Mohon tunggu...
Yhunk Yuliani
Yhunk Yuliani Mohon Tunggu... Pemerhati -

Konselor yang ingin menyambung silaturrahim lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Cara Anggota DPR Menjaga Kehormatan Dirinya

21 Februari 2018   14:58 Diperbarui: 21 Februari 2018   15:22 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Ahmad Sirojul Millah

Sudah lebih dari seminggu berlalu, tepatnya pada hari Senin (12/2/2018) DPR melalui rapat paripurnanya telah mengesahkan revisi kedua Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, atau lebih populer dengan sebutan UU MD3. Hingga saat ini, berita tentang UU MD3 ini masih terus dibahas oleh media dan masyarakat. Terlebih  setelah muncul di berbagai pemberitaan media Selasa lalu mengenai pernyataan dari Mendagri kita, Yasonna Laoly, bahwa Presiden Jokowi baru diberitahu akan pasal-pasal kontroversial yang terus menjadi perdebatan masyarakat seantero negeri. 

Sontak hal ini kembali menimbulkan pertanyaan di masyarakat, "lah kok lah kok lah..bisa-bisanya UU disahkan begitu saja tanpa sepengetahuan Presiden?". Mendagri berdalih kalau proses pembahasan pasal-pasal tersebut berlangsung begitu cepat sampai tidak sempat melaporkannya kepada Pak Presiden.

"Lah, mana saya tau, saya kan tidak diberitahu", rasanya saya akan menjawab dengan kutipan meme tersebut jika saya ada di posisi Pak Presiden Jokowi saat itu.

Lantas, sekarang bagaimana? Pembahasan revisi kedua UU MD3 sudah selesai dan disetujui pada rapat paripurna, apa yang bisa dilakukan presiden setelah terlambat mengetahui hal tersebut? Berdasarkan pemberitaan berbagai media baru-baru ini, agaknya Presiden Jokowi enggan menandatangani revisi kedua UU MD3 ini. 

Lalu, kalau tidak ditandatangani, apakah bisa mematikan UU MD3 ini? Tidak, tetap saja berdasarkan UU yang mengatur peraturan perundang-undangan, UU Nomor 12 Tahun 2011, UU yang telah disetujui pada rapat paripurna akan tetap sah dan diundangkan 30 hari setelah UU ini disetujui jika presiden tidak menandatanganinya. Artinya, tunggu saja, UU MD3 ini akan diundangkan dengan sendirinya. 

Jika begitu, penolakan presiden untuk tanda tangan tidak berguna dong, kan sudah terlambat? Ya...kalau untuk menolak pengesahan UU-nya sih iya, tapi setidaknya itu menunjukkan sikap politis Pak Presiden saat ini ada di posisi mana. Dan juga, Presiden mempersilahkan masyarakat untuk mengajukan gugatan ke MK jika dirasa UU MD3 ini tidak sesuai dengan nilai-nilai UUD 1945.

Memang benar, sebagian pasal dari pasal-pasal yang kontroversial tersebut sudah ada yang dilaporkan ke MK, dan saya akan sedikit membahas tiga pasal yang sudah dilaporkan ke MK tersebut. 

Pasal pertama yang ingin saya bahas adalah pasal 122 huruf k yang berbunyi "Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia."

Pasal ini tentu membuat para pengkritik anggota dewan patut berhati-hati. Buat para netizen yang sering komentar tanpa pikir panjang dalam mengkritik anggota dewan, saya tekankan betul untuk memerhatikan kembali komentar yang akan anda tulis. Buat para produsen meme juga, hati-hati, jangan sampai meme-meme kalian mendatangkan masalah. 

Akibat pasal ini, kalian semua menjadi lebih rentan terjerat hukum. Hal ini karena tidak ada batasan yang jelas untuk tindakan yang dimaksud "merendahkan kehormatan" dalam kutipan UU tersebut. Bisa saja kritik-kritik mengenai kinerja DPR ditafsirkan termasuk kategori "merendahkan kehormatan" yang dimaksud dalam pasal. 

Hal ini dapat berimplikasi pada berkurangnya peran masyarakat sebagai pengawas kinerja anggota dewan yang seharusnya merupakan perwakilan suara-suara mereka. Mengapa berkurang? karena pasal tadi bisa menimbulkan rasa takut di hati masyarakat kalau-kalau kritik mereka akan ditindak secara hukum.

Selain itu, tampak ada logika yang kurang tepat di sini. Majelis Kehormatan Dewan adalah alat kelengkapan dewan yang berfungsi untuk menjaga marwah kehormatan DPR. Memangnya, apa yang membuat DPR kehilangan kehormatan? Kinerja anggota yang buruk serta anggota-anggota DPR yang korup atau kritikan-kritikan kurang mengenakkan dari masyarakat? lagipula memangnya apa yang membuat masyarakat menyampaikan kritik kurang mengenakkan? kinerja DPR itu sendiri bukan? Kalau kinerja bagus, anggota-anggota DPR tidak lagi ada yang korup, bukankah kritikan tidak mengenakkan dari masyarakat akan jauh berkurang? 

Dan juga, bukankah sudah ada KUHP yang mengatur masalah penghinaan terhadap pejabat/pegawai negeri yang merupakan delik aduan? mengapa MKD malah ikut campur dalam hal ini? Hal ini justru akan menampakkan citra bahwa DPR berusaha menutupi kesalahannya dari kritik dengan membuat ancaman hukum. Citra yang seperti ini tentunya malah mengurangi kepercayaan dan rasa hormat masyarakat terhadap  lembaga negara yang bernama DPR yang malah bertolak belakang dengan fungsi Majelis Kehormatan Dewan itu sendiri.

Lalu, pasal kedua yang ingin saya bahas adalah pasal yang menunjukkan bahwa DPR memiliki kekuatan yang bersifat memaksa. Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia".

Sejak kapan DPR bisa seenaknya memerintahkan kepolisian? Kepala divisi Humas Polri sendiri, irjen. Pol. Setyo Wasisto, mengatakan bahwa DPR tidak berhak menjalankan fungsi yuridis untuk memanggil orang. Dengan melakukan tindakan pemanggilan orang menggunakan aparat kepolisian berarti DPR telah melakukan tindakan yang seharusnya menjadi peran penegak hukum. Hal ini melanggar prinsip trias politika yang membagi pemerintahan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Selanjutnya, pasal yang ketiga adalah pasal 245 ayat (2) yang berbunyi " Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan". 

Pasal ini yang membuat saya berkata bahwa DPR sangat teguh pendirian. Mengapa seperti itu? Di UU MD3 sebelumnya, yakni UU No. 17 Tahun 2014 ada pasal sejenis yang kutipan akhirnya "mendapat persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Dewan". Pasal ini selanjutnya diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi dan menghasilkan keputusan bahwa kutipan pasal ini tidak berlaku hukum apapun selama tidak diartikan "mendapat persetujuan tertulis dari presiden". Namun sepertinya DPR tetap teguh pendirian dan ngotot ingin memasukkan kontribusi MKD untuk berusaha melindungi anggotanya dari tindakan hukum. Lagipula,  seharusnya MKD tidak menyasar lingkup pidana karena fokus mereka ada di etik anggota dewan.

Saya pribadi sebagai mahasiswa berharap bahwa nantinya Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan kekuatan hukum dari pasal-pasal tersebut setelah uji materi. Uji materi MK memang tidak sebentar. Kita pantau terus perkembangannya sambal menunggu putusan yang terbaik dari MK. 

Segenap mahasiswa maupun masyarakat, semoga kita tidak gentar untuk tetap memantau dan mengevaluasi kinerja DPR meski berada dalam bayang-bayang salah satu pasal UU MD3 ini. Kita juga bisa menandatangani petisi yang menolak UU MD3 ini untuk memberikan tekanan kepada wakil-wakil kita di parlemen sana.

Teruntuk mahasiswa termasuk diri saya sendiri, semoga idealisme kita saat ini tetap bertahan hingga nanti kita menduduki jabatan-jabatan elit pemerintahan. Semoga idealisme kita nantinya tidak terpengaruh kepentingan-kepentingan pribadi ataupun golongan.

Referensi:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a852f7344415/poin-poin-kontroversial-uu-md3-baru-yang-berpotensi-langgar-konstitusi

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12554#.WoykV6OcG02

https://news.detik.com/berita/d-3868438/uu-md3-yang-baru-saja-disahkan-resmi-digugat-ke-mk

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/02/20/p4fy3s409-presiden-kemungkinan-tidak-akan-tanda-tangani-uu-md3

http://nasional.kompas.com/read/2018/02/20/20123061/yasonna-akui-tak-sempat-lapor-pasal-kontroversial-uu-md3-ke-jokowi

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180211161545-32-275448/superioritas-kewenangan-dpr-di-balik-revisi-uu-md3

https://katadata.co.id/berita/2018/02/12/disahkan-uu-md3-buat-dpr-miliki-kewenangan-kontroversial

Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun