Jika semua produk layanan perpustakaan sudah berbasis digital, lalu apa masih perlu ada perpustakaan secara fisik? Mungkin pertanyaan ini juga banyak terlontar dari masyarakat. Menurut pendapat penulis, tentu saja masih.Â
Mengapa? Karena perpustakaan bukan Cuma tempat untuk membaca dan meminjam buku saja. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pada pasal 1 disebutkan bahwa "Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka".Â
Jadi ada fungsi lain perpustakaan yang mungkin lebih dapat dinikmati jika kita datang langsung ke perpustakaan, yaitu fungsi rekreasi. Mungkin beberapa perpustakaan sudah memiliki konten layanan kunjungan virtual, tetapi akan beda rasanya jika datang langsung dan mengabadi momen itu dalam ingatan maupun sebuah gambar/foto.
Apa hanya rekreasi saja? Manusia sebagai makhluk zoon politicon/ makhluk sosial (Aristoteles), dimana manusia sudah dikodratkan untuk hidup berinteraksi dengan satu sama lain atau hidup bermasyarakat.
Sifat alami inilah yang mendorong masyarakat  untuk tetap berkunjung ke perpustakaan, mungkin tidak untuk membaca atau mencari informasi lainnya tapi hanya sekadar bersosialisasi saja.Â
Tidak hanya itu, perpustakaan bisa menjadi co-working space/ruang kerja untuk menghasilkan karya secara bersama. Hal ini tentunya sejalan dengan program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial seperti yang telah dilakukan oleh Perpusnas di berbagai daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.Â
Melalui pemanfaatan koleksi yang dimiliki perpustakaan masyarakat dapat membentuk kelompok kerja untuk memberdayakan sumber daya alam yang dimiliki di daerahnya.
Di beberapa daerah di Indonesia, produk-produk kerajinan masyarakat yang kemudian dipasarkan secara lokal maupun nasional lahir dari kegiatan yang berlangsung di perpustakaan. Tentu ini tidak terlepas dari peran pengelola perpustakaan yang memiliki kompetensi untuk mendorong masyarakat agar berdaya.
Masyarakat yang tadinya tidak memiliki pekerjaan, ibu rumah tangga dan orang yang putus sekolah setelah ditempa dengan program inklusi sosial di perpustakaan akhirnya berhasil meningkatkan perekonomiannya dan berdaya saing.Â
Di tengah pandemi COVID-19 saat ini, dimana kondisi keuangan masyarakat menurun, banyak pengangguran karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga angka kemiskinan menjadi bertambah. Inilah saatnya perpustakaan untuk lebih gencar melakukan literasi informasi melalui program-program pemberdayaan masyarakat.
Perpustakaan harus berubah. Image/citra yang dulu melekat perpustakaan sebagai gudang buku, tempat berkumpul para kutu buku, petugas yang galak, ruang yang pengap dan berdebu kini stigma tersebut harus dihapus. Sudah banyak perpustakaan yang ini memiliki konsep desain futuristik. Beberapa perpustakaan bahwa memiliki desain yang instagramable, furniture yang ramah anak dan tentu saja dukungan peralatan IT yang canggih.