Mohon tunggu...
Yesi Moci
Yesi Moci Mohon Tunggu... -

penulis novel cinta pada pendengaran pertama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Paraphase Novel Cinta pada Pendengaran Pertama

18 Juni 2011   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ULASAN TERHADAP NOVEL BERJUDUL "CINTA PADA PENDENGARAN PERTAMA"

PENULIS NOVEL: YESI MOCI

Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono (Isman)

--Penulis Buku “The Story of Gayus”--

Suasana pantai dan deburan ombak membuka cerita runtut dalam novel yang diberi judul “Cinta Pada Pendengaran Pertama” ini. Dan di pantai inilah seorang yang bernama Uni tengah menikmati keindahan pantai, yang terletak di daerah pulau Batam, hingga tiba-tiba Uni dihampiri oleh seorang ibu [berumur setengah baya] penjual rempeyek udang yang menawarkan barang dagangannya kepada Uni. Kehadiran ibu berumur setengah baya itu langsung mengingatkan Uni kepada ibu kandungnya, yang saat itu, berstatus sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tengah mengais rejeki sebagai pembantu rumah tangga di negara Arab Saudi.

Diceritakan dalam novel ini bahwa motivasi utama ibu kandung Uni bekerja keluar negeri adalah karena alasan telah terjadinya keterpurukan ekonomi dalam kehidupan rumah tangganya. Ayah Uni yang bekerja sebagai buruh bangunan mengalami kecelakaan, terjatuh dari lantai tiga ketika sedang menjalankan pekerjaannya sebagai buruh bangunan, membuatnya terpaksa berhenti bekerja untuk sementara waktu demi untuk mengobati luka-luka dan rasa sakit karena kecelakaan kerja itu. Namun, walaupun hanya sementara waktu, kebutuhan akan uang membuat ekonomi rumah tangga tersebut dilanda masalah, sampai dari masalah pengobatan rutin Uni yang mengidap penyakit epilepsi (ayan), kebutuhan rumah tangga lainnya yang dapat dipenuhi asalkan ada uang, sampai dengan uang untuk proses penyembuhan ayah Uni yang mengalami kecelakaan kerja tersebut. Berangkat dari pelbagai permasalahan ekonomi itulah, maka ibu kandung Uni terpaksa harus “cabut” ke negera Arab Saudi untuk mengais rejeki disana demi untuk suami dan anak-anaknya di Indonesia.

Ibu Uni adalah seorang yang tegar (tidak cengeng), tangguh, jujur dan memiliki karakter dan kepribadian yang ramah dan selalu berhati-hati dalam berucap. Sehingga karena sifat-sifatnya tersebutlah ibu Uni selalu terhindar dari marabahaya yang mengancam dirinya, seperti perlakuan kasar dan kejam dari majikannya. Bahkan karena sifat-sifatnya itulah ibu Uni disayang oleh majikan, bahkan sikap majikan kepada ibu kandung Uni ini sangat simpatik. Sifat-sifat mulia ibunya Uni ini sesungguhnya berperan sebagai perisai untuk melindungi dirinya ketika bekerja di luar negeri. Selain memberikan perlindungan diri kepada ibu Uni sendiri sehingga dia merasa nyaman dan aman, lebih jauh lagi hal tersebut juga berdampak kepada ketenangan keluarganya di Indonesia (suaminya, Uni dan adiknya Ulfah) yang kawatir terhadap berita-berita miring yang merebak di Indonesia yang berkaitan dengan nasib TKI di luar negeri, seperti peristiwa penyiksaan TKI di luar negeri atau gaji yang tidak di bayar walaupun bertahun-tahun sudah bekerja di luar negeri.

Ketangguhan ibu kandung Uni dan Ulfah ini secara ekonomis membuat keuangan keluarga menjadi stabil dan terangkat. Dari uang yang dikirimkan oleh ibu Uni pada keluarga lambat laun membuat keluarga memiliki/mampu membeli sebuah rumah yang sebelumnya berstatus sebagai rumah kontrakan, mengobati suaminya yang mengalami kecelakaan kerja hingga sembuh dan kemudian dapat bekerja kembali sebagai buruh bangunan, dapat membeli motor untuk kerja suaminya, pengobatan secara rutin penyakit ayan Uni ke Dokter Santos dapat terus berlanjut.

Kita kembali ke ibu [berumur setengah baya] penjual rempeyek yang diceritakan pada bagian pembuka dalam novel ini. Setelah Uni membeli rempeyek yang dijual oleh ibu berumur setengah baya tersebut, Uni pun pulang. Dalam perjalanan pulang Uni dikagetkan oleh pemandangan yang menghantam perasaannya. Uni menyaksikan dengan mata kepalnya sendiri Ayahnya berboncengan dengan seorang perempuan yang seksi--berbodi amboy--dengan kendaraan roda dua (motor) yang dibelikan oleh ibu kandungnya yang dengan bersusah payah mengais rejeki di negara Arab Saudi. Seakan tidak percaya dengan pemandangan tersebut, Uni yang mengenakan kacamata berwarna hitam mencopot kacamatanya, dan kemudian bola matanya yang telanjang tanpa kacamata tersebut mengikuti kemana berhentinya kendaraan beroda dua tersebut berhenti. Kendaraan itu pun kemudian berhenti di sebuah warung di pinggiran pantai. Dan dengan mata kepalanya sendiri itulah Uni menyaksikan seorang perempuan bermesraan dengan ayah kandungnya sendiri. Dengan perasaan sakit yang teramat sangat dan pikiran yang berkecamuk di dalam batok kepalanya Uni pun menangis dan pada saat itu pulalah Uni merasakan bumi yang dipijaknya bergoyang-goyang dan semua terasa gelap, penyakit ayan yang diidap oleh Uni pun kumat, Uni pun terjerembab jatuh, menggelepar-gelepar seperti ikan di atas daratan, dan kemudian pingsan! Yah, Uni yang bermata juling itu tidak kuat menyaksikan pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya tersebut.

Ketika Uni sadar dari pingsannya, Uni telah berada di sebuah rumah. Li Yin seorang sahabat Uni ini lah yang telah menolong Uni. --Li Yin adalah seorang perempuan bersuami, keturunan China yang beragama berbeda dengan Uni yang beragama Islam dan status sosial pun berbeda antara Lin Yin dan Uni. Walaupun mereka berbeda namun toh mereka bersahabat, bahkan bersaudara layaknya kakak-beradik, justru keakraban mereka melebihi dari seorang saudara kandung.-- Uni pun bercerita panjang lebar kepada Lin Yin tentang penyebab penyakit ayannya kumat dan kemudian berujung pada terjengkangnya tubuh Uni ke tanah lalu pingsan. Curhatan Uni kepada Lin Yin Intinya menyalahkan ayahnya yang telah berselingkuh tersebut yang kemudian karena pemandangan yang disaksikan oleh mata kepala Uni sendiri tersebutlah yang kemudian “memotivasi” Uni untuk pingsan sambil mengeluarkan air liur dari mulutnya karena ayan. Namun, apa tanggapan dari Lin Yin seorang sahabatnya tersebut? Lin Yin menanggapi bahwa hendaknya Uni menyelidiki dulu kebenaran dari prasangka Uni tersebut, sebelum Uni memvonis hal-hal yang negatif kepada ayah kandung Uni tersebut.

Lin Yin tidak hanya menyarankan Uni untuk menyelidiki kebenarannya telebih dahulu terhadap prasangka buruk Uni terhadap ayahnya tersebut, namun dia juga merealisasikannya dalam bentuk tindakan (ga cuma ngomong doang--kata orang Jakarta). Perealisasian ucapan dari Lin Yin tersebut menemui kenyataannya ketika pada suatu hari Lin Yin tanpa dikomando dan secara mendadak menyeret Uni untuk menguntit ayahnya yang berkendaraan bermotor menuju ke suatu tempat. Dua sahabat itu menguntit laki-laki beranak dua dan beristri satu itu dengan menggunakan kendaraan umum. Dan Lin Yin lah yang mengongkosi biaya angkutan umum tersebut tanpa pamrih apapun dari sahabatnya, Uni. Hingga tibalah mereka pada suatu tempat, dimana laki-laki itu singgah, tempat itu adalah sebuah gedung yang dihuni oleh banyak sekali orang yang mengalami gangguan jiwa. Yups, tempat itu tidak lain adalah Rumah Sakit jiwa, tempatnya orang-orang gila menjalani pengobatannya di sana.

Uni pun pada saat itu terbakar amarah yang membara ketika dia dan Lin Yin menyaksikan dari kejauhan kalau ayah kandung Uni berpelukan dengan seorang perempuan seksi dan bahenol-geulis pisan yang pernah dipergokinya berboncengan dengan ayahnya sebagaimana diceritakan pada awal cerita di novel ini. Uni sudah bersiap-siap melabrak dan memuntahkan caci maki terhadap perempuan dan laki-laki ayah kandungnya tersebut, namun sebelum niat Uni terealisasikan handphone milik Lin Yin berbunyi dan setelah Lin Yin mengangkat panggilan dari handphone-nya tersebut Lin Yin pun langsung menyeret Uni untuk kembali pulang sambil mengatakan bahwa Lin Yin harus segera pulang dan urusan dengan ayah kandung Uni yang sedang bermesraan tersebut mohon di pending terlebih dahulu dan juga Lin Yin menandaskan hendaklah Uni berpikiran positif terlebih dahulu sebelum mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Uni pun dengan terpaksa mengurungkan niatnya untuk melabrak dan mencaci-maki kedua insan yang dianggapnya sedang bermesraan tersebut.

Sesampainya dirumah dengan pelan-pelan Lin Yin berkata pada Uni bahwa Lin Yin tidak bisa menemani Uni untuk mengungkapkan kebenaran atas prasangka buruk Uni kepada ayah kandungnya tersebut, karena melalui panggilan dari handphone tersebut Lin Yin mendapatkan informasi bahwa suaminya yang berada di negeri China sedang sakit keras dan oleh karena itulah Lin Yin harus pulang ke negeri asalnya, Ghuangzou.

Uni pun harus menghadapi permasalahan tersebut seorang diri. Permasalahan Uni pun tidak hanya itu, dikemudian hari, permasalahan Uni bertambah yakni Uni mendapati kenyataan bahwa adiknya Ulfah ternyata telah berbohong kepada teman-temannya. Ulfah mengatakan pada teman-temannya bahwa dia adalah anak dari orang kaya dimana orang tuanya sedang traveling ke luar negeri, dan seorang perempuan yang tidak lain adalah kakak kandungnya, Uni, adalah seorang anak pembantunya. Rumah kecil yang ditempati oleh Ulfah diakuinya hanyalah rumah pembantunya, karena orang tuanya sedang traveling ke luar negeri Ulfah dititipkan di rumah pembantunya. Sedangkan rumahnya yang asli adalah rumah yang berukuran besar dan elite.

Dua permasalahan tersebutlah (ayah dan adik kandungnya) yang membuat Uni rasanya tidak kuat menanggungnya sendiri secara psikologis. Dan untuk itulah kemudian dia curhat kepada sahabat-sahabatnya “yang tidak terlihat” tentang permasalahan yang dihadapinya *udah kayak hantu aja!* yang tergabung dalam Suara Hikmah FM. Tidak hanya permasalahan keluargannya saja yang dihamburkan oleh Uni dalam curhatannya tersebut melalui siara radio yang diselenggarakan oleh Suara Hikmah FM, namun juga permasalahan pribadinya, yakni masalah ketidak percayaan dirinya yang mengidap penyakit ayan dan kondisi cacat fisik yang dialaminya, Uni bermata juling semenjak dia dilahirkan.

Diantara para sahabat on air-nya di radio Suara Hikmah FM ada salah satu pria yang selalu memberikan masukan dan dukungan moral kepada Uni terhadap pelbagai permasalahan yang dihadapinya tersebut. Intensitas perhatian melalui siaran radio tersebut pada gilirannya menggumpal di dalam hati Uni dan melahirkan sebentuk cinta di dalam hati Uni. Suara dari pria itu seakan-akan membelai hati Uni dengan kelembuatan yang luar biasa menenangkan kesemerawutan Uni. Yah, Uni jatuh cinta kepada pria itu karena perhatian khususnya yang diberikan oleh pria itu kepada Uni. Pria itu bernama Herdiansyah, yang akrab dipanggil Dian.

Sebelum aku membawa pembaca untuk mengintip tentang hubungan asmara antara Uni dan Dian, terlebih dahulu mari kita soroti kelakuan ayah kandung dan adik kandung Uni, Ulfah, dalam novel yang ditulis oleh seorang [Jihader melalui tulisan] Yessi Moci ini:

Ayah kandung Uni setiap kali pulang ke rumah selalu uring-uringan. Pernah suatu hari Uni menanyakan seorang perempuan bahenol dan semok yang pernah diboncengi dan dipeluk oleh ayahnya tersebut, tapi bukannya dijawab oleh ayahnya, ayahnya malah marah-marah ga karuan kayak orang kesetanan. Hal ini semakin membuat Uni stress dan frustrasi. Uni pun merenung, kenapa ayahnya ditanya bukannya menjawab tapi malah marah-marah? *Uni berusaha untuk mengoreksi diri* Uni berpikiran apakah karena Uni bertanya kepada ayahnya itu sambil marah-marah dibarengi dengan kata-kata yang menyerang?

Berangkat dari perenungannya tersebut, Uni pun dikemudian hari menyapa ayahnya yang baru pulang dari bepergian dengan suara lembut, selembut sutra dan semerdu lantunan Nasyid, musik bernuansa religi kesukaan Uni dan Dian. Apa yang terjadi? Sang ayah pun membalas sapaan dari anak kandungnya tersebut dengan kelembutan pula. Nah, berangkat dari sinilah kemudian Uni menarik sebuah kesimpulan bahwa, “Jika dihati muncul rasa benci dan kesal terhadap seseorang hilangkanlah dengan menumbuhkan rasa cinta (Yessi Moci, 2011:30).” Dan berangkat dari sinilah merembet pula ungkapan: “Tanamkanlah cinta, hingga hati yang terdalam. Sebab cinta dapat mengobati hati gundah dan rasa yang gersang.”

Sementara itu, kelakuan Adiknya Ulfah yang berbohong tersebut semakin membuat kesal hati Uni, berbohong tentang orang tua-nya sedang traveling ke luar negeri lah, rumahnya besar-elite lah, dan lebih kurang ajarnya lagi menyebut-nyebut kakaknya sendiri, Uni, sebagai anak pembantunya. Huh! Kesal sekali rasanya Uni.

Rasa dongkol dan marah Uni pun semakin menjadi-jadi ketika dia pulang ke rumahnya dia mendapati ayahnya berani sekali membawa seorang perempuan seksi-bahenol-bodi uhuy ke rumah yang dibeli oleh Ibundanya yang tengah bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga tersebut. Dan ketika itu ayahnya pun berusaha menyapa Uni dengan baik-baik, namun Uni tidak memperdulikannya, tanpa berbicara sepatah katapun Uni langsung ngeloyor masuk ke kamarnya, membanting pintu kamar, menguncinya, menjatuhkan diri di atas ranjang, kemudian menangis sesenggukkan atau tersedu-sedu. Hancur berkeping-keping rasanya hati Uni pada saat itu, remuk dan ga karu-karuan rasanya.

Mendapati sikap jutek dan judes dari anaknya Uni tersebut, ayah Uni pun menyusul Uni ke kamar dan menjelaskan duduk permasalahannya. Dari penjelasan ayah kandungnya tersebutlah Uni kemudian pada akhirnya baru mengetahui bahwa perempuan yang pernah berboncengan, berpelukan dengan ayah kandungnya dan kini berada di dalam rumahnya adalah adik tiri dari ayahnya, yang baru saja sembuh dari perawatan penyakit ketidak normalannya (gila) di sebuah rumah sakit jiwa yang pernah didatangi oleh Uni dan Lin Yin. Tetapi yang menjadi pertanyaan Uni mengapa ayahnya tidak bercerita jauh-jauh hari? Jawabannya sederhana, ayahnya pun baru mengetahui belum lama ini bahwa dia memiliki seorang adik tiri yang sedang di rawat di rumah sakit jiwa setelah bapak dari ayah-nya Uni meninggalkan dengan tidak bertanggung jawab ibu tiri ayah-nya Uni. Ketika dia mengetahui adik tirinya sedang dirawat di rumah sakit jiwa, permasalahan keuangan untuk perawatan dan pengobatan adik tirinya tersebut pun menjadi permasalahannya pula. Bingung rasanya ayah-nya Uni untuk membayar biaya perawatan dan pengobatan adik tirinya tersebut, maka wajarlah ketika dia pulang kerumah selalu uring-uringan, dan ketika menerima pertanyaan yang memojokkan dari Uni, anaknya, justru dia malah marah-marah bukannya menjawab sesuai dengan pertanyaan yang disodorkan oleh Uni.

Setelah mendapatkan penjelasan detail dari Ayahnya hati Uni yang dicengkram amarah tersebut kemudian ber-revolusi (berubah secara drastis) menjadi merasa bangga dan terharu terhadap tindakan Ayahnya tersebut. *dalam hal ini benarlah apa yang dikatakan oleh Lin Yin selidiki dulu kebenarannya sebelum memvonis orang lain. Dalam hal ini kita musti berpikiran positif terlebih dahulu untuk memerangi dan bertarung dengan pikiran-pikiran negatif*

Pemikiran Lin Yin (seorang sahabat perempuan Uni yang beragama non-Islam) ini pun sesungguhnya bertemu dengan sebuah rumusan dari kitab suci Al-Qur’an yakni surat Al-Hujurat (49:12) yang berbunyi, “Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” (QS. Al Hujurat 49:12 dalam Yessi Moci, 2011:60).

Selanjutnya, berkenalan-lah Uni dengan adik tiri ayah kandungnya itu atau Tantenya yang bernama Syara. Tante Syara ternyata adalah sosok perempuan yang baik hati, berwawasan luas, dan bijaksana. Dia lah yang menasehati Uni agar lebih bijak dalam menghadapi permasalah adiknya Ulfah yang belakangan ini doyan berbohong. Kehadiran Tante Syara, ditengah-tengah mereka, ternyata sanggup menggantikan ibunda yang sedang bekerja di luar negeri sebagai TKI itu, walaup eksistensi ibunda tidak pernah tergantikan oleh sosok Tante Syara dihati Uni, Ulfah dan ayah kandungnya. Dan lebih jauh lagi, Tante Syara lah yang berhasil mengembalikan Ulfah untuk bersikap jujur dan menjauhi kebohongan.

Tante Syara pada suatu hari pernah berbincang dengan akrab dengan Ulfah, dan disela-sela berbincangan yang akrab tersebut secara lembut dan penuh kasih Tante Syara mengajukan pertanyaan kepada Ulfah mengenai kebohongannya kepada teman-teman sekolahnya tersebut. Ulfah pun berkata perbuatan bohongnya tersebut dilakukannya karena dia malu memiliki ibu kandung yang bekerja di luar negeri hanya sebagai pembantu yang tidak menutup kemungkinan akan selalu menghadapi ancaman dilecehkan dan tindak kekerasan dari majikannya. Mendengar apa yang dikatakan oleh Ulfah tersebut, Tante Syara pun dengan segenap kelembutannya menerangkan kepada Ulfah bahwa bekerja di luar negeri itu adalah salah satu tindakan yang sangat mulia, karena para TKI itu dijuluki sebagai para pahlawan devisa, dimana melalui remitansi mereka telah berhasil menstabilkan kondisi keuangan bangsa Indonesia yang sempat morat-marit karena dihantam krisis moneter pada 1998-an. Dan apabila ada ancaman terhada hak-hak asasinya mekanisme perlindungan yang dilakukan oleh negara pun sudah cukup untuk melindungi para TKI. Namun mengapa masih banyak berita tentang TKI yang mengalami penyiksaan di sana? Karena mereka, pertama, mungkin TKI ilegal dan yang kedua mungkin karena tidak mengetahui hak-hak mereka dan kemana mereka harus mengadu ketika hak-hak mereka dilanggar. “Seharusnya Ulfah bangga dong memiliki ibu seorang TKI yang dipundaknya menyandang gelar pahlawan devisa. Jadi Ulfah ga perlu berbohong,” nasehat Tante Syara.

Ulfah pun kembali mengatakan sejujurnya mengapa dia berbohong. Pada awalnya Ulfah hanya berbohong kalau orang tuanya ada diluar negeri untuk traveling. Kemudian ada teman-nya yang bertanya kepada Ulfah tentang rumahnya, untuk menutupi kebohongannya yang pertama, Ulfah pun berkata bahwa rumahnya itu besar dan elite, karena tidak mungkin orang tuannya yang senang traveling ke luar negeri itu rumahnya kecil dan ecek-ecek. Dan ketika teman-temannya, tanpa disadari oleh Ulfah membuntuti kepulangan Ulfah, memergoki rumah Ulfah kecil dan ecek-ecek dengan sigap Ulfah pun berbohong bahwa itu bukan rumahnya tetapi rumah pembantunya dan seorang perempuan berkacamata yang ada dirumah itulah anak pembantunya bukan kaka kandungnya. Begitulah terus, satu kebohongan akan membuka kemungkinan untuk mendatangkan kebohongan lainnya.

Karena nasihat-nasihat yang diberikan oleh Tante Syara tersebut, yang sudah sembuh dari ke-Syaraf-annya, Ulfah menyadari perbuatan buruknya dan kembali menjadi seorang yang jujur dan ikhlas menerima segala sesuatunya dengan apa adanya.

Ternyata hadirnya Tante Syara di tengah-tengah mereka telah memberikan solusi terhadap 2 permasalahan yang dihadapi oleh Uni. Dan inilah ending dari pertempuran Uni memerangi pikiran negatif yang selama ini menggerogoti dan menyita pikirannya.

Jadi novel ini, sesungguhnya mengajarkan kepada pembacanya, seharusnyalah kita berpikiran positif ketika kita menghadapi segala sesuatu dan tanamkanlah cinta ketika kita sedang membenci orang lain, niscaya, cinta itu akan menghujam dihati orang yang menanamkannya dan akan menyeret orang tersebut untuk bersikap dan bertindak lebih bijaksana. Namun demikian, pikiran positif itu atau prasangka baik kepada orang lain harus diletakkan pada frame analistis dan rasional. Pengoprasional pikiran positif ini jika dilakukan secara membabi buta, maka dampaknya akan menjerumuskan orang itu sendiri. Hal itu dicontohkan dalam novel ini sebagai berikut:

Dalam novel ini ada episode yang menyoroti fenomena pengobatan “akal-akalan” yang dilakukan oleh gerombolan orang yang mengaku-aku sebagai kyai. Kyai Syarif namanya. Kyai Syarif menjanjikan pada orang-orang yang berbondong-bondong mengunjunginya bahwa dia sanggup mengobati penyakit apapun hanya dengan menggunakan sebuah serpihan genting, sekali gosok minggat atau pergi penyakitnya. Berangkat dengan pikiran positifnya Uni pun sempat akan terperangkap dalam strategi “akal-akalan” dari Kyai Syarif ini, tapi untung saja sebelum Uni tertipu oleh Kyai tersebut Uni sudah terlebih dahulu membongkar kebusukan Kyai tersebut. Sehingga terhindarlah Uni dari perangkap tersebut. Hampir saja uang sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) diserahkannya kepada Kyai brengsek itu karena kepercayaan Uni bahwa Kyai Iblis tersebut mampu menyembuhkan penyakit ayan-nya.

Sekarang mari kita kembali pada cerita kemesraan antara Uni dan Dian yang bertemu melalui siaran radio yang diselenggarakan oleh radio Suara Hikmah FM. Telah disebutkan tadi bahwa perhatian Dian yang berlebih kepada Uni ternyata menumbuhkan rasa cinta di hati Uni kepada Dian. Namun rasa cinta yang tumbuh subur di ladang hati milik Uni tersebut sempat ditepis oleh Uni karena Uni merasa Dian tidak mungkin akan jatuh hati kepada Uni karena mata Uni yang juling dan Uni yang mengidap penyakit ayan atau epilepsi. Namun, pikiran negatif Uni ini pun tidak terbukti karena justru sebaliknya Dian pun sebenarnya jatuh cinta kepada Uni. Kesungguhan cinta Dian ini semakin kentara sekali setelah Dian bertemu dengan Uni dalam acara pertemuan antar pendengar radio Suara Hikmah di sebuah jembatan Balerang, jembatan yang dibangun di atas sungai di kepulauan Batam.

--Ada episode yang menarik, Uni setelah pertemuan dengan teman-teman on airnya dari radio Suara Hikmah FM tersebut langsung memakai jilbab. Uni langsung berhijab ketika melihat teman-temannya berhijab. Padahal Uni pada bagian awal novel ini paham betul bahwa berhijab (memakai jilbab) itu perintah dari agama (ilahi) (?)--

Yang semakin membuat Uni kesem-sem dan jatuh cinta kepada Dian adalah ketika Dian menasehati Uni bahwa Uni tidak perlu minder terhadap kecacatan fisik Uni dan penyakit yang bercokol pada diri Uni. Dian berkata demikian kepada Uni, “Fisik kita hanya pinjaman dari Allah, terserah pada Allah akan menjadikan apa terhadap fisik kita. Kita sebagai peminjam tidak boleh protes” (Yessi Moci, 2011:59).

Proses atau ritual tembak-menembak pun terjadi, yang pada gilirannya Dian dan Uni berpacaran. Walaupun jarak memisahkan mereka, tidak ada halangan bagi mereka untuk saling bermesraan, saling merayu dan (maaf) saling merangsang hingga sampai-sampai Uni pun mengaku pernah mengalami birahi terhadap rangsangan yang diberikan dari Dian kepadanya melalui serangan rayuan dan cumbuan strategis tepat mengenai titik sasaran. Mereka berpacaran melalui sms (short message service/pesan singkat) dan telepon-teleponan.

Ketenggelaman mereka dalam cinta kasih yang memabukan tersebut tanpa mereka sadari menyeret mereka jauh terhadap ajaran-ajaran agama [Islam]. Dan mereka baru sadar ketika Dian mengingatkan hal itu. Selama mereka tenggelam mereka sering meninggalkan shalat subuh karena mereka bangun kesiangan yang disebabkan karena mereka tidur sampai larut malam hanya sekedar saling sms, telepon, saling merangsang dan membangkitkan birahi seksual.

Kesadaran mereka terutama Uni yang telah meninggalkan ajaran agama karena kemabukan kepayang cinta kasih mereka itu hingga menyeret Uni pada kesadaran bahwa mereka sebenarnya sudah berbuat zina walaupun hanya melalui sms dan telepon-teleponan. Nah, untuk mencegah agar mereka tidak melakukan hal yang lebih buruk lagi, Uni pun dengan sangat berat hati dan cucuran air mata harus mengakhiri hubungan cinta kasih diantara mereka. Uni akhirnya memutus Dian tidak lagi sebagai pacarnya.

Ketika menerima surat dari Uni tentang keputusan Uni untuk mengakhiri hubungan pacaran mereka Dian pun mengerti dan paham betul alasan-alasan yang dilontarkan oleh Uni yang mendasari keputusannya tersebut. Dan dengan berat hati pun Dian merelakan Uni untuk tidak lagi menjadi pacarnya. Bagi Uni orang berpacaran itu haram hukumnya. Jika memang mereka berjodoh, tidak usahlah memakai proses pacaran namun si pria dipersilahkan untuk langsung melamar si gadis. Tapi yang menjadi pertanyaan, bukankah sebelum menikah orang harus mengenal satu sama lain? Dengan lugas Uni menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, “dalam ajaran Islam dikenal adanya ta’aruf. Ta’aruf adalah media Syar’i yang dapat digunakan sebagai media pengenalan antara calon pasangan. Si pria dapat mengenal secara fisik pasangannya dengan melihat wajah dan tangan si perempuan dan untuk kepribadian pun si pria bisa bertanya ke sana dan ke sini (Yessi Moci, 2011:143).”

Walaupun mereka sudah secara tegas-tegas putus hubungan pacaran, tidak bisa dipungkiri bahwa Uni pun selalu merasakan kerinduan yang luar biasa terhadap Dian mantan pacarnya dan kemesraan itu terus membayangi hari-harinya. Hal ini seakan-akan merupakan zona pertarungan atau arena tempur bagi Uni untuk melawan keinginan atau nafsu duniawinya yang menggebu-gebu dengan perisai nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Ujung, dari pertempuran ini adalah penegasan sikap dan komitmen Uni untuk mengabdi pada kepentingan cinta ilahi.

Uni pun dalam novel ini saking tidak bisa menghalau pelbagai kenangan yang dilaluinya bersama dengan Dian, sampai-sampi Uni pun pernah bermimpi dilamar oleh Dian berbarengan dengan dilamarnya Ulfah oleh tunangannya. Namun, karena ketidak setujuan kedua orang tua Dian tersebut akhirnya Uni tidak jadi menikah dengan Dian dan dia merelakan dirinya di “langkahi” oleh adiknya Ulfah. Dan Uni pun baru terjaga ketika dirinya tanpa sengaja tersandung dan wajahnya menumbur kue pernikahan. Dan disampingnya sudah ada Li Yin yang baru saja pulang dari negeri China.

O iya, walaupun orang tua Dian, dalam mimpi tersebut, menolak Uni sebagai menantunya tetapi Dian ngotot untuk menikahi Uni. Dan Dian pun berkata bahwa, “Yang penting kamu nanti taat kepadaku....surga istri ada disuami (Yessi Moci, 2011:135).” Namun Uni dalam mimpinya tersebut tetap bersikukuh tidak mau menikah dengan Dian kalau tidak disetujui oleh kedua orang tua Dian, Uni berkata dan membenarnya bahwa surga istri ada disuami, tetapi surga juga terletak di bawah telapak kaki ibu. Dan oleh sebab itulah lebih baik Dian mengikuti apa kata orangtuanya akar tidak masuk neraka!

Demikianlah paraprase atau laporan-ku setelah aku membaca dari halaman awal sampai akhir novel yang ditulis oleh seorang mojang Cianjur Yessi Moci ini.... _/_ Thank’s telah membaca hasil laporan-ku... sekaran aku akan mencoba mengomentari novel ini.

Aku menangkap adanya pesan moral yang ingin disampaikan oleh Novel ini. Adapun pesan moral yang ingin disampaikan dalam novel ini adalah:

1. Perbedaan (agama atau keyakinan, warna kulit, dan status sosial) bukan halangan untuk bersahabat: Hal ini digambarkan oleh persahabatan antara Uni dan Lin Yin yang saling berbeda keyakinan dan status sosial.

2. Ketegaran seorang perempuan: Hal ini digambarkan dari sosok seorang ibu kandung Uni yang bekerja membanting tulang demi kesejahteraan keluarganya (suami dan anak-anaknya) di Indonesia. Kisah ini menepis anggapan bahwa hanya pria lah yang perkasa dan harus menafkahi anak dan istrinya sedangkan perempuan diposisikan pada posisi second atau nomor dua atau apabila dia pun harus bekerja dia hanya berposisi sebagai pelengkap semata. Issue gender rupa-rupanya diusung dalam novel ini.

3. Tidak berburuk sangka terhadap sesama dengan cermat dan rasional: Dalam alur cerita dalam novel ini, sebenarnya penulisnya (Yessi Moci) ingin menggambarkan bahwa Uni adalah sosok perempuan yang sedang berproses untuk mengadopsi pikiran positif dalam kepribadiannya, namun pikiran positif yang diadopsinya itu bukan tanpa syarat langsung direkamnya dan kemudian diejawantahkannya dalam bentuk tindakan nyata. Pikiran positif tersebut harus bekerja dengan meletakan dasar-dasar anilitis yang rasional untuk memprotek pikiran positif tersebut tidak kebablasan atau over.

4. Kebohongan yang dicungkil ke permukaan akan membuka peluang menyeruaknya kebohongan lainnya:Hal ini digambarkan oleh tindakan bohong yang dilakukan oleh Ulfah, yang berbohong kepada teman-temannya. Pada awalnya Ulfah hanya ingin menutupi bahwa orang tua kandungnya ada diluar negeri berstatus sebagai TKI, namun kebohongan itu menuntut di cungkilnya kebohongan lain ke permukaan, seperti harus berbohong rumahnya besar dan elite lah, dia tinggal dengan pembantu lah, dan dengan teganya mengatakan bahwa kakak kandungnya adalah anak pembantu.

5. Ketangguhan spirit ajaran agama menerabas kegelisahan anak manusia (karena kecacatan fisik yang dialami dan penyakit yang dideritanya): Hal ini digambarkan oleh nukilan-nukilan ayat Alqur’an yang memberikan dasar spirit dalam novel ini.

6. Hakikat cinta keilahian (tumburan antara cinta romantis dengan cinta ilahi): Cinta keilahian rupa-rupanya dalam novel ini digambarkan sebagai cinta yang lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya ketimbang nilai-nilai cinta yang secara intrinksik melekat pada karakter cinta romantis.

Dalam penilaian-ku, Novel ini tergolong sebagai novel yang berbobot, berenergi dan memiliki kualitas yang sangat tinggi. Karena novel ini tidak saja memberikan hiburan kepada pembacanya, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai kemanusiaan dan pesan moral yang dapat secara praktis dipraktekan oleh pembacanya. Aku tegaskan, bahwa novel yang ecek-ecek atau novel sampah hanya berisi hiburan semata, namun novel yang harus diacungi jempol adalah novel seperti ini: Sarat dan berlumuran pesan-pesan moral dan nilai kemanusiaan.

Untuk kritiknya: Di dalam novel ini aku melihat adanya kontradiksi yang bersifat paradigmatik di dalam kepala Uni. Di bagian awal dikisahkan secara implisit Uni adalah sosok perempuan yang “ngeh” terhadap ilmu kesehatan modern. Nah, seharusnya ke”ngeh”-annya ini dapat dijadikan bekal baginya untuk menyikapi pengobatan-pengobatan yang diluar nalar pengobatan modern tetapi pada akhrinya pun Uni (walaupun sudah ditimbang-timbang) terdikte oleh hal-hal yang bersifat mistik. Hal ini ditunjukkan dengan sebuah episode dimana Uni hampir saja terperangkap oleh pengobatan ala megic-religi dari Kyai Syarif. Penulisnya (Yessi Moci) mungkin mau menunjukkan kalau kita berpikiran positif pikiran tersebut dalam tataran implementasinya harus mendasarkan dirinya secara analitis dan rasional terlebih dahulu baru setelah itu bertindak. Namun, seharusnya penulisnya menyampaikannya dengan mengkaitkannya dengan konteks pengetahuan yang telah dimiliki oleh sang Uni.

Kritik kedua: Novel ini secara substantif sebenarnya mengandung pesan-pesan religi. Harus diakui bahwa pesan-pesan religi yang disampaikan dalam novel ini tidak bersifat menggurui dan apik dalam pengemasannya. Nah, karena novel ini pesan religinya berorientasi pada satu ajaran agama an sich, seharusnya judul dan sinopsi di balik punggung buku ini menginfomasikan hal tersebut. Jika hal itu tidak dilakukan, seakan-akan buku ini memaksa untuk dapat dibaca oleh semua orang yang beragama lain selain agama Islam. Jadi orang yang akan membacanya atau membelinya menganggap novel ini adalah novel umum, tapi ketika dia menyimaknya lembar demi lembar, tidak lain novel ini adalah novel agama [Islam]. Cover buku dan sinopsis dalam buku ini menurut pandanganku tidak jujur.

Kritik ketiga: Dalam novel ini ada episode yang menceritakan tentang peristiwa yang tiba-tiba Uni memakai jilbab (berhijab) setelah bertemu dengan teman-temannya di jembatan Balerang-Batam. Padahal di bagian awal dalam novel ini sudah dikisahkan bahwa Uni tahu betul jika perintah memakai jilban itu adalah perintah agama (ilahi). Ayat Al-Quran yang dikutip dalam novel ini adalah surat An-Nuur ayat 31 yang berbunyi: “katakanlah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung di dadanya. –Rasulullah berisyarat ke wajah dan telapak tangannya—(Yessi Moci, 2011:2). Walaupun hal itu merupakan perintah dari ilahi Uni tidak memperdulikannya, dengan dalih bahwa dia belum mendapatkan hidayah (petunjuk), Uni lebih perduli terhadap pengaruh dari teman-temannya di jembatan Balerang tersebut. Padahal novel itu secara substansi dengan judul besarnya “Cinta Pada Pendengaran Pertama” menggambarkan cinta ilahi lebih utama ketimbang cinta yang lainnya tapi koq ada episode yang tiba-tiba Uni berhijab karena ada pengaruh dari teman-temannya. Ini merupakan episode yang kontradiktif dengan “tujuan besar” penulisan novel ini: Menyeruakkan saran bahwa cinta ilahi adalah yang pertama dan utama (hal ini diperlihatkan ketika Uni bersikap untuk memutuskan cinta romantisnya kepada Dian dengan alasan lebih mengutamakan cinta ilahi). Namun dibagian awal dan tengahnya menunjukkan bahwa uni menomorduakan cinta ilahi. Bukankah ini merupakan suatu ironi?

Kritik keempat: Ending dari cerita ini kayaknya kurang “menggigit: dech, terasa datar. Padahal Yessi Moci sebelum mengakhiri cerita dalam novel ini telah berhasil mempermainkan emosi pembacanya, dan pula telah memperdaya pembacanya ketika tiba pada episode rencana pernikahan antara Uni dan Dian yang ternyata hanya sebuah mimpi belaka.

Kritik kelima: Ini ditunjukkan kepada pe-layout dan proses pencetakkannya. Aku jumpai disini ada halaman yang salah meletakkan sehingga pembaca yang tidak memperhatikan halaman ketika menikmati lembar-demi-lembar novel ini akan terganggu kenikmatan pembacanya ketika mendapati adanya halaman yang salah meletakkan. Halaman yang salah diletakkan adalah halaman 69, 70, 67, dan 68. Dan untuk editornya: Ada baris kalimat yang seharusnya belum saatnya untuk di enter sudah di enter sehingga mengganggu kenyamanan dalam membaca dan menikmati novel ini.

UNTUK MEMESAN NOVEL INI SILAHKAN KE http://cintapadapendengaranpertama.blogspot.com/2011/05/loading.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun