Perbuatan korupsi tidak saja ditentukan oleh perilaku dan sebab-sebab yang sifatnya individu atau perilaku pribadi yang koruptif, tetapi disebabkan pula oleh sistem yang koruptif, yang kondusif bagi setiap individu untuk melakukan tindakan korupsi.
Lumbun mengatakan, perilaku korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan. Tetapi korupsi juga banyak dilakukan oleh pengusaha dan kaum profesional bahkan termasuk Advokat (suap). Beberapa kasus korkupsi ”mega skandal” yang merugikan keuangan negara sampai triliunan rupiah melibatkan pengusaha dan profesional yang saat ini menjadi buronan.
Lemahnya tata-kelola birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi baik ilegal maupun yang ”dilegalkan” dengan aturan-aturan yang dibuat oleh penyelenggara negara, merupakan tantangan besar yang masih harus dihadapi negara ini. Kualitas tata kelola yang buruk ini tidak saja telah menurunkan kualitas kehidkupan bangsa dan bernegara, tetapi juga telah banyak memakan korban jiwa. Efek dari buruknya tata kelola di negara ini mulai terlihat seperti kemiskinan yang relatif masih tinggi, pengangguran, gizi buruk, rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya penerapan standar keselamatan modal transportasi serta ketimpangan antara kalangan masyarakat.
Dalam konteks Papua, aktivis HAM dan Anti Korupsi di Papua, serta Koordinator Gerakan Moral Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi, Dorus Wakum mengatakan, kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua baik Pelanggaran Berat HAM (Pembunuhan dan Penghilangan paksa Alm. Theys H. Eluay dan Aris Toteles Masoka, Kasus Boswesen Berdarah, Biak Berdarah, Timika Berdarah, Wamena Berdarah, Wasior Berdarah, Abepura Beradarah, Puncak Jaya Berdarah, Nabire Berdarah dan lain-lain) dan kebijakan Otonomi Khusus yang salah dan melahirkan Orang Kaya Baru (OKB) dengan isu Papuanisasi yang merusak tatanan kehidupan adat paling bawah, dan pemekaran yang menyuburkan korupsi yang merajalela di mana-mana dalam jajaran pemerintahan daerah baik Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.
Menurut Dorus Wakum, hal ini terjadi dikarenakan karena adanya proses pembiaran yang merupakan suatu strategi politik besar Pemerintah Pusat dan Daerah untuk memporak-porandakan kehidupan sosial, tatanan adat Masyarakat Papua. Sesungguhnya diketahui bahwa itu salah dan ini tidak benar tetapi sengaja dibiarkan dan seakan-akan Orang Papua bodoh dan tidak mengerti. Almarhum Cak Munir, SH., dalam suatu pertemuan di aula YPMD Kotaraja –Jayapura 2003 pernah mengatakan bahwa “ Otsus “adalah “ Souvenir politik Megawati bagi orang Papua”, ibarat gula-gula yang diberikan kepada orang Papua, lalu orang Papua saling berebutan dan berantam kemudian orang di Jakarta duduk melihat lalu menertawakan apa yang terjadi”.
Peran Kampus
Kampus (PT) memunyai peran yang tidak kalah penting dengan bidang-bidang lainnya yang ada di KPK dalam bidang pencegahan korupsi. Salah satu tugas, wewenang, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korkupsi (KPK), sebagaimana disebut dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 adalah melakuakn tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Dari sekian tugas, wewnang dan kewajiban yang diemban berbagai bidang di KPK, bidang pencegahan termasuk jarang disorot. Mungkin, bidang ini kalah ”seksi” dibanding bidang lainnya seperti bidang penindakan, bidang informasi dan data serta bidang pengawasan internal dan pengajuan masyarakat (Lumbun, 2009).
Tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh Bidang Pencegahan KPK meliputi pendaftaran dan pemeriksaan terhadap Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dan menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi. Selain itu, Bidang Pencegahan juga menyelenggarakan program pendidikan dan kemapanye anti korupsi, sosialisasi pemberantasan korupsi, serta kerjasama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan korupsi. Program pendidikan antikorukpsi yang dilakuakan oleh Bidang Pencegahan KPK ini perlu disambut baik oleh dunia pendidikan khususnya PT.
Pendidikan merupakan hal penting untuk menanamkan prinsip jujur dan objektif. Pemberantasan korukpsi diawali dengan pencegahan harus dimulai sejak dini. Salah satu yang bisa dilakukan adalah menanamkan prisip berbuat jujur di dalam diri seseorang sebelum terjun ke masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh lembaga penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan untuk menumbuhkan budaya kejujuran, misalnya saja dengan mendirikan kantin-kantin kejujuran atau kafe-kafe kejujuran. Kejaksaan sendiri telah membuka 3000 kantin kejujuran di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi walaupun masih ada kantin-kantin yang bangkrut karena ketidakjujuran, tetapi setidaknya dapat menjadi entry point yang bagus dalam rangka menumbuhkan budaya jujur.
Menumbuhkan kesadaran hukum adalah merupakan hal yang tidak mudah, tahu, dan mengerti hukum bukan berarti sadar akan hukum. Buktinya, banyak intelektual hukum dan praktisi-praktisi hukum yang tahu dan mengerti hukum tetapi tidak sadar akan hukum, sehingga banyak kita jumpai adanya akademisi-akademisi/intelektual hukum dan praktisi-praktisi hukum yang dipenjara karena melanggar hukum. Oleh karena itulah, membangun kesadaran hukum dapat kita mulai dari dunia pendidikan (PT).
Karena itu, kini saatnya dunia pendidikan untuk mendorong pemberantasan korupsi secara lebih serius lagi. Institusi pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Murid atau mahasiswa yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa mendatang sejak dini harus diajar dan dididik untuk membenci serta menjauhi praktek korupsi. Bahkan lebih dari itu, diharapkan dapat turut aktif memeranginya. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual, dan moral, Karena, orientasi pendidikan nasional kita mengarahkan manusia Indonesia untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia.
Pendidikan bisa dijadikan sebagai sarana upaya preventif dan antisipatif dalam pemberantasan korupsi. Karena, manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Sehingga, mereka pun berupaya menghindarkan diri dari perilaku korupsi.