Mohon tunggu...
Yesi Tri Andriani Sudibyo
Yesi Tri Andriani Sudibyo Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Novelis, Editor, Ex-jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pendosa

21 Desember 2022   23:11 Diperbarui: 21 Desember 2022   23:29 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melipat tangan di dada yang nyaris terbuka sebab sebagian penutupnya telah koyak, akibat perbuatan laknat si bandot tua. Kutatap langit dengan arogan serta amarah menyala di mata yang memerah lebam.

"Aku membenci-Mu, membenci semua tentang-Mu. Kau tau? Aku tidak peduli lagi dengan apa pun tentang-Mu! Aku muak dengan semua omong kosong ini!"

Sekeras apa pun aku menyuarakan isi hati, angin tetap tidak peduli. Ia datang dengan tenang, membelai, mempermainkan rambut yang entah sudah berapa lama tidak disisir.

Aku mendesah, terengah lelah. Putus asa, kulirik karung goni lusuh yang teronggok di bawah, di atas tanah hutan berlumut basah.

"Benar katamu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Namun, sampai akhir seperti ini, kita masih bersama, kurasa itu sudah lebih dari cukup." Aku berbisik. "Dia yang di atas sana, ternyata bukan hanya mempermainkanku." Seulas senyum getir kuukir di bibir yang di sudutnya menempel cairan merah membeku.

Kakiku bergerak maju, menyentuh karung goni dengan ujung-ujungnya, kemudian mengguncang bungkusan yang mulai berbau bangkai itu.

"Masih membawamu dan berpikir tentang pemakaman yang tepat untukmu, ah ... anggap saja ini sebagai bentuk rasa hormatku atas keputusan Ibu menikahimu."

"Aku membencimu? Tentu tidak. Kamu hanya satu dari sekian banyak alat Tuhan yang Dia gunakan untuk mempermainkanku, menertawai nasib sialku."

"Aku dan kamu sama saja. Sama-sama orang kalah, yang hanya bisa pasrah dengan keadaan setelah berusaha sekian kali, tetapi semua Dia patahkan begitu mudah."

Aku mendongak, langit tidak lagi sama. Senja menghilang, berganti kelam. Dingin mulai menyergap. Ini harus segera kuakhiri. Namun, sebelum itu, aku ingin melihatnya, anggap saja sebagai salam perpisahan. Perpisahan dari kisah yang mengerikan.

"Maaf, kurasa ikatan antara kita cukup sampai di sini," bisikku seraya mengayun satu tendangan keras ke arah karung goni. "Selamat tinggal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun