Grice memberikan kontribusi yang luar biasa dalam memahami makna. Dia ikut menambahkan bahwa tidak mudah untuk menganalisis sebuah makna linguistik karena hubungannya dengan banyak asosiasi atau interpretasi yang lain. Terkait dengan mental states, Kripke dan Donellan (Kripke, 1980: 151; Donellan, 1972: 1---24) menyatakan bahwa reference dari sebuah entitas akan mengalami ketergantungan pada pembicara dan lingkungan sosial dan fisiknya (speaker and his social and physical environment) dan akan lebih mudah dipahami dibandingkan jika seseorang harus melakukan investigasi terhadap kondisi mental orang lain (mental states atau mental repertoire).
Dalam hubungannya dengan reference dan mental states, Kripke menambahkan sebuah teori yang dinamakan theory of necessity. Dalam teori tersebut reference (yang sering dihubungkan dengan proper names) dinamakan dengan rigid designators. Teori Kripke mengenai Naming and Necessity merupakan salah satu teori utama pada periode ini. Hal itulah yang kemudian melahirkan teori-teori di dalam semantik.
Pada tahun 1970-an filsafat bahasa mulai kehilangan posisinya dalam diskusi-diskusi filsafat. Burge (2000: 370) bahkan menyebutkan filsafat bahasa yang "murni" telah hilang ("pure" philosophy of language has diminished). Beberapa alasan muncul atas kondisi itu. Alasan-alasan tersebut kemudian dikenal luas dengan alasan internal dan eksternal. Kebingungan atas teori Frege mengenai hesperus dan phosporus yang sebenarnya mengarah kepada filsafat pikiran atau philosophy of mind merupakan salah satu contoh kuat dari alasan internal (Burge, 2000: 200). Kemudian, sebagai contoh dari alasan eksternal adalah kemunculan paradigma komputerisasi dalam psikologi dan temuan-temuan substansial dalam ranah psikologi yang memunyai pengaruh signifikan terhadap permasalahan filsafat.
Tahun 1990-an merupakan waktu perkembangan linguistik dimulai kembali dan permasalahan permasalahan seputar linguistik seakan akan menjadi dinamis dan berkembang dengan sangat pesat. "Hubungan manis" antara filsafat bahasa dan linguistik mulai terjalin lagi ketika diskusi di ranah ini berpusat pada aspek-aspek kontekstual bahasa dan praktik kebahasaan. Konteks merupakan sebuah simpul dari tiga diskusi utama yang muncul pada tahun ini. Tiga diskusi utama tersebut adalah teori referen dengan ekspresi tunggal, teori anafora, dan teori dari elemen tak bersuara di dalam pemahaman linguistik (the theory of reference with singular expression, theory of anaphora, theories of 'unspoken' elements in linguistic understanding).
Menurut Burge (2000: 102---105) ketiga diskusi tersebut adalah diskusi yang saling terkait dengan erat. Teori anafora dan kontekstual secara lebih dalam dikaji oleh Irena Heim dan Hans Kamp dalam discourse analysis-nya. Teori anafora dan kontekstual bahkan memberikan diskusi yang lebih dalam mengenai pronominal cross reference, presupposition, dan quantification. Diskusi mengenai masalah tersebut yang menandai perubahan teori-teori formal logic, yang banyak dikemukakan pada periode (tahun) sebelumnya, ke studi mengenai bahasa alami (study of natural language).
Pada diskusi mengenai theories of unspoken element di dalam linguistik, para filsuf selalu berusaha untuk memisahkan antara semantik dan pragmatik. Hal itu merupakan hasil dari proses pemikiran unspoken element di dalam linguistik yang muncul sebagai fitur-fitur extra-linguistic atau para linguistic yang sangat bergantung pada konteks. Penggunaan konteks dalam kajian bahasa mendapat dukungan dari Gumperz dan Levinson pada tulisannya yang berjudul Rethinking Linguistic Relativity. Tulisan itu mencatat pentingnya theories of use in context yang memuat teori semantik formal dan situasi semantik, discourse representation theory dan teori pragmatis yang memuat relevance theory dan Gricean theories.
Dalam diskusi lain pada periode 1990-an, vagueness atau kesamaran muncul sebagai salah satu diskusi filsafat bahasa yang cukup penting bagi perkembangan linguistik. Diskusi ini dimulai dari pembahasan Timothy Williamson tentang kesamaran ekspresi dalam kalimat (melalui bukunya yang berjudul Vagueness). Williamson berpendapat bahwa dalam kalimat yang samar, jika dilihat dari konteks benar atau salah, proposisinya tidak dapat ditebak. Beberapa pemikir berpendapat bahwa apa yang dikatakan Williamson itu tidak ideal, dan perdebatan inilah yang menstimulus diskusi-diskusi linguistik yang lebih dalam. Pada periode 1990-an, theory of meaning mulai berkembang dengan sangat pesat, akan tetapi para linguis masih bersandar pada landasan teori yang dibuat pada tahun 1960 dan 1970- an. Secara lebih tegas, Burge (2000: 321---361) berpendapat bahwa Gottlob Frege merupakan peletak fondasi dasar filsafat yang merefleksikan fenomena
kebahasaan, dan sebagai inisiator dalam diskusi thought and knowledge. Lebih jauh, diskusi mengenai filsafat bahasa akan berhubungan dengan language and thought dan language and context (linguistik dan persepsi referen yang nyata). Diskusi ini terlihat eksplisit di dalam kajian pragmatik dan berguna dalam memahami linguistic meaning and interpretation. Tautan antara interprestasi pesan dan makna linguistik sendiri telah secara implisit dibahas dalam studi yang dilakukan oleh penulis sebelumnya (Nugroho, 2010: 8399, Nugroho, 2016: 121; Nugroho 2018: 2; dan Nugroho dkk, 2017: 800808). Dalam studi-studi tersebut, makna linguistik dapat diinterpretasikan secara berbeda tergantung alat analisis atau teori yang digunakan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah objek atas refleksi keunikan pengalaman-pengalaman kehidupan manusia. Oleh karena itu, perlu sebuah "simpul tali" yang berusaha untuk "mengilmiahkan" keunikan pengalaman-pengalaman manusia ini dengan cara menggunakan filsafat ilmu sebagai motor dan linguistik sebagai roda penggerak kajian bahasa.
SIMPULAN
Berpikir adalah suatu kegiatan (penalaran) untuk memperoleh pengetahuan yang benar Berpikir ilmiah merupakan suatu kegiatan (penalaran) yang memadukan antara induksi dan deduksi. Induksi adalah cara berpikir yang menarik kesimpulan  umum  dari pernyataan atau kasus tertentu; sedangkan deduksi adalah cara berpikir yang menarik kesimpulan  khusus  dari pernyataan  umum.
Penarikan kesimpulan secara deduktif seringkali menggunakan model yang disebut silogisme atau silogisme. Silogisme terdiri dari dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan. Suatu kesimpulan atau suatu pengetahuan akan benar jika (1) premis mayornya benar, (2) premis minornya benar, dan (3) cara menarik kesimpulannya  benar.