Saya resmi bergabung dengan Kompasiana semenjak 29 Maret 2012 dan artikel pertama yang saya tulis tertanggal 1 Juli 2012. Ya, butuh waktu sekitar 4 bulan bagi saya untuk memutuskan agar mau menulis, dan kini 4 tahun sudah saya menyandang gelar “Kompasianer”. Bermula dari kebuntuan menyelesaikan tesis, Kompasiana seakan menjadi penyelamat bagi saya dari stres tingkat tinggi. Pasalnya, saya seakan menemukan tempat “pelarian” yang tepat. Saya menulis, menulis dan terus menulis tidak begitu peduli apa yang saya tuliskan bagus atau tidak, yang terpenting tidak merugikan pihak manapun.
Jika Kompasiana kini genap berusia 8 tahun, maka saya setengahnya yaitu 4 tahun karena dalam kurun waktu tersebut lah saya bergabung dengan Kompasiana. Jika Kompasiana lahir tanggal 22 Oktober maka saya setengahnya, karena saya lahir tanggal 11 Oktober. Kebetulan belaka, kah? Entah.
By the way, Ini adalah artikel saya yang ke 135. Berdasarkan statistik, artikel saya telah dibaca sebanyak 57.230 kali, terdapat 155 komentar, 140 nilai, dan 64 pilihan. Dari 134 artikel yang ada, hanya 8 artikel saja yang menjadi headline. Tapi, saya teramat sangat bersyukur atas penghargaan tersebut.
Sekedar napak tilas berikut mungkin daftar momen kemenangan, yang sebenarnya tidak seberapa, tapi bagi saya pribadi sangatlah berharga. Pada tanggal 17 September 2012 untuk pertama kalinya tulisan saya menjadi Pemenang dalam kompetisi blog yang diadakan oleh Kompasiana yaitu pada Nissan Evalia Blog Competition (baca: disini). Tulisan saya menjadi Pemenang ke – 3 dan beruntung mendapatkan Samsung Galaxy Young. Inilah momen kali pertama menjejakkan kaki ke kantor Kompas yang terletak di bilangan Palmerah. Karena pada bulan inilah saya mengunjungi kantor Kompas sekedar untuk mengambil hadiah. Percaya atau tidak, saya bertolak dari Manado menuju Bogor lalu naik kereta menuju Jakarta. Hmm...
Setelah 1,3 tahun lamanya tanpa embel-embel juara maka pada akhir tahun 2013, yaitu tepat pada tanggal 10 Desember 2013 tulisan saya terpilih menjadi salah satu pemenang Tiket “The Mark Plus Conference 2014” (baca: disini). Tiket seharga Rp 1.200.000 (yang kalaupun diminta untuk membelinya mungkin saya akan berpikir dua kali, haha) dan pengalaman berharga menjejakkan langkah di Ritz Carlton Jakarta serta berkumpul dengan orang-orang yang kompeten di bidang bisnis dan pemasaran menjadi momen yang tidak terlupakan.
Lantas, siapa juga yang akan menyangka bahwa artikel saya di tahun 2012 yang berjudul “Lautku, Lautmu dan Laut Kita” akan menjadi referensi karya ilmiah seorang mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu bernama Febi Junaidi pada artikel ilmiahnya yang berjudul “Laut sebagai Faktor Integrasi Nasional” tertanggal 26 September 2013 (baca: disini).
Belum usai rasa ketersanjungan, saya lantas menemukan artikel saya di tahun 2014 yang berjudul “Tri Hita Karana: Perangkat Lunak Pencapai Keharmonisan dan Kearifan Lokal Masyarakat Bali” yang kemudian menjadi salah satu referensi dalam karya ilmiah seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Tidak tanggung-tanggung artikel tersebut disitasi dan dijadikan referensi untuk karya ilmiah DISERTASI yang berjudul “Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Perspektif Filsafat Lingkungan dan Relevansinya bagi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia” (baca: disini). Wow! Bayangkan saja artikel tulisan saya di Kompasiana yang begitu sederhana disitasi oleh seorang mahasiswa Program Doktoral/S3 Ilmu Filsafat UGM. Saya sungguh terharu, ini luar biasa! LEBAY? Ya! Sejauh ini, saya rasa inilah momen terbaik saya selama 4 tahun di Kompasiana. Ini mungkin sama sekali bukanlah pertanda kapasitas saya sebagai seorang Kompasioner, tapi saya benar-benar terharu. Semacam merasa berarti. Ah, Speechless!
Kebermanfaatan diri semacam ini seakan menjadi proses penghargaan yang mungkin bagi banyak orang merupakan hal yang biasa saja tapi lain halnya dengan saya. Apa yang saya tulis lalu kemudian disitasi orang lain menandakan bahwa apa yang saya tuliskan tersebut bermakna kendati sangat sederhana. Saya seakan menjadi pribadi yang berharga dan saya sadar bahwa kita tidak mesti menunggu menjadi sempurna untuk dapat berbuat sesuatu hal bagi orang lain. Kita cukup menjadi diri kita dengan apa adanya kita saat ini saja dengan tentunya terus berupaya berbuat baik semampu yang kita bisa.
Pada akhirnya, Kompasiana bagi saya tidak sekedar menjadi wadah untuk menyalurkan hasrat menulis, berkompetisi maupun berjejaring. Melainkan mengasah skill dan kemampuan bertutur. Terimakasih, Kompasiana. Semoga di usia 1 windu ini semakin mampu membuat para kompasioner merindu. Rindu akan informasi aktual dan menyenangkan lainnya.
Facebook: Yesi Hendriani Supartoyo
Twitter: @yesihendriani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H