Mohon tunggu...
Yoan SabiliAmra
Yoan SabiliAmra Mohon Tunggu... Penulis - Filsafat

Saya hanya ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Selayang Pandang: Metafisika dan Argumen Ketuhanan Alvin Plantinga

25 Mei 2024   22:36 Diperbarui: 25 Mei 2024   22:45 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Berbicara mengenai ketuhanan juga tidak lekang dari pendasaran terhadap filsafat ketuhanan, yang memiliki kerangka pemikiran kritis, sistematik, metodis dan secara mendasar mengenai tentang Tuhan, maka kendati dari filsafat ketuhanan juga akan mengobservasi bagaimana kepercayaan akan Tuhan dapat di pertanggung jawabkan secara rasional, maka objeknya adalah kesadaran manusia akan Tuhan, maka kesadaran itu telah timbul misalnya seperti yang ditemukan pada entitas agama, kepercayaan, maupun pengertian mengenai pengetahuan manusia[1]. Secara eksplisit bahwa filsafat ketuhanan selalu berkaitan dengan memikirkan apa yang berhubungan dengan Tuhan secara objektif dan sistematik, maka jika pendasaran mengenai argumen filsafat ketuhanan ialah mempertanggungjawabkan kepercayaan mengenai iman akan adanya Tuhan secara rasional, dengan demikian akan mengambil posisi yang apabila dapat ditunjuk mengani apa yang di imani, serta kehidupan yang di jalani berdasarkan iman itu adalah kesesuaian mengenai sumber iman itu, jadi teologi berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan.[2]

Pemikiran Alvin Plantinga mengenai ketuhanan secara khusus sudah tercantum di beberapa karya tersohor nya, dimulai dari proyek besar akademis besar pertama Plantinga di dalam disertasinya yang membahas etika dan naturalisme, titik pokok dalam karya nya itu ialah perdebatan utamanya mengenai hubungan tidak adanya kewajiban moral yang sejati jika naturalisme benar dan tidak ada pribadi seperti Tuhan, maka Naturalisme, menurut Plantinga, secara koherensi dapat menjelaskan mengapa kita lebih menghargai perilaku tertentu dibandingkan yang lain, dan mengapa kita merasa ngeri dengan perilaku tertentu, namun naturalisme tidak dapat menjelaskan 'keharusan' moral yang sejati. Setelah menyelesaikan disertasinya, Plantinga mulai mengerjakan isu-isu kompleks seperti argumen ontologis, verifikasionisme, dan masalah kejahatan, berbagai problem ini akan menjadi topangan besar Plantinga dalam monografi pertamanya: God and Other Minds.  didalam God and Other Minds, Plantinga mempertimbangkan penerimaan secara rasional dari kepercayaan kepada Tuhan. Sehingga sesudah mempertimbangkan secara hirearki argumen-argumen tradisional mengenai kepercayaan kepada Tuhan (teleologis, kosmologis, dan ontologis), ia berargumentasi bahwa tidak ada satu pun esensi argumen yang pada akhirnya mampu berhasil. Selain itu, Plantinga berpendapat bahwa argumen-argumen atheologis tradisional mengenai (masalah kejahatan, verifikasionisme, paradoks kemahamukasaan, dan penyangkalan ontologis terhadap keberadaan Tuhan) semuanya sama-sama memiliki ketidak sempurnaan. Dengan tidak adanya argumen yang berhasil baik yang mendukung atau menentang kepercayaan pada Tuhan, Plantinga menyarankan bahwa kepercayaan pada Tuhan harus dipandang sebagai analogi dengan kepercayaan akan keberadaan pikiran lain. Meskipun tidak ada argumen positif yang mendukung keberadaan mereka, kepercayaan akan keberadaan pikiran lain dan kepercayaan akan keberadaan Tuhan bisa jadi bersifat rasional.[3]

Alvin Plantinga dengan nama asli yaitu Alvin Carl Plantinga lahir pada sekitar 15 November 1932 di Ann Arbon, Michigan, dari pasangan Cornelius Plantinga dan Lettie Plantinga. Kedua dari pasamgan kakek-nenek Plantinga di besarkan di gereja-gereja Calvinis yang berasal dari apa yang disebut Afscheiding (pemisahan)  pada tahun 1834 di mana banyak para jemaat memisahkan diri dari gereja negara Belanda dan telah menciptakan Gereformeeerde Kerken[4], yang didedikasikan untuk praktik Calbinisme historis.[5] Meskipun secara situasi terdapat penganiayaan yang signifikan. Ayah Plantinga yaitu Cornelius A. Plantinga, saat itu merupakan seorang mahasiswa pascasarjana dalam bidang jurusan filsafat. Ibu Plantinga, yaitu Lettie Plantinga (nee bossenbroek), lahir di dekat Alto, Wisconsin[6] Kakek-nenek Alvin Plantinga telah membawa penekanan khusus pada pendidikan, terutama dalam pendidikan tinggi, dan keyakinan merekatelah memiliki pendirian bahwa keyakinan agama adalah sebuah realitas sentral dalam kehidupan di Belanda hingga mereka berpindah berimigrasi ke Amerika Serikat. Nilai pendidikan, khususnya pendidikan agama telah di tunjukan oleh kakek nya sendiri, yaitu Andrew Plantinga Setelah melihat putranya Cornelius (ayah Alvin) tidak tertarik mengikuti jejaknya sebagai petani di Sheldon, Iowa, melainkan lebih tertarik pada buku, Andrew (kakek Alvin) mengambil keputusan untuk memindahkan seluruh keluarganya ke Belanda, Michigan agar Cornelius bisa bersekolah di Sekolah Menengah Kristen Calvinis. Setelah lulus, Cornelius kuliah di Calvin College, belajar di bawah bimbingan William Harry Jellema, memutuskan untuk menjadi seorang filsuf, dan akhirnya melanjutkan studi pascasarjana di Universitas Michigan dan Universitas Duke.[7]

Kehidupan akademis Plantinga pada sekitar tahun 1957,  sudah mulai mengajar di Program Studi Directed di Yale, walaupun program mengajarnya di Yale di lewati dengan waktu yang begitu singkat, karena ada indikasi tanggapan terhadap permintaan yang sangat ambisius dari George Nakhnikian, sehingga Plantinga berpindah dan menerima posisi mengajar di departemen filsafat di Wayne State University. Dan Plantinga mengalami masa di mana situasi intelektual di Wayne state sangat baik, walaupun gambaran intelektual di Wayne State sangat subur, Alvin Plantinga tetap menolak ajakan untuk tinggal disana, sehingga pada akhirnya di tahun 1963 Plantinga menerima tawaran mengajar menggantikan Herry Jellema di Calvin. Plantinga memutuskan untuk meninggalkan Harvard dan pindah ke Calvin College, dengan landasan alasan komitmen nya terhadap Gereja Reformasi Kristen dan teologi Reformed yang dipraktikannya. Menurut Plantinga nilai untuk bekerja di Calvin telah memberikannya kesempatan untuk berfilsafat dengan memiliki suasana komitmen atas teistik, eklesiologis, dan teologis yang sama. [8]

Alvin Plantinga telah tinggal di Calvin selama sembilan belas tahun, akan tetapi hal yang mengejutkan ialah ketika Plantinga menerima posisi akademisi di Universitas Notre Dame sebagai Profesor Filsafat dari John A. O'Brien, dikarenakan melihat secara potensial Plantinga yang memiliki nilai baik yang berasal dari Calvin College, hal ini pun tentu menjadi titik motivasi bagi Plantinga, dalam meningkatkan royalti untuk menjadi direktur di pusat Filsafat Agama, dan mengajar untuk para mahasiswa dengan gelar Ph.D. Akan tetapi harapan besar yang timbul dari Plantinga ialah ketika ia sangat berkeinginan untuk membagikan dan memberikan sebagian apa yang telah Plantinga pelajari tentang Filsafat Agama.[9]

Alvin Plantinga telah meluncurkan minat dan karirnya terhadap bidang epistemologi keagamaan, pada God and Other Minds memajukan sisi minat Plantinga pada berbagai persoalan metafisika seperti konsep keniscayaan, khususnya yang diterapkan oleh gagasan mengenai "makhluk yang di perlukan" yang berkaitan terhadap argumen ontologis yang telah memunculkan gagasan tersebut. Pertimbangan mengenai berbagai topik ini akan mebawanya kepada serangkaian pertanyaan yang berkaitan langsung dengan metafisika, modalitas penyelidikan terhadap hakikat kebutuhan dan kemungkinan dunia yang secara niscaya terjadi, berupa juga sifat-sifat esensial dan sejenisnya. Pada buku Plantinga yang berjudul The Nature of Necessity, buku yang merupakan anlisisis paling mendalam tentang metafisika modalitas, merupakan salah satu karya terpenting tentang metafisika yang di tulis dalam lima puluh tahun terakhir, bagi Plantinga serangkaian itu adalah sebuah alat untuk bermaksud mengatakan bahwa keterkatikan Plantinga secara filosofis murni terhadap persoalan pertanyaan-pertanyaan metafisika, dan menjawab aneka pertanyaan metafisik ini akan memungkinkan mengungkapkan beberapa isu kunci sepuutar argumen ontologis dan yang lebih penting lagi, mengenai masalah kejahatan pada taraf ontologis teologis.[10]

Berkaitan dengan uraian argumen mengenai kosmologis, ontologis, dan teleologis, Plantinga sepenuhnya setuju dengan aransemen dari argumen tradisional untuk keberadaan Tuhan, dan segala keyakinan itu akhirnya akan berhasil, jika sebuah proposisi universal yang di terima oleh manusia secara intelektual akan menemukan arahan kesimpulan yang tidak rasional untuk di tolak, Plantinga berpendapat bahwa argumen dari teistik tradisional tidak cukup mampu secara koherensi karena tidak satupun dari mereka memiliki premis semacam itu, Namun, terhadap Proofialists, Plantinga berpendapat bahwa keyakinan bahwa Tuhan itu ada bisa sangat rasional, masuk akal, dan sesuai secara intelektual bahkan jika tidak ada argumen teistik yang baik[11] Dalam bagian tiga di karya God and Other Minds, Plantinga menguraikan pendapat bahwa argumen standar untuk berpikir pada pijakan ada pikiran selain pikiran sendiri yang gagal untuk kesimpulan argumen teistik tradisional, namun penerimaan yang lain secara solipsisme berpendapat juga bahwa; tidak ada yang secara khusus untuk serius berpikir bahwa adalah bodoh atau tidak secara rasional untuk percaya pada keberadaan pikiran selain pikiran sendiri, tentunya, jika ada sesuatu yang rasional untuk dipercaya, adalah rasional untuk percaya bahwa ada pikiran lain. Plantinga berpendapat bahwa kepercayaan pada Tuhan dan kepercayaan pada pikiran lain itu setara dalam sebuah makna jika salah satu dari mereka rasional maka begitu juga yang lain, Plantinga menyimpulkan secara sederhana bahwa "jika kepercayaan saya pada pikiran lain adalah rasional, demikian juga kepercayaan saya kepada Tuhan."[12] Dalam artikel di antara tahun 1970-1980, Plantinga telah mengembangkan dan membela mengenai pandangan bahwa kepercayaan rasional kepada Tuhan tidak memerlukan usaha bukti secara proposisional, pada perkembangan selama kurun priode 'The Reformed Objection to Natural Theology'  Plantinga berpendapat dalam lingkup keyainan kristen bahwa tidak perlu memerlukan argumen atau bukti proposisional agar kepercayaan mereka kepada Tuhan memiliki pembenaran rasional dan bahwa argumen semacam itu biasanya bukan merupkan bagian dari sumber kepercayaan orang percaya[13]Dalam sepintas mengenai 'apakah percaya kepada Tuhan itu dasar dengan benar?' Plantinga berpendapat bahwa kepercayaan mengenai Tuhan tidak selalu berorientasi terhadap pelanggaran kewajiban intelektual seseorang, entah dalam konteks harus dipahami secara teleologis (dalam hal konsekeunsi), atau secara aretis (dalam hal kebajikan) dan juga secara deontologis (dalam hal prima facie atau tugas utama). Sehingga Plantinga berpendapat bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu masuk akal dan tepat tanpa bukti dengan cara yang percis sama seperti keyakinan perseptual, ingatan, keyakinan, dan entitas keyakinan itu lah yang akan menganggap keadaan suatu mental pada orang lain benar-benar memilik dasar.[14]

Pandangan yang lain dari Plantinga pun menegaskan bahwa beberapa jenis mengenai kepercayaan tentang Tuhan khususnya sebagian besar yang tumpang tindih dengan segala keyakinan, pun demikian adalah benar secara dasar, bahwa keyakinan dasar adalah keyakinan yang tidak dibentuk atas dasar kepercayaan lain, hal itu akan benar-benar mendasar jika nilai dari subjek dibenarkan dalam proses membentuknya. Jelas bahwa sebuah keyakinan dibentuk hanya semata-mata atas dasar pengalaman yang di duga sebagai dari subjek keyakinan yang dihitung dari dasar. Selain itu secara objek yang nampak bahwa tidak semua kepercayaan tentang Tuhan yang akan dianggap sebagai dasar dari Plantinga akan diuraikan dari bentuk yang berdasarkan presentasi pengelaman subjek seseorang. Sebagai contoh ketika seseorang mengambil keyakinan tentang Tuhan yang diperoleh dari anak ke orang tuanya sebagai landasan dasar yang benar.

Plantinga juga berprasangka bahwa keyakinan dasarnya yang benar tentang Tuhan itu tidak memiliki dasar, alasannya karena dalam beberapa hal telah terdiri uraian keadaan yang telah menimbulkan keyakinan.[15] Dibalik itu kita juga mampu secara menguntukan untuk membandingkan dukungan yang Plantinga berikan untuk posisi epistemologis kita masing-masing mengenai keyakinan dasar yang tepat tentang Tuhan, Plantinga mendukung argumen posisinya dengan dua cara, pertama Plantinga meluncurkan kritik internal terhadap "fondasionalisme klasik"[16]. yang terdapat batasan dalam membatasi dasar yang tepat untuk proposisi yang terbukti dengan sendirinya, dan itu tidak mampu di perbaiki, atau terbukti dengan indera, sehingga akan membekukan keyakinan tentang Tuhan dari berbagai fondasi, kedua, selain menjawab keberatan tertentu terhadap posisinya, maka plantinga mengklaim bahwa metode dari uraian yang tepat untuk mengembangkan prinsip-prinsip pembenaran adalah implikasi terhadap induktif, berangkat dari kasus-kasus individual yang cukup jelas tentang keyakinan yang dibenarkan atau tidak dibenarkan. Jadi Plantinga menganggapnya cukup jelas pada refleksi, dalam beberapa kasus, bahwa keyakinan mengenai Tuhan adalah dasar yang benar. Dia mengakui bahwa banyak orang akan tidak setuju, tetapi mencatat bahwa kita terbiasa dengan ketidaksepakatan yang meluas dalam hal-hal filosofis.[17] Pembelaan Plantinga atas pondasi posisinya dikerangkai dengan sungguh hati-hati dan sangat to the point. Namun dmeikian, terkecuali untuk kritik negatif dalam pembelaan ialah pembelaan internal.

Plantinga juga tidak mempermasalahkan penyederhaan dalam fondasionalisme, justru sebaliknya Plantinga menegaskan bahwa beberapa keyakinan yang tidak terbukti dengan sendirinya, jelas bagi indera, atau yang tidak dapat di perbaiki adalah dasar yang benar, secara penekanan ia kembali menolak fondasinalisme klasik dan akan memperluas struktur pendukung fondasi pada fondasionalisme lemah yang di kerangkai oleh Plantinga sebagai pandangan bahwa, 1). Setiap struktur neotik rasional memiliki fondasi dan 2) dalam struktur neotik rasional, dalam ketyakinan non-dasar akan sebanding dengan ruas kekuatan dalam mendukung dari bentuk fondasi untuk memasukan kepercyaan kepada Tuhan, argumen Plantinga terhadap fondasinalisme klasik dapat di katakan demikian:

Menurut pandangan fondasionalisme klasik, hanya ada keyakinan yang benar-benar tertentu (yang terbukti dengan sendirinya, jelas bagi indera, atau tidak dapat diperbaiki) yang benar-benar mendasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun