Mohon tunggu...
Yermias Degei
Yermias Degei Mohon Tunggu... -

Satu yang pasti: setiap detik hidupku menuju detik matiku.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemekaran Papua: Politik Pecah Belah yang Menyengsarakan

24 November 2011   05:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:16 3412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Atas Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 itu Gubernur Papua, J.P. Solossa menilai Jakarta tidak konsisten menjalankan UU Otsus. Bahkan setelah Inpres keluar, almarhum J.P. Solossa mengaku belum pernah dipanggil presiden terkait soal Inpres yang membagi rakyat Papua menjadi dua . Apalagi diusulkan. Pada hal, dalam UU Otsus Bab III Pasal 3 ayat 4 mengatakan, “pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan kabupaten/kota, ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Provinsi Papua”.

Inspres itu tidak membuat jengkel seluruh rakyat tetapi juga DPR Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Papua. Pada saat pemerintah Provinsi Papua sedang bersusah-payah melakukan sosialisasi penerapan Otsus terhadap rakyat Papua yang tidak suka karena tidak percaya Pemerintah Indonesia, tetapi justru Megawati keluarkan instruksi presiden soal pemekaran. Dan, pada 14 April 2003 Menteri Dalam Negeri datang ke Jayapura melantik 14 pejabat menjadi bupati di 14 wilayah yang baru dimekarkan menjadi kabupaten baru melalui UU No. 26/2003 di Provinsi Papua.

Penantian rakyat Papua atas komitmen Presiden SBY, pada saat itu, untuk mengeksekusi Irian Jaya Barat (pada waktu itu) dengan mencabut Inpres 1/2003 yang memberlakukan kembali UU 45/1999 yang telah batal demi hukum sejak diundangkannya UU 21/2001 sia-sia. Harapan rakyat untuk pembatalan beberapa daerah yang telah dimekarkan dan enam daerah baru yang diusulkan DPR juga tidak ditangkap.

Alasan pemekaran menjadi tidak jelas. Atas proses kelahiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemekaran Papua tidak hanya melahirkan kebingungan di kalangan rakyat, tetapi juga meningkatnya intensitas konflik antarwarga Papua. Bahkan, pada saat itu, pihak Departemen Dalam Negeri menyatakan tidak pernah mengusulkan terbitnya Inpres No 1/2003 yang berisi perintah percepatan pemekaran Provinsi Papua. Bahkan, sebagaimana diberitakan berbagai media, pada saat itu, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono membantah anggapan bahwa konsep inpres itu merupakan usulan BIN. Sementara, Deputi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur (PPKTI) Michael Menufandu menyatakan terkejut dengan Inpres yang tiba-tiba muncul itu. Lalu, siapa yang buat dan untuk apa? Kalau ada pengakuan Hendropriyono bahwa pemekaran dilatarbelakangi aspek keamanan.

Inpres itu lengkapnya berjudul ”Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.” Apakah ini tidak menodai UU Otsus? Jelas-jelas bertentangan dengan UU Otsus. Pemekaran Papua menjadi tiga provinsi telah diatur sebelum peraturan Otonomi Khusus Papua diundangkan. Alasan klise yang dipakai banyak pihak adalah percepatan pembangunan Papua yang memang telah ditinggalkan negara. Pemekaran semata-mata didasari kepentingan rentang pelayanan dan percepatan pembangunan sebagai dasar otonomi.

Pemekaran Berjamur
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Hari Sabarno pengesahan RUU Otsus menjadi UU Otsus pada 20 November 2001 dan diterapkan secara resmi di Papua pada 1 Januari 2002. Pada saat itu (tahun 2002), tanah Papua sudah dibagi menjadi dua provinsi, yaitu: Provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Papua. Provinsi Irian Jaya Barat pada saat itu terdiri dari empat kabupaten, yaitu Kabupaten Sorong, kota Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Fakfak. Sementara, provinsi Papua terdiri dari 11 kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Yapen Waropen, dan Kota Jayapura.

Pada tahun 2002 Jakarta memproduksi 14 UU pemekaran kabupaten di tanah Papua, yaitu Kabupaten Kaimana, pemekaran dari Kabupaten Fak-Fak (11 Desember 2002); Kabupaten Teluk Bintuni, pemekaran dari Kabupaten Manokwari (11 Desember 2002); Kabupaten Teluk Wondama, pemekaran dari Kabupaten Manokwari (11 Desember 2002); Kabupaten Raja Ampat, pemekaran dari Kabupaten Sorong (11 Desember 2002); Kabupaten Sorong Selatan, pemekaran dari Kabupaten Sorong (11 Desember 2002); Kabupaten Boven Digoel, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002); Kabupaten Mappi, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002); Kabupaten Asmat, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002); Kabupaten Yahukimo, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002); Kabupaten Pegunungan Bintang, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002); Kabupaten Tolikara, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002); Kabupaten Sarmi, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (11 Desember 2002); Kabupaten Keerom, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (11 Desember 2002); dan Kabupaten Waropen, pemekaran dari Kabupaten Yapen Waropen (11 Desember 2002). Pada tahun 2003 Jakarta memproduksi 2 UU pemekaran kabupaten di tanah Papua, yaitu Kota Jayapura, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (2 Agustus 1993) dan Kabupaten Supiori, pemekaran dari Kabupaten Biak Numfor (18 Desember 2003).

Pada tahun 2007 Jakarta memproduksi 1 UU pemekaran kabupaten di tanah Papua, yaitu Kabupaten Mamberamo Raya, pemekaran dari Kabupaten Sarmi (15 Maret 2007). Pada tahun 2008 Jakarta memproduksi 9 UU pemekaran kabupaten di tanah Papua, yaitu Kabupaten Tambrauw, pemekaran dari Kabupaten Sorong (29 Oktober 2008); Kabupaten Lanny Jaya, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008); Kabupaten Mamberamo Tengah, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008); Kabupaten Nduga Tengah, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008); Kabupaten Yalimo, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008); Kabupaten Puncak, pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya (4 Januari 2008); Kabupaten Dogiyai, pemekaran dari Kabupaten Nabire (4 Januari 2008); Kabupaten Deiyai, pemekaran dari Kabupaten Paniai (29 Oktober 2008); dan Kabupaten Intan Jaya, pemekaran dari Paniai (29 Oktober 2008).

Lalu, sebenarnya apa syarat dan kriteria pemekaran sebuah kabupaten baru (daerah otonom baru)? Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (3) tentang syarat pemekaran harus memenuhi 3 (tiga) syarat utama yaitu Syarat Administratif, Syarat Teknis dan Syarat Fisik Kewilayahan. Syarat administratif antara lain berisi surat-surat pernyataan, dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat, rekomendasi dari DPRD, dukungan dari bupati kabupaten induk, dukungan dari DPRD Provinsi, dukungan dari Gubernur dan Ketua MRP Papua maupun dukungan dari Pusat. Syarat teknis berupa hasil kajian dari pemerintah kabupaten induk melalui Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah Kabupaten dan hasil kajian akademik dari universitas yang ditunjuk. Syarat fisik wilayah antara lain jumlah distrik, peta kabupaten, dokumen pembangunan infrastruktur, dokumen pembebasan tanah adat dan lainnya.

Dilihat dari tiga syarat pemekaran menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di atas jelas-jelas terjadi manipulasi dan sogok. Surat-surat pernyataan dan dukungan tokoh-tokoh masyarakat dimanipulasi tim sukses. Hasil kajian yang dilakukan kabupaten maupun universitas sekalipun asal-asalan saja, yang penting dapat uang. Syarat fisik wilayah misalnya, dari sisi luas wilayah memenuhi syarat tetapi pelepasan tanah adat diiming-iming dengan uang dan jabatan kepada masyarakat adat. Soal jumlah penduduk adalah juga jelas-jelas tidak memenuhi syarat (baca jumlah penduduk Papua). Lalu, sejumlah kriteria yang dipakai untuk mengukur sebuah daerah apakah layak dimekarkan atau tidak menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga sama saja.

Alasan-alasan yang digunakan kelompok pro pemekaran di tanah Papua --kelompok yang kehilangan lahan, gila uang dan jabatan yang dimanfaatkan negara untuk meloloskan keinginan Jakarta di tanah Papua -- setidaknya ada 17 alasan. Alasan-alasan itu antara lain: (1) pemekaran untuk mengangkat potensi alam, (2) memenuhi syarat luas wilayah dan geografis, (3) pemekaran dianggap sebagai memperpendek rentang kendali, (4) soal penduduk Papua yang banyak (baca jumlah penduduk asli Papua), (5) dianggap memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah, (6) mereka juga menganggap ada dukungan dari UU Otsus, (7) dirasa, pemekaran memberikan kesempatan merencanakan dan mengatur, (8) pemekaran adalah saru cara terbaik untuk menjaga keutuhan NKRI, (9) pemekaran juga dinilai akan terbuka kesempatan kerja dan berusaha (baca: pendatang kuasai), (10) pemekaran juga diklaim sebagai tuntutan rakyat (baca: tuntutan merdeka), (11) kelompok pro mekaran juga menilai bahwa ada dukungan transportasi, (12) perluasan pasar (13) pemekaran karena memenuhi kriteria PAD, (14) SDM cukup, (15) dinilai ada kesamaan sosial budaya, (16) pemekaran memiliki dasar hokum yang jelas, dan (17) pemekaran adalah juga salah satu bentuk reformasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun