Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Takdir untuk Sumi #13

8 Februari 2015   05:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:36 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lili benar-benar dibuat kesal oleh tingkah Dion, cucunya. Sejak pagi tadi, Dion menunjukkan sikap yang berbeda dari biasanya. Saat hendak berangkat ke sekolah, dia tidak mau bersalaman dan berpamitan kepada Lili. Nasi goreng yang sudah dimasak oleh Lili sesuai dengan keinginannya pun tak disentuhnya. Sepulang sekolah dia masih melanjutkan aksinya. Dia bermain bola di dalam rumah sehingga bunga kristal kesayangan Lili terhempas dari meja dan pecah. Lili benar-benar dibuatnya bingung.


“Dion, kalau kamu tidak mau lagi mendengar kata-kata Nenek, sebaiknya kamu tinggal di rumah lama dengan papamu” Lili sudah kehilangan akal dan mencoba menakutinya.


“Gak mauuuu!” Dion berteriak, “Aku gak mau tinggal sama Papa.” lanjutnya kemudian.


“Jadi Dion mau tetap di sini sama Nenek? Kalau begitu Dion harus jadi anak baik, Dion harus mendengar kata-kata Nenek.” Lili bicara perlahan, dia merasa punya kesempatan untuk melunakkan hati cucunya.


“Enggak mauuuu!” Dion kembali berteriak, lebih keras dari sebelumnya.


“Aku mau sama Mama! Aku mau sama Mama!” Lak-laki kecil itu kini menangis sambil terus berteriak-teriak.


Lili terhenyak. Dia belum pernah menghadapi tingkah Dion yang seperti ini. Dia merasa selama ini semua baik-baik saja. Dia merasa bersalah. Selama ini dia tidak tahu sebegitu dalam kerinduan Dion terhadap mamanya.


Doni, yang sudah hampir lima belas menit berada di luar, duduk di teras rumah itu, ikut terpukul. Dia merasa kasihan pada keponakan kecilnya yang ternyata memendam kerinduan mendalam terhadap mamanya, Adisti, kakak Doni.


Mendengar Dion yang masih terus saja berteriak-teriak , Doni semakin tidak tahan. Dia menerobos masuk ke dalam rumah.


“Dion, Dion mau ketemu mama? Yuk ikut Om Doni.” Kehadiran Doni yang tiba-tiba mengagetkan Lili juga Dion.


“Nak Doni, Tante betul-betul tidak mengerti dengan sikap kakakmu. Kamu lihat sendiri akibat keras kepalanya kakakmu itu.”


“Maafkan Kak Adis, Tante. Seandainya Tante tahu apa yang terjadi, Tante pasti bisa mengerti.”


“Tidak, Tante tetap tidak bisa terima. Bagaimana mungkin seorang ibu tega meninggalkan dua anaknya yang masih kecil-kecil ini”


“Tante, saya juga sudah berusaha membujuk Kak Adis agar berterus terang supaya tidak ada yang berprasangka buruk kepadanya, tapi dia selalu bilang semua ini dilakukannya justru karena rasa sayangnya kepada Della dan Dion” Doni berusaha tetap tenang meskipun ada rasa tak enak saat Lili tetap saja menyalahkan Adisti.


“Sudahlah Doni, Saya tetap tidak bisa mengerti, kecuali saya tahu apa yang terjadi”


“Maksud Tante?”


“Kita ke Bandung sekarang.”


“Tapi, Tante…”


“Terserah kamu. Lihat itu, Dion sudah bersiap-siap, Kamu tadi yang mengatakan akan mengajaknya menemui mamanya.”


Doni tak bisa lagi mengelak, Dia tidak mungkin mengecewakan Dion yang sudah berdiri dengan koper pakaian kecil di sisinya.

@@@


Kondisi Adisti belum juga menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Malah sebaliknya. Tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Kulitnya yang dahulu putih segar kini menghitam tanpa sinar. Bahkan rambut indahnya yang selalu dipuji oleh Riyan pun tinggal beberapa helai lagi.


“Teh Adis, besok pagi jadwal kemo lagi, kan? Supaya tetap segar, ini saya buatkan sayur bayam. Dimakan, ya, Teh!” Adis hanya mengangguk kecil. Wiwik, adik sepupunya, yang selama ini menamani dan merawatnya, duduk di samping pembaringannya.


“Wik, Doni kok belum ngasih kabar, ya?”


“Kabar apa, Teh? Memang teteh ada janji sama Doni?”


“Enggak, sih. Biasanya dia ngasih kabar soal anak-anak. Mudah-mudahan mereka semua baik-baik saja di sana”


“Oh…, tapi kenapa sih Teteh gak terus terang saja sama keluarga Kang Dion? Padahal kalau mereka tahu, kan bisa ngasih dukungan sama Teteh”


Adis tak menyahut. Sulit baginya untuk menjelaskan jalan pikirannya kepada orang lain. Dia sangat sadar caranya dianggap tidak wajar oleh semua orang.


Adis memejamkan matanya, saat-saat menjelang kemoterapi selalu menjadi waktu-waktu yang menegangkan baginya. Membayangkan rasa kering di tenggorokan dan mual-mual bahkan rasa nyeri di sekujur tubuhnya, seringkali membuatnya ingin menyerah. Hanya satu hal yang membuatnya mampu bertahan, kedua anaknya.


Bayangan wajah kedua anaknya, tergambar jelas di benaknya. Adisti tersenyum. Pada saat yang sama dua butir cairan bening meluncur dari sudut matanya.


“Mama…” Senyum Adis semakin terkembang tetapi matanya tetap saja terpejam. Lamunannya mencipta wajah-wajah mungil yang berlarian riang saat pulang sekolah. Mereka berdua langsung mencarinya tanpa terlebih dahulu melepas baju seragam sekolah yang sudah beraroma keringat.


Mereka berdua akan meminta hadiah istimewa dari Adisti, sebuah ciuman sayang di kedua pipinya.

“Mama, bangun, Ma… Ini Della sama Dion, Ma…” Mata Adisti tetap saja terpejam. Bahkan senyumannya pun masih membayang. Adisti bahagia walaupun Dia tak sempat lagi memberi ciuman hangat di kedua pipi anak-anaknya. Tak pernah lagi.

@@@


Dua puluh tahun hidup di negeri orang tidak mengubah Sumi menjadi orang lain. Sumi tetap menjadi perempuan yang hidup dengan beban rindu. Ketika akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia, itu karena dia ingin memenuhi janjinya kepada putri kesayangannya. Dia ingin hadir pada pernikahan sang buah hati. Ingin menumpahkan segala rindu. Memeluknya dengan luapan cinta yang selama ini dibendungnya.


Putri kecilnya tentu sudah tumbuh menjadi gadis cantik, dia takut kehilangan momen pernikahan yang sudah dia janjikan pada surat kecil yang ditinggalkannya di rumah Bunda Hesti. Dia harus ada di sana, ketika bidadari kecilnya menikah.


Kepulangan Sumi juga sangat diharapkan oleh Ibunya yang sudah semakin tua. Berdua kini mereka merajut hari-hari. Berusaha bangkit dan menata kembali kehidupan yang sempat terkoyak dan nyaris hancur.


Kabar pernikahan yang dinanti-nanti itu akhirnya sampai juga ke telinganya. Setelah nyaris setiap bulan dia diam-diam berkunjung ke kota tempat dia titipkan putrid kecilnya.

bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun