Mohon tunggu...
Yohanes Bara
Yohanes Bara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Founder TOBEMORE Learning Center Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keterampilan Refleksi, Keterampilan Hidup

27 Februari 2018   15:34 Diperbarui: 27 Februari 2018   15:47 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah hiruk pikuk dunia nyata yang menegangkan dan dunia maya yang penuh kepura-puraan, kita terombang ambing tanpa sadar, entah kemana. Dunia nyata itu bernama sekolah yang penuh dengan persaingan pertemanan, kalau perlu dengan mem-bully dan bermuka dua bisa mendapat banyak teman maka akan ku lakukan.

Saat kuliah memburu pengakuan dengan prestasi yang menterang atau aktivitas sosial. Saat bekerja aku harus lebih berhati-hati, tidak bisa sembarang bullyrekanku, prestasi juga tidak menjadi jaminan ketika aku banyak dijauhi.

Belum lagi persoalanku dengan orang tua yang tak pengertian, saudara yang tak perhatian, anak yang susah diatur, pasangan yang hanya mencari uang tanpa menjadi teman hidup. Ketegangan demi ketegangan mulai muncul, aku tak punya teman di sekolah atau temanku banyak tapi kesepian, kuliahku berantakan agar orang tuaku malu, aku dengan anakku menjadi canggung dan dingin.

Hari demi hari kian tegang dan tak berperasaan, semua seolah diukur dengan ukuran orang lain. Handphone dengan merek tertentu, kuliah tepat waktu, menyekolahkan anak di sekolah favorit, mobil yang baik. Dan kalau tak mendapatkannya aku merasa tak diterima.

Diterima -- adalah perasaan yang ingin dimiliki semua orang. Banyak orang rela "bertopeng" untuk mendapatkan penerimaan. Mengunggah foto-foto bahagia tetapi kesepian, memakai barang mahal padahal sebenarnya tak perlu, bahkan bekerja dan belajar sebaik-baiknya bisa jadi bukan agar berprestasi tetapi agar aku diterima karena pintar.

Terombang-ambing di tengah kekacauan hidup macam itu sungguh tak menyenangkan, semua berburu jumlah like, jumlah teman -- jumlah pengakuan. Yang ketika tak mendapatkan bereaksi mengerikan. "Aku sudah belajar sebaik-baiknya kok tidak dipuji mama papa, udah lah gak usah belajar sekalian." "Bos macam apa dia, pekerjaan sudah selesai lebih cepat tidak bilang apa-apa, mending gua kerjakan dengan santai."

Semua dilalui tanpa kesadaran -- hanya dengan terhanyut perasaan. Aksi -- reaksi. Kalau dia benti gua, gua benci balik. Kalau kerja baik nggak dipuji, gua kerja santai. Kalau tetangga beli motor baru, gua beli juga. Semua menjadi persaingan tanpa henti, sekali lagi, untuk dapat diterima.

Lalu bagimana diriku yang penuh kegalauan dan bertopeng tebal ini menjadi diriku yang true happinessdan asli? Caranya mudah, namun sebelumnya mari kita mengenal diri kita terlebih dahulu. Manusia tiga unsur: raga, pikiran, dan jiwa. Menjadi manusia yang utuh adalah menyeimbangkan ketiganya.

Kamu sehat jiwanya, sehat raganya, nggak sesat pikirannya maka jadilah orang bodoh. Sehat jiwanya, sakit raganya, pintar pikirannya maka jadi orang waras dan pintar tapi sakit-sakitan badannya. Sakit jiwanya itu artinya menjadi orang gila, meski badannya sehat tetapi jarang yang pikirannya juga sehat.

Manusia yang utuh adalah manusia yang merawat raga, pikiran dan jiwanya. Merawat raga atau badan banyak sekali caranya, mulai dari menjaga asupan makanan, olah raga, hingga menjadi atlet yang menjadikan olah raga sebagai profesi. Menjaga pikiran agar tetap sehat lebih sulit, diperlukan ketekunan dalam belajar, membaca, dan membaca. Semakin banyak belajar, belajar apapun, akan semakin baik pikirannya.

Terakhir, merawat jiwa yang galau, rapuh, kesepian, sebentar lagi bunuh diri tidaklah mudah. Hasilnya sering kali tidak nampak, sehingga tidak banyak yang setia melakukan perawatan jiwa. Sesuatu yang tak dapat dilihat bukan berarti tidak dapat diukur, dingin bisa dirasakan meski tak dapat dilihat. Tetapi untuk lebih meneguhkan, saya ingin sedikit bercerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun