Mohon tunggu...
dora melisa
dora melisa Mohon Tunggu... Pustakawan - just an ordinary people

Librarian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

New Normal: Titik Balik Perpustakaan

29 Juni 2020   19:03 Diperbarui: 29 Juni 2020   18:54 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

New Normal = Membiasakan Diri dengan Kelaziman Baru

New Normal atau tatatan normal baru menjadi sebuah proses beradaptasi dengan hal-hal yang dijalani sehari-hari namun dengan cara baru. Tatanan kehidupan normal baru ini tentunya akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan baru di tengah masyarakat. Salah satu kebiasaan yang mungkin dapat dikatakan sebagai ketergantungan atau kecanduan dengan internet. 

Seperti kita ketahui, sebelum merebaknya bencana COVID-19, ketergantungan masyarakat dengan gawai atau gadget sudah terbilang tinggi. Dari anak-anak hingga orang dewasa tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan akan gawai. 

Apakah itu hanya sekedar untuk kepentingan kerja, bisnis, berselancar di dunia maya atau,  bermain game online. Bahkan bagi sebagian orang, memiliki berbagai perangkat digital sudah menjadi kebutuhan primer dan bagian dari gaya hidup.

Setelah pandemi COVID-19, akses terhadap penggunaan gawai dan internet semakin meningkat karena memang adanya pembatasan untuk beraktivitas di luar rumah. Semua kegiatan perkantoran, pendidikan bahkan bisnis dialihkan menjadi beraktifitas dari rumah. 

Pekerja kantoran sibuk dengan Work From Home/ WFH, anak sekolah hingga mahasiswa juga melakukan pembelajaran secara online dari rumah, para pengusaha juga terpaksa menjalankan aktivitas bisnisnya secara online. 

Kondisi yang menyebabkan orang-orang harus menggunakan perangkat teknologi komunikasi dan jaringan internet, mau tidak mau membuat masyarakat harus memahami sejumlah aplikasi yang selama ini mungkin belum mereka ketahui sama sekali. 

Seperti aplikasi untuk meeting/pertemuan secara online, mencari sumber atau referensi untuk mendukung tugas-tugas sekolah dan kuliah serta memanfaatkan aplikasi video untuk mendokumentasikan untuk keperluan pekerjaan, tugas dan lain sebagainya.

Bagi mereka generasi muda, hal ini mungkin tidak terlalu susah. Mahasiswa misalnya, selama ini sudah terbiasa untuk melakukan penelusuran informasi di internet untuk mendukung pengerjaan tugas-tugas kuliah. 

Namun akan sangat berbeda jika hal ini dialami para ibu rumah tangga terutama yang kurang atau tidak melek IT. Tidak sedikit dari mereka yang mengeluhkan kondisi School From Home/SFH karena harus memanfaatkan media online menggunakan perangkat teknologi yang mendukung sementara mereka tidak familiar dengan itu. Selama SFH para ibu harus mendampingi anak mereka untuk memastikan apa yang disampaikan guru dapat diterima dengan baik.

Sangat repot memang, dan akan sangat repot lagi jika tidak ada satupun di keluarga para siswa mengerti tentang penggunaan berbagai aplikasi untuk menunjang proses pembelajaran. Namun inilah tantangan terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. 

Kemampuan literasi virtual masyarakat masih terbilang rendah terlebih di daerah- daerah yang tidak terjangkau oleh akses teknologi informasi. Kondisi ini harus menjadi concern/perhatian pemerintah khususnya dinas perpustakaan.

Tantangan Baru Literasi 

Selama ini sudah banyak perpustakaan yang melakukan kegiatan literasi dengan memanfaatkan berbagai media. Namun hal itu masih bersifat offline atau dilakukan secara tatap muka dalam pertemuan-pertemuan. Kini, dengan adanya pandemi COVID-19 yang grafiknya belum menunjukkan penurunan signifikan tentunya kegiatan literasi offline tidak dapat dilaksanakan. 

Dibalik musibah pandemi COVID-19, ada banyak hikmah dan peluang tercipta. Bagi perpustakaan, inilah momentum untuk lebih fokus menggerakkan literasi secara virtual. Sudah saatnya revolusi 4.0 dimanfaatkan secara maksimal untuk melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat.          

Perpustakaan harus merubah pola pelayanan. Jika sebelumnya masyarakat yang datang ke perpustakaan untuk mencari koleksi dan menikmati fasilitas lainnya, kini sudah saatnya perpustakaan yang mendatangi setiap rumah warga. Caranya bagaimana? Perpustakaan harus melakukan digitalisasi koleksi, beralih dari koleksi fisik ke koleksi digital. 

Dengan demikian perpustakaan dapat diakses kapan dan di mana saja. Sepertinya hal ini sudah dimulai oleh Perpustakaan Nasional dan beberapa perpustakaan khusus, umum maupun perguruan tinggi. 

Dalam sebuah diskusi online/webinar berjudul "Bangkit Dari Pandemi dengan Literasi", kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando mengatakan Perpusnas sudah mulai melakukan proses digitilaisasi koleksi. Perpusnas juga membeli copyright dari pemilik koleksi agar tidak melanggar hak cipta. Pada sebuah webinar lainnya di Perpustakaan Kementerian Pertanian, disampaikan bahwa Perpustakaan Kementan juga sudah melakukan transformasi perpustakaan. 

Beberapa produk layanan di perpustakaan khusus tersebut juga sudah berbasis android/digital. Perpustakaan ini juga sudah siap dengan konsep virtual literasi "Go Virtual" agar semua produk perpustakaan dapat diakses 24 jam. 

Sambil menunggu konsep literasi virtual siap diluncurkan secara menyeluruh, perpustakaan mungkin bisa kerjasama dengan aplikasi tranportasi online seperti antar atau pinjam buku ke rumah pemustaka sehingga kebutuhan akan informasi masyarakat tetap dapat dipenuhi disaat pandemi COVID-19. 

Mungkin ini baru beberapa contoh keseriusan perpustakaan bersiap menghadapi revolusi 4.0, sebab melek digital sudah menjadi sebuah keniscayaan untuk saat ini. Momentum ini menjadi titik balik bagi perpustakaan dan juga pustakawan tentunya sebagai sumber daya pengelolanya. Bagaimana menjadikan "dunia dalam genggaman" itu benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.   

Berdaya untuk Sejahtera

Jika semua produk layanan perpustakaan sudah berbasis digital, lalu apa masih perlu ada perpustakaan secara fisik? Mungkin pertanyaan ini juga banyak terlontar dari masyarakat. Menurut pendapat penulis, tentu saja masih. 

Mengapa? Karena perpustakaan bukan Cuma tempat untuk membaca dan meminjam buku saja. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pada pasal 1 disebutkan bahwa "Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka". 

Jadi ada fungsi lain perpustakaan yang mungkin lebih dapat dinikmati jika kita datang langsung ke perpustakaan, yaitu fungsi rekreasi. Mungkin beberapa perpustakaan sudah memiliki konten layanan kunjungan virtual, tetapi akan beda rasanya jika datang langsung dan mengabadi momen itu dalam ingatan maupun sebuah gambar/foto.

Apa hanya rekreasi saja? Manusia sebagai makhluk zoon politicon/ makhluk sosial (Aristoteles), dimana manusia sudah dikodratkan untuk hidup berinteraksi dengan satu sama lain atau hidup bermasyarakat.

Sifat alami inilah yang mendorong masyarakat  untuk tetap berkunjung ke perpustakaan, mungkin tidak untuk membaca atau mencari informasi lainnya tapi hanya sekadar bersosialisasi saja. 

Tidak hanya itu, perpustakaan bisa menjadi co-working space/ruang kerja untuk menghasilkan karya secara bersama. Hal ini tentunya sejalan dengan program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial seperti yang telah dilakukan oleh Perpusnas di berbagai daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. 

Melalui pemanfaatan koleksi yang dimiliki perpustakaan masyarakat dapat membentuk kelompok kerja untuk memberdayakan sumber daya alam yang dimiliki di daerahnya.

Di beberapa daerah di Indonesia, produk-produk kerajinan masyarakat yang kemudian dipasarkan secara lokal maupun nasional lahir dari kegiatan yang berlangsung di perpustakaan. Tentu ini tidak terlepas dari peran pengelola perpustakaan yang memiliki kompetensi untuk mendorong masyarakat agar berdaya.

Masyarakat yang tadinya tidak memiliki pekerjaan, ibu rumah tangga dan orang yang putus sekolah setelah ditempa dengan program inklusi sosial di perpustakaan akhirnya berhasil meningkatkan perekonomiannya dan berdaya saing. 

Di tengah pandemi COVID-19 saat ini, dimana kondisi keuangan masyarakat menurun, banyak pengangguran karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga angka kemiskinan menjadi bertambah. Inilah saatnya perpustakaan untuk lebih gencar melakukan literasi informasi melalui program-program pemberdayaan masyarakat.

Perpustakaan harus berubah. Image/citra yang dulu melekat perpustakaan sebagai gudang buku, tempat berkumpul para kutu buku, petugas yang galak, ruang yang pengap dan berdebu kini stigma tersebut harus dihapus. Sudah banyak perpustakaan yang ini memiliki konsep desain futuristik. Beberapa perpustakaan bahwa memiliki desain yang instagramable, furniture yang ramah anak dan tentu saja dukungan peralatan IT yang canggih.

Meski ruang gerak menjadi terbatas akibat COVID-19, bukan berarti perpustakaan tidak bisa lagi digunakan untuk co-working space. Saatnya layanan virtual menjadi                        

Perencanaan dan Kebijakan Komunikasi 

 Agar semua perpustakaan di Indonesia dapat menerapkan konsep virtual literasi sebagai gambaran perpustakaan masa depan tentunya dibutuhkan perencanaan yang matang. 

Dalam hal perlu ada komunikasi strategis, tidak hanya antara Perpusnas selaku perpustakaan pembina tetapi juga melibatkan beberapa kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah dan mungkin saja pihak swasta. Berbicara tentang perubahan konsep perpustakaan yang tentunya berimbas pada perubahan sosial di masyarakat, diperlukan komunikasi yang baik.

Komunikasi adalah tentang membangun pemahaman. Komunikasi adalah tentang memelihara perubahan (Patterson & Radtke, 2009: 8-9). Agar perubahan sosial yang diharapkan berjalan sesuai rencana dan harapan, kunci keberhasilannya adalah komunikasi strategis. Dalam ilmu komunikasi, Komunikasi strategis ini didorong oleh misi, berfokus pada audiens, dan berorientasi pada tindakan. 

Komunikasi strategis adalah seni mengekspresikan ide yang dikombinasikan dengan ilmu transmisi informasi. Komunikasi strategis adalah menyusun pesan sehingga memotivasi audiens target untuk bertindak dengan cara yang diinginkan. 

Komunikasi strategis membantu memproyeksikan citra positif organisasi, memfokuskan perhatian publik, memperkuat kemitraan masyarakat, dan memaksimalkan sumber daya organisasi yang langka untuk mencapai perubahan sosial (Patterson & Radtke, 2009: 8-9).

Perencanaan dan kebijakan yang melibatkan lintas sektor ini harus sistematis dan visioner. Semua pihak yang terlibat harus memiliki perencanaan yang strategis dan konsisten serta berkomitmen untuk merealisasikannya.

Dalam ilmu komunikasi, perencanaan komunikasi adalah suatu usaha yang sistematis dan kontiniu dalam mengorganisir aktivitas manusia terhadap upaya penggunaan sumber daya komunikasi secara efisien guna merealisasikan kebijakan komunikasi (Amic, 1982). 

Kebijakan komunikasi merupakan studi tentang keputusan dan tindakan yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan persoalan komunikasi (Abrar, 2008).  Kebijakan komunikasi dalam konteks luas merupakan perencanaan strategis jangka panjang, sedangkan perencanaan komunikasi merupakan perencanaan operasional jangka menengah atau jangka pendek.

Dari segi isi, kebijakan yang dibuat nantinya harus dilihat poin interest affected/kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi, apakah kebijakan itu melibatkan atau mempengaruhi banyak pihak. Type of benefits/tipe manfaatnya bagaimana, semakin banyak manfaat yang diberikan, mengindikasikan semakin berhasil kebijakan yang dibuat. 

Tingkat perubahan yang diinginkan seperti apa, perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan harus memiliki skala yang jelas. Site of decision making/letak pengambilan keputusannya dimana, Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan. 

Semakin jauh letak pengambil kebijakan dari pihak yang dilayani, semakin sulit kebijakan tersebut diimplementasikan. Pelaksana programnya siapa, bisa jadi pemerintah, sektor swasta dan masyarakat umum. Selanjutnya, sumber daya yang digunakan harus memadai.

Dari segi konteks implementasi, kebijakan perlu dipertimbangkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan (bisa jadi Perpusnas, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, swasta). 

Harus diperhatikan karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa, lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya. 

Maka pada bagian ini dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan. Terakhir, tingkat kepatuan dan respon dari pelaksana. Hal yang juga penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana.

Dari pengertian di atas, tentunya mewujudkan konsep literasi virtual di seluruh perpustakaan di Indonesia butuh waktu yang tidak sebentar. Mengingat Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan geografisnya berupa gugusan pulau-pulau dan pegunungan, menjadi tantangan dalam penyebaran teknologi informasi. 

Pemerintah harus menjadikan program ini sebagai prioritas pembangunan, karena kemajuan perabadan suatu bangsa ditentukan dari kemampuan literasi masyarakatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun