"Aku sudah siapkan curriculum vitae terbarumu, semua kopian sertifikat, juga lamaran yang tinggal kau edit," ucap Audrey yang tak lagi tersenyum, menantang Astu menuju gelap bersamanya. "Aku sudah memilihmu, aku berharap padamu, aku perlu wujud cintamu padaku," tambahnya.
Astu tertunduk, memandang lantai seolah jurang, ia harus putuskan apakah tetap atau menyebarangi jurang itu bersama Audrey. Kira-kira sepuluhan menit mereka terdiam, Astu mengusap-usap kening dengan kedua jarinya, Audrey sedari tadi menyelipkan jari-jari tangannya diantara sofa dan pahanya untuk menghangatkan tubuhnya tapi tidak membuat hatinya hangat.
Cinta mereka sedang mengeras menuju beku. Di relung yang dalam, keduanya ingin saling menghangatkan agar cinta itu kembali lembut. Tetapi Astu menggeser kertas itu menjauh darinya, telah ia putuskan untuk menjatuhkan cintanya yang beku itu kemudian remuk berkeping. Audrey tak bergegas memungut serpihan cinta Astu, ia tersenyum pada Astu yang tak memandangnya sembari mengemasi benda-bendanya dari atas meja, termasuk kertas itu. Audrey juga sengaja menjatuhkan cintanya di hadapan Astu.
Audrey tak tahan memandang serpihan cinta mereka yang bercampur, begitu indah dengan warna-warni kisah mereka. Ia menghampiri Astu yang sedari tadi berpaling  muka, tanda tak berani berperang rasa. Ia memeluk Astu dari belakang, sisa-sisa serpihan cintanya mencair melalui matanya, ia semakin mendekap Astu sehingga cairan yang sama serasa penuh di mata kekasihnya itu. Audrey mencium sebelah pipi Astu, menumpahkan cintanya di bagian yang dulu sering ia cubit penuh gemas dan sayang, kemudian pergi. Ia setangah berlari sembil mengusap cintanya yang tumpah. Astu memandang Audrey untuk terakhir kalinya, cintanya pun tumpah, melewati rambut halus di dagunya.
Audrey melemparkan tubuhnya ke ranjang, ia menangis sejadinya, membenamkan wajahnya ke bantal dan berteriak sejadinya. Baru ia sadari, ternyata sisa cinta dalam hatinya lebih banyak dari yang ia pecahkan tadi, ingin ia menahan agar cinta itu tak terus deras namun ia tak mampu, seolah cinta itu memang ingin keluar.
Astu masih di tempat yang sama, cinta itu tak terlihat tumpah dari matanya, orang kira ia masih mampu menyimpannya. Tetapi cinta itu keluar dalam rupa nafas, setiap hembusan nafas adalah cinta dari hatinya dan terus menghabis. Ia juga ingin menahannya namun tak mampu dan cinta itu terus menghembus.
Tiga tahun berselang Audrey harus menyesuikan tubuhnya membonceng Yamaha R1M, jognya lebih keras dari Vespa Astu, juga jauh lebih tinggi. Ia juga membiasakan diri untuk memeluk erat Wilfred, bukan karena kedekatan tetapi karena takut dengan kecepatan 100 km per jam atau lebih. Ia sebenarnya lebih menikmati 40 km per jam bersama Astu, mereka masih bisa tertawa sambil makan bakso tusuk atau cilok.
Sebagai manager pemasaran Audrey kerap menggunakan jasa perusahaan event organizer milik Wilfred Kinara. Wilfred selalu memastikan project yang ia jalankan berjalan lancar, terlebih jika berurusan dengan perusahan besar tempat Audrey bekerja. Beberapa kali mereka bertemu untuk memastikan kebutuhan dan kewajiban kedua perusahaan berjalan lancar.
"Drey, makan yuk," ajak Wilfred saat Audrey membuka pintu kamarnya. Mata Wilfred melirik belahan dada di depannya, Audrey yang hanya berpakaian tidur membuat dadanya berdegub.
"Boleh, masuk dulu deh, aku ganti baju dulu," tanggap Audrey yang melihat Wilfred sudah berpakaian rapi.
Wilfred menunggu di selasar kamar dan tak lama kemudian Audrey siap dengan jeans hitam dan kemeja merah maroon.