Sementara, rakyat sipil Papua dalam menolak pemekaran selalu mengemukakan berbagai alasan yang lahir dari pengalaman hidup selama 45 tahun lebih sejak Papua dicaplok menjadi bagian dari Indonesia (baca: PEPERA). Alasan-alasan penolakan itu adalah (1) akan terjadi arus migrasi dan kemiskinan—penyakit sosial, (2) soal kesiapan SDM orang asli Papua yang berkualitas, (3) alasan kepentingan politik, (4) mengejar kekayaan dan kekuasaan kelompok tertentu (tercipta orang kaya baru), (5) akan terjadi pemutusan hubungan/kekerabatan sosial budaya, (6) SDA akan dikuras habis atas persekongkolan pemerintah dan perusahaan, (7) pemekaran akan menjadi lahan perebutan kekuasaan, (8) alasan ingin feferendum untuk merdeka, (9) pemekaran dianggap sebagai adu domba, ekspansi, dan genosida, (10) lahan korupsi baru, (11) kelompok pro mekaran adalah orang-orang yang kalah, (12) rakyat melihat pemekaran sebagai bentuk tutup mulut atas berbagai soal termasuk pelanggaran HAM, (13) mereka juga menilai dana Otsus terbuang dengan pemekaran, (14) akan terbangun budaya konsumtif dan pejabat tidak akan pernah di kantor, (14) pemekaran adalah satu bentuk penghilangan budaya asli Papua, (16) pemekaran adalah politik konspirasi rahasia atau komplotan kejahatan, dan (17) pemekaran juga dinilai sebagai hasil perselingkuhan/perzinahan borjuasi pusat dan daerah yang akan menyengsarakan rakyat Papua sepanjang masa (masa kini dan masa depan).
Jadi, berdasarkan data-data di atas, terlihat bahwa sebagian besar UU pemekaran kabupaten di tanah Papua lahir pada tahun 2002. Pada tahun-tahun skalasi politik Papua memanas. Sama halnya dengan tahun 2008 yang juga masalah politik Papua mulai banyak dibicarakan di Papua maupun di dunia internasional. Dilihat dari sisi politik, ”mungkin Jakarta menganggap berhasil” karena memecah belah kekuatan politik Papua merdeka. Orang Papua yang bersatu dalam ras melanesia dan terus menunjukkan eksistensi nasionalisme Papua Barat itu dipecah dan dibuat sibuk dengan pemekaran (baku rebut kuasa dan jabatan). Keberhasilan pemecahan kekuatan politik Papua merdeka dengan pemekaran Irjabar menjadi pelajaran yang sukses. Jakarta juga mungkin berbangga bahwa sebagian aktivis Papua merdeka gadungan beralih kesibukannya ke dalam dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru.
Pemekaran, Politik Neo-‘Devide et Impera’
Pemekaran itu politik ‘devide et impera”. Mengapa? Karena, Indonesia adalah negara ‘tukang tiru’. Apa yang pernah dilakukan orang lain, dia tiru dan lakukan, termasuk hal yang tidak baik/benar. Dalam konteks ini, politik pecah-belah yang dilakukan Belanda di Java dulu itu dia mulai lakukan saat ini di Papua. Dulu, Belanda memecah belah dan mengadu domba raja-raja di pulau Jawa agar tidak bersatu melawan kolonial Belanda. Sekarang Indonesia menggiring bangsa Papua yang ras Melanesia itu pada keretakan.
Artinya, Jakarta mengotak-kotak kita orang Papua dalam suku dan golongan. Kemudian membujuk golongan suku lain untuk curiga terhadap suku lain. Atau membuat suku tertentu benci terhadap yang lain. Baku rampas jabatan yang kadang-kadang mengakibatkan pertumpahan darah. Mulai ada batasan-batasan/ larangan sesama orang Melanesia bekerja di kabupaten tertentu. Kita dibuat menjadi manusia kotak-kotak dan pilih-pilih. Kita sebagai satu ras Melanesia mulai dimatikan. Atau misalnya juga perang antarwarga yang sebelumnya tidak pernah ada dan terjadi di Papua.
Kita mesti sadar bahwa cara dan pendekatan negera ini terhadap orang Papua belum dan tidak akan berubah. Artinya hegemoni masih dan terus akan mendominasi dalam pembangunan di Papua. Pemekaran oleh para penguasa lokal dipahami sebagai salah satu usaha untuk membangun Papua. Mimpi. Karena pemekaran bukan solusi! Justru membuka peluang bagi kapitalis dan antek-anteknya masuk ke Papua Barat, menguasai alam Papua sekaligus membunuh masa sekarang dan masa depan.
Banyak orang, terutama kaum etis, mengatakan bahwa pemekaran itu terjadi di seluruh Indonesia. Jadi, pemekaran di Papua tidak harus dilihat sebagai satu upaya pemecahan kesatuan ras bangsa Melanesia di Pasifik Selatan. Mereka mengacu pada penetapan DPR RI pada rapat paripurna (sekitar 12.05 WIB, pada 25 Februari 2004) tentang rancangan Undang-Undang tentang pembentukan satu provinsi dan delapan kabupaten baru. Tempo News Room, 26 Pebruari 2004 menulis, dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR,Tosari Wijaya, enam fraksi masing-masing Fraksi Golkar, Fraksi Reformasi, Fraksi PDIP, Fraksi PPP, Fraksi PKB dan Fraksi TNI/Polri sepakat menjadikan rancangan itu sebagai RUU inisiatif DPR. Namun Fraksi TNI/Polri menyertakan beberapa catatan.
Mengacu pada penetapan DPR RI di atas untuk mengatakan tidak ada politik pecah belah kepapuaan orang Papua adalah tidak benar. Tidak benar karena proses-proses pemekaran, kepatuhan atas hukum dalam pengusulan pemekaran dan tentu saja konteks politik di Papua berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Papua dipandang dengan cara yang berbeda dan tetap akan berbeda. Proses pemekaran yang asal jadi dan penuh pelanggaran dalam koteks politik Papua yang terus memanas adalah bukti pertama bahwa pemekaran di Papua adalah sebuah upaya sadar negara untuk memecah-belah kemelanesiaan orang Papua.
Jumlah penduduk di Papua lebih dari 2,5 juta jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari 1,3 juta adalah kaum pendatang. Penduduk asli di Papua hanya kurang dari 1,2 juta jiwa. Data ini terus menurun karena kematian orang Papua di era Otonomi Khusus dan pemekaran lebih besar. Alasan kedua mengapa pemekaran itu memecah-belah adalah soal jumlah penduduk dan sumber daya manusia untuk membangun. Tidak masuk akal apabila sebuah wilayah yang penduduk aslinya hanya 1,2 juta jiwa dipaksakan untuk memekarkan daerahnya menjadi 38 kabupaten. Idealnya, satu kabupaten ada 14 dinas dengan tenaga kerja 8 ribu pegawai. Belum lagi soal tenaga-tenaga kerja pada perusahaan milik negara dan daerah. Lalu, pintu migrasi dibuka lebar-lebar secara sengaja (baca trasmigrasi bebas). Orang asli Papua terpinggir dan baku “makan” sendiri ketika merasa orang luar menguasai jabatan, tanah, dan harga diri mereka. Tempat pelampiasannya adalah kepada saudaranya sendiri orang Papua.
Pemakaran yang menyuburkan migrasi itu melahirkan konflik, keretakan, korupsi, peminggiran, penguasaan. Rasa sebagai satu bangsa Melanesia memudar, budaya hancur lebur, identitas kepapuaan hilang, ekososdikbud hencur, pejabat mabuk uang dan jawaban. Kehidupan sebagai sebuah bangsa justru hancur lebur. Pembangunan pendidikan, ekonomi, pelayanan kesehatan, hukum, HAM, dan lainnya di tanah Papua (era Otsus) hancur-hancuran.
Pemekaran yang Melumpuhkan?
Harus dicatat bahwa politik pecah belah yang dilakukan Belanda kepada orang Jawa dahulu itu tidak hanya melumpuhkan orang Jawa tetapi juga akhirnya Belanda. Hal penting yang harus dicatat di sini bahwa pemekaran tidak hanya ’melumpuhkan gerakan politik tetapi juga ikut melumpuhkan pemerintahan sipil resmi di Papua dan sekaligus melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil di Papua.
Pemekaran yang melumpuhkan pemerintahan resmi di Papua itu artinya kebijakan itu melumpuhkan Indonesia di tanah Papua. Jakarta melumpuhkan kepercayaan rakyat semesta Papua Barat kepada Republik Indonesia. Terpenting lagi kepercayaan dunia atas Indonesia lumpuh sejalan dengan lumpuhnya manusia dan nilai-nilai kemanusaan orang Papua Barat sebagai bagian dari dunia.