya bisa memberikan apa yang kita punya. Wil memberikan dari apa yang ia punya meski itu tak lazim bagi banyak orang.
Audrey dan Wilfred memutuskan menikah bulan depan.
***