"Ya, listriknya memanfaatkan dari sisa-sisa listrik meteran bekas itu, lumayan bisa dipakai untuk lampu. Sudah izin dengan pemerintah daerah," jawabnya.
Mak tratap.Â
Saya semakin merasa miris. Bahkan untuk listrik saja situs ini meresikokan untuk menumpang dari sisa guna yang lalu; perizinannya tak tahu ditanggungkan ke mana. Pak Trimurti sendiri yang mengajukan izin penggunaan listrik kepada perda; setidaknya agar tetap terpelihara dan pihak pemerintah tahu perihal penggunaannya.Â
Ironis. Dibangun dalam rangka membingkai peristiwa sejarah, malah 'diruntuhkan'Â dengan pasrah. Niat hati menjadikannya pengingat, malah terlupa semenjak gempa 2006.
Bila tidak dengan uluran tangan ikhlas bapak Trimurti dan beberapa warga desa Segoroyoso yang ikut memelihara, situs ini mungkin akan jauh lebih menyedihkan keadaannya.Â
Warga sekitar juga mengutarakan keprihatinan terhadap tak banyaknya antusiasme warga untuk mendukung pengelolaan dan maintenance situs tersebut. Padahal, situs monumen Segoroyoso memiliki potensi yang baik bagi desa Segoroyoso.Â
Besar harapan mereka agar situs ini segera diberikan perhatian lebih oleh pemerintah daerah.
Sayang sekali, padahal website daerah juga sudah mempublikasikan artikel tentang monumen ini, namun, kekhawatiran dan harapan warga sekitar tak kunjung terjawab. Ajuan warga untuk mengelola secara swadaya saja juga tak diterima.
Berdasarkan demografi Pleret milik perda Bantul (2019), warga Segoroyoso sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai buruh harian lepas, pelajar atau mahasiswa, wiraswasta atau buruh tani. Namun, pada peringkat tiga pada demografi pekerjaan setelah pelajar adalah tidak bekerja.Â
Tentu segala bentuk revitalisasi ataupun konservasi; sedikit lirikan kepada situs ini dapat mendukung dan berdampak lebih baik bagi masyarakat lokal dalam segala aspek selain dengan menjaga dan memelihara peninggalan sejarah bangsa kita.