Mohon tunggu...
Yesi Moci
Yesi Moci Mohon Tunggu... -

penulis novel cinta pada pendengaran pertama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Paraphase Novel Cinta pada Pendengaran Pertama

18 Juni 2011   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2. Ketegaran seorang perempuan: Hal ini digambarkan dari sosok seorang ibu kandung Uni yang bekerja membanting tulang demi kesejahteraan keluarganya (suami dan anak-anaknya) di Indonesia. Kisah ini menepis anggapan bahwa hanya pria lah yang perkasa dan harus menafkahi anak dan istrinya sedangkan perempuan diposisikan pada posisi second atau nomor dua atau apabila dia pun harus bekerja dia hanya berposisi sebagai pelengkap semata. Issue gender rupa-rupanya diusung dalam novel ini.

3. Tidak berburuk sangka terhadap sesama dengan cermat dan rasional: Dalam alur cerita dalam novel ini, sebenarnya penulisnya (Yessi Moci) ingin menggambarkan bahwa Uni adalah sosok perempuan yang sedang berproses untuk mengadopsi pikiran positif dalam kepribadiannya, namun pikiran positif yang diadopsinya itu bukan tanpa syarat langsung direkamnya dan kemudian diejawantahkannya dalam bentuk tindakan nyata. Pikiran positif tersebut harus bekerja dengan meletakan dasar-dasar anilitis yang rasional untuk memprotek pikiran positif tersebut tidak kebablasan atau over.

4. Kebohongan yang dicungkil ke permukaan akan membuka peluang menyeruaknya kebohongan lainnya:Hal ini digambarkan oleh tindakan bohong yang dilakukan oleh Ulfah, yang berbohong kepada teman-temannya. Pada awalnya Ulfah hanya ingin menutupi bahwa orang tua kandungnya ada diluar negeri berstatus sebagai TKI, namun kebohongan itu menuntut di cungkilnya kebohongan lain ke permukaan, seperti harus berbohong rumahnya besar dan elite lah, dia tinggal dengan pembantu lah, dan dengan teganya mengatakan bahwa kakak kandungnya adalah anak pembantu.

5. Ketangguhan spirit ajaran agama menerabas kegelisahan anak manusia (karena kecacatan fisik yang dialami dan penyakit yang dideritanya): Hal ini digambarkan oleh nukilan-nukilan ayat Alqur’an yang memberikan dasar spirit dalam novel ini.

6. Hakikat cinta keilahian (tumburan antara cinta romantis dengan cinta ilahi): Cinta keilahian rupa-rupanya dalam novel ini digambarkan sebagai cinta yang lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya ketimbang nilai-nilai cinta yang secara intrinksik melekat pada karakter cinta romantis.

Dalam penilaian-ku, Novel ini tergolong sebagai novel yang berbobot, berenergi dan memiliki kualitas yang sangat tinggi. Karena novel ini tidak saja memberikan hiburan kepada pembacanya, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai kemanusiaan dan pesan moral yang dapat secara praktis dipraktekan oleh pembacanya. Aku tegaskan, bahwa novel yang ecek-ecek atau novel sampah hanya berisi hiburan semata, namun novel yang harus diacungi jempol adalah novel seperti ini: Sarat dan berlumuran pesan-pesan moral dan nilai kemanusiaan.

Untuk kritiknya: Di dalam novel ini aku melihat adanya kontradiksi yang bersifat paradigmatik di dalam kepala Uni. Di bagian awal dikisahkan secara implisit Uni adalah sosok perempuan yang “ngeh” terhadap ilmu kesehatan modern. Nah, seharusnya ke”ngeh”-annya ini dapat dijadikan bekal baginya untuk menyikapi pengobatan-pengobatan yang diluar nalar pengobatan modern tetapi pada akhrinya pun Uni (walaupun sudah ditimbang-timbang) terdikte oleh hal-hal yang bersifat mistik. Hal ini ditunjukkan dengan sebuah episode dimana Uni hampir saja terperangkap oleh pengobatan ala megic-religi dari Kyai Syarif. Penulisnya (Yessi Moci) mungkin mau menunjukkan kalau kita berpikiran positif pikiran tersebut dalam tataran implementasinya harus mendasarkan dirinya secara analitis dan rasional terlebih dahulu baru setelah itu bertindak. Namun, seharusnya penulisnya menyampaikannya dengan mengkaitkannya dengan konteks pengetahuan yang telah dimiliki oleh sang Uni.

Kritik kedua: Novel ini secara substantif sebenarnya mengandung pesan-pesan religi. Harus diakui bahwa pesan-pesan religi yang disampaikan dalam novel ini tidak bersifat menggurui dan apik dalam pengemasannya. Nah, karena novel ini pesan religinya berorientasi pada satu ajaran agama an sich, seharusnya judul dan sinopsi di balik punggung buku ini menginfomasikan hal tersebut. Jika hal itu tidak dilakukan, seakan-akan buku ini memaksa untuk dapat dibaca oleh semua orang yang beragama lain selain agama Islam. Jadi orang yang akan membacanya atau membelinya menganggap novel ini adalah novel umum, tapi ketika dia menyimaknya lembar demi lembar, tidak lain novel ini adalah novel agama [Islam]. Cover buku dan sinopsis dalam buku ini menurut pandanganku tidak jujur.

Kritik ketiga: Dalam novel ini ada episode yang menceritakan tentang peristiwa yang tiba-tiba Uni memakai jilbab (berhijab) setelah bertemu dengan teman-temannya di jembatan Balerang-Batam. Padahal di bagian awal dalam novel ini sudah dikisahkan bahwa Uni tahu betul jika perintah memakai jilban itu adalah perintah agama (ilahi). Ayat Al-Quran yang dikutip dalam novel ini adalah surat An-Nuur ayat 31 yang berbunyi: “katakanlah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung di dadanya. –Rasulullah berisyarat ke wajah dan telapak tangannya—(Yessi Moci, 2011:2). Walaupun hal itu merupakan perintah dari ilahi Uni tidak memperdulikannya, dengan dalih bahwa dia belum mendapatkan hidayah (petunjuk), Uni lebih perduli terhadap pengaruh dari teman-temannya di jembatan Balerang tersebut. Padahal novel itu secara substansi dengan judul besarnya “Cinta Pada Pendengaran Pertama” menggambarkan cinta ilahi lebih utama ketimbang cinta yang lainnya tapi koq ada episode yang tiba-tiba Uni berhijab karena ada pengaruh dari teman-temannya. Ini merupakan episode yang kontradiktif dengan “tujuan besar” penulisan novel ini: Menyeruakkan saran bahwa cinta ilahi adalah yang pertama dan utama (hal ini diperlihatkan ketika Uni bersikap untuk memutuskan cinta romantisnya kepada Dian dengan alasan lebih mengutamakan cinta ilahi). Namun dibagian awal dan tengahnya menunjukkan bahwa uni menomorduakan cinta ilahi. Bukankah ini merupakan suatu ironi?

Kritik keempat: Ending dari cerita ini kayaknya kurang “menggigit: dech, terasa datar. Padahal Yessi Moci sebelum mengakhiri cerita dalam novel ini telah berhasil mempermainkan emosi pembacanya, dan pula telah memperdaya pembacanya ketika tiba pada episode rencana pernikahan antara Uni dan Dian yang ternyata hanya sebuah mimpi belaka.

Kritik kelima: Ini ditunjukkan kepada pe-layout dan proses pencetakkannya. Aku jumpai disini ada halaman yang salah meletakkan sehingga pembaca yang tidak memperhatikan halaman ketika menikmati lembar-demi-lembar novel ini akan terganggu kenikmatan pembacanya ketika mendapati adanya halaman yang salah meletakkan. Halaman yang salah diletakkan adalah halaman 69, 70, 67, dan 68. Dan untuk editornya: Ada baris kalimat yang seharusnya belum saatnya untuk di enter sudah di enter sehingga mengganggu kenyamanan dalam membaca dan menikmati novel ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun