Korupsi adalah kejahatan. Korupsi itu kejahatan tertua di dunia yang sulit untuk diberantas. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang terbebas dari perbuatan korupsi. Dalam Kongres PBB tahun 1980 mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of The Offenders masyarakat internasional mengakui bahwa kejahatan korupsi merupakan tipe kejahatan yang sulit di jangkau hukum (offences beyond the reach of the law). Kesulitannya relatif antara lain karena kedudukan ekonomi dan politik yang kuat dari pelaku korupsi itu serta sistem penegakan hukum di suatu negara yang masih lemah (Lumbun, 2009). Perilaku korupsi tidak selalu hanya disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok saja (corruption by need), tetapi banyak pula korupsi yang dilakukan oleh dorongan keserakahan (corruption by greed). Fenomena korupsi pada saat ini mengakar di berbagai kehidupan masyarakat. Korupsi digambarkan sebagai perbuatan yang tidak bermoral dan berkaitan dengan keserakahan dan ketamakan yang melibatkan birokrasi dengan anggota masyarakat dan pengusaha, hingga penyelenggara Negara(Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), bahkan menyeret tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan akademisi dan pemuka agama.
Ada dua tipe tindak korukpsi yang biasanya terjadi di birokrasi pemerintahan yakni korupsi yang kasat mata dan korkupsi yang tersembunyi. Korupsi tipe pertama yakni korupsi yang skalanya kecil misalnya pungutan liar yang dilakukan aparat pemerintah ataupun pungli yang terjadi di lingkungan pendidikan dengan alasan untuk mencari tambahan pendapatan. Korupsi jenis ini yang tiap hari tampak di depan mata dan dirasakan sudah menjadi penyakit masyarakat.
Tindak korupsi jenis kedua yakni tindak korupsi yang dilakukan secara ‘tak nampak’. Jenis kedua ini skala korukpsinya sudah sistematik dan besar. Tindak korukpsi yang sistematik ini sudah jauh memasuki dan berpotensi merusak operasionalisasi negara dan memainkan peran penting akan penguasaan segelintir elit atas negara di mana proses formulasi kebijakan yang dibuat hanya untuk menguntungkan segelintir elit tertentu.
Prof. Dr. T. Gayus Lumbun, SH, MH mengatakan, dampak dari perilaku korupsi ini telah menghambat upaya-upaya peningkatan kualitas hidup manusia, termasuk dalam rangka mengurangi atau menekan angka kemiskinan. Oleh karena itu, perilaku korupsi berdampak pada meningkatnya jumlah orang miskin. Semakin banyak orang melakukan tindakan korupsi, sesungguhnya semakin banyak jumlah rakyat yang menjadi miskin. Korupsi juga menciptakan kesenjangan yang semakin besar antara kaum miskin dan kaya di Indonesia.
Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan, serta memudarkan masa depan bangsa. Hal ini telah membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah dan sikap tegas untuk memerangi korupsi di negara ini. Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Namun, banyak pihak menyoroti bahwa Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tidak secara signifikan membrantas kejahatan yang sudah membahayakan kehidupan bangsa dan negara. Korupsi justru menjadi virus yang mematikan, menggerogoti dan membahayakan semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam kondisi ini, institusi pendidikan (perguruan tinggi) memunyai peran yang besar dalam pemberantasan korupsi. Perguruan tinggi teruang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Maka pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab perguruan tinggi melalui mata kuliah anti korupsi. Republik Lithuania adalah contoh bagaimana institusi pendidikan berupaya mencegah program pendidikan antikorkupsi. Tujuannya adalah untuk membentuk posisi sipil aktif dan menumbuhkan intoleransi terhadap koupsi.
Lalu, apa sebab-sebabnya melakukan korupsi? Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia mengidentifikasi beberapa sebab terjadinya korkupsi, yaitu aspek individu pelaku korupsi, aspek organisasi, aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Korupsi yang dilakukan oleh individu berkaitan dengan moral.Moral kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi untuk kebutuhan yang wajar, kebutuhan yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar. Ironis bahwa nilai-nilai agama, sikap solidaritas sosial tidak dilaksanakan dalam kehidupan bersama.
Korupsi yang dilakukan oleh organisasi lebih banyak terjadi karena kurang adanya keteladanan dari pimpinan. Tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di pemerintah kurang memadai, serta manajemen cenderung menutupi korkupsi di dalam organisasinya.
Sebab berikutnya adalah aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat yang kondusif untuk melakukan korupsi, masyarakat kurang menyadari bahwa masyarakat sendiri yang dirugikan oleh tindakan korupsi, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korukpsi, bahkan generasi muda dihadapkan dengan praktek korupsi sejak lahir.