Mohon tunggu...
Yermias Degei
Yermias Degei Mohon Tunggu... -

Satu yang pasti: setiap detik hidupku menuju detik matiku.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemekaran Papua: Politik Pecah Belah yang Menyengsarakan

24 November 2011   05:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:16 3412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melihat pemekaran di tanah Papua sebagai ”Politik Neo-Devide et Impera” tidak lengkap apabila tidak dijelaskan dahulu proses lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Karena, pemekaran di tanah Papua justru muncul seperti jamur di musim hujan di era Otonomi Khusus sebagai satu bentuk perlawanan Jakarta atas UU Otsus yang dinilai berpotensi mengancam NKRI, yang dianggap Jakarta harga mati.

Gejolak reformasi awal tahun 1998 di Indonesia membawa banyak perubahan (lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan, pada 23 Mei 1998). Salah satu perubahan dari gejolak reformasi itu adalah terjadinya gejolak sosial dan politik yang luar biasa di Papua. Antara lain, rakyat Papua menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM, peninjauan ulang pelaksanaan PEPERA 1969 sampai pada tuntutan penentuan nasib sendiri. Selanjutnya, antara tahun 1998-2001 situasi sosial politik Papua Barat terus mengalami perkembangan hingga tahun 2000. Dalam keadaan sosial politik Papua yang terus memanas itulah Jacobus Perviddya Solossa dan Constant Karma dipilih DPRD dan dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua oleh Menteri Dalam Negeri, Soerjadi Soedirdja, pada 23 November 2000 di Gedung Sasana Krida Kantor Gubernur Dok 2 Jayapura. Segudang permasalahan di Papua, mulai kecenderungan konflik horizontal, pemekaran wilayah Papua yang ditolak masyarakat, peningkatan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, adalah persoalan akut yang terjadi waktu itu. Semua persoalan itu menjadi alasan tambahan atas keinginan rakyat Papua untuk merdeka yang telah lama ada. Berbagai permasalahan ini menyita waktu, tenaga dan pikiran Gubernur J.P. Solossa dan Wakil Gubernur Constant Karma.

Dalam kondisi itulah Solossa–Karma membentuk sebuah tim kecil yang kemudian menjadi Tim Asistensi Otonomi Khusus (Otsus) Papua di Jakarta akhir Desember 2000. Tim Asistensi yang beranggotakan kaum intelektual Papua dari akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu dipimpin Frans A. Wospakrik. Mereka melakukan penjaringan aspirasi rakyat ke seluruh Kabupaten dan Kota di tanah Papua yang hasilnya diseminarkan di Gedung Olahraga Cenderawasih Jayapura, pada 28–29 Maret 2000. Hasil penjaringan aspirasi rakyat itu digunakan untuk pembuatan draft Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Namun, draf UU Otsu itu mengalami tantangan (pro-kontra). Tantangan itu bukan saja datang dari rakyat Papua, tetapi juga dari Jakarta. Para elite politik di Jakarta sangat berhati-hati dan mencurigai rencana penerapan Otsus di Papua. Akibatnya, proses pembahasan draft UU menjadi UU Otsus berjalan sangat alot. Mereka (Jakarta) khawatir akan mempercepat Papua berpisah – merdeka dari Indonesia.

Dalam keadaan pro-kontra itu, Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay diculik di kawasan Skyline, Entrop dan dibunuh oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada 10 November 2001 di Koya–dekat perbatasan wilayah Republik Indonesia dan Papua New Guinea. Sepuluh hari kemudian, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada 21 November 2001 di Jakarta.

Sebagaimana yang tertera dalam konsideran Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus menyebutkan dan mengakui 3 (tiga) hal pokok penyebab lahirnya Undang-Undang Otsus. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno yang hadir dalam sidang paripurna DPR RI pengesahan RUU menjadi UU Otsus pada 20 November 2001 mengatakan RUU tersebut sebagai pemecahan masalah yang paling komprehensif bagi Papua.

Akhirnya, UU Otsus No. 21/2001 diterapkan secara resmi di Papua pada 1 Januari 2002. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua lahir sebagai suatu produk sejarah, melewati suatu proses sejarah yang panjang. Ia lahir dalam konteks dinamika sosial politik dan keamanan dari Negara Kebangsaan (Nation State) Indonesia. Ia lahir dalam konteks penegakan hukum, HAM dan demokrasi. Undang-Undang ini juga lahir sebagai upaya penyelesaian konflik. Sebagai jalan keluar untuk menciptakan Win-Win Situation antara rakyat Papua yang ingin merdeka dan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pemerintah RI yang tetap kokoh teguh mempertahankan integritas dan kedaulatan.

Undang-Undang Otsus juga sekaligus membuka ruang bagi perbaikan untuk masa depan yang lebih baik, belajar dari kesalahan masa lampau agar supaya kita tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Dengan demikian Undang-Undang ini membuka ruang untuk perbaikan dalam rangka memperjuangkan perbaikan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, persamaan hak, dan untuk mengembangkan jati diri, harga diri serta harkat dan martabat sebagai manusia.

Sebagai rasa syukur atas pelaksanaan Otsus selama setahun di Papua, Presiden Megawati Soekarnoputri datang merayakan Natal bersama seluruh rakyat dan pejabat pemerintah Provinsi Papua pada 26 Desember 2002 di Gedung Olahraga Cenderawasih Jayapura, sekaligus penandatanganan persetujuan pengelolaan gas – Liguid Natural Gas (LNG) Tangguh di Bintuni di Gedung Negara Jayapura.

Namun, kegembiraan Natal 2002 itu tak bertahan lama. Satu bulan kemudian, Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan pemekaran wilayah, pada 27 Januari 2003 . Intruksi yang bertentangan dengan semangat Otsus.

Otsus Versus Pemekaran
Saat Tim Asistensi Otsus yang beranggotakan kaum intelektual Papua dari akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersusah payah meyakinkan rakyat Papua tentang Otsus, Jakarta memproduksi sebuah peraturan yang berbenturan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 lahir tanpa dasar hukum yang jelas. Lantas, dalam UU No 45/1999 mengisyaratkan pemekaran dan UU No 21/2001 tidak menyebutkan masalah pemekaran (baca: Jawa Pos, 17 Oktober 2005). Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hal ini merupakan keputusan “banci”. Satu pihak menyatakan UU 45/1999 batal demi hukum karena bertentangan dengan UUD 1945, tetapi di lain pihak tetap mengakui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 yang memekarkan Irian Jaya Barat (Sinar Harapan, 29 November 2005).

Untuk melegalkan pemekaran Irian Jaya Barat yang sebenarnya batal demi hukum, awal 2007, Jakarta berupaya merevisi UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Kompas, 15 Februari 2007). Rencana merevisi UU No 21/2001 tentang Otsus Papua itu lebih mengemuka setelah adanya wacana pemekaran Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Selatan dan Papua Bagaian Barat Daya serta lima wilayah kabupaten baru (Kompas, 15 Februari 2007).

Atas Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 itu Gubernur Papua, J.P. Solossa menilai Jakarta tidak konsisten menjalankan UU Otsus. Bahkan setelah Inpres keluar, almarhum J.P. Solossa mengaku belum pernah dipanggil presiden terkait soal Inpres yang membagi rakyat Papua menjadi dua . Apalagi diusulkan. Pada hal, dalam UU Otsus Bab III Pasal 3 ayat 4 mengatakan, “pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan kabupaten/kota, ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Provinsi Papua”.

Inspres itu tidak membuat jengkel seluruh rakyat tetapi juga DPR Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Papua. Pada saat pemerintah Provinsi Papua sedang bersusah-payah melakukan sosialisasi penerapan Otsus terhadap rakyat Papua yang tidak suka karena tidak percaya Pemerintah Indonesia, tetapi justru Megawati keluarkan instruksi presiden soal pemekaran. Dan, pada 14 April 2003 Menteri Dalam Negeri datang ke Jayapura melantik 14 pejabat menjadi bupati di 14 wilayah yang baru dimekarkan menjadi kabupaten baru melalui UU No. 26/2003 di Provinsi Papua.

Penantian rakyat Papua atas komitmen Presiden SBY, pada saat itu, untuk mengeksekusi Irian Jaya Barat (pada waktu itu) dengan mencabut Inpres 1/2003 yang memberlakukan kembali UU 45/1999 yang telah batal demi hukum sejak diundangkannya UU 21/2001 sia-sia. Harapan rakyat untuk pembatalan beberapa daerah yang telah dimekarkan dan enam daerah baru yang diusulkan DPR juga tidak ditangkap.

Alasan pemekaran menjadi tidak jelas. Atas proses kelahiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemekaran Papua tidak hanya melahirkan kebingungan di kalangan rakyat, tetapi juga meningkatnya intensitas konflik antarwarga Papua. Bahkan, pada saat itu, pihak Departemen Dalam Negeri menyatakan tidak pernah mengusulkan terbitnya Inpres No 1/2003 yang berisi perintah percepatan pemekaran Provinsi Papua. Bahkan, sebagaimana diberitakan berbagai media, pada saat itu, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono membantah anggapan bahwa konsep inpres itu merupakan usulan BIN. Sementara, Deputi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur (PPKTI) Michael Menufandu menyatakan terkejut dengan Inpres yang tiba-tiba muncul itu. Lalu, siapa yang buat dan untuk apa? Kalau ada pengakuan Hendropriyono bahwa pemekaran dilatarbelakangi aspek keamanan.

Inpres itu lengkapnya berjudul ”Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.” Apakah ini tidak menodai UU Otsus? Jelas-jelas bertentangan dengan UU Otsus. Pemekaran Papua menjadi tiga provinsi telah diatur sebelum peraturan Otonomi Khusus Papua diundangkan. Alasan klise yang dipakai banyak pihak adalah percepatan pembangunan Papua yang memang telah ditinggalkan negara. Pemekaran semata-mata didasari kepentingan rentang pelayanan dan percepatan pembangunan sebagai dasar otonomi.

Pemekaran Berjamur
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Hari Sabarno pengesahan RUU Otsus menjadi UU Otsus pada 20 November 2001 dan diterapkan secara resmi di Papua pada 1 Januari 2002. Pada saat itu (tahun 2002), tanah Papua sudah dibagi menjadi dua provinsi, yaitu: Provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Papua. Provinsi Irian Jaya Barat pada saat itu terdiri dari empat kabupaten, yaitu Kabupaten Sorong, kota Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Fakfak. Sementara, provinsi Papua terdiri dari 11 kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Yapen Waropen, dan Kota Jayapura.

Pada tahun 2002 Jakarta memproduksi 14 UU pemekaran kabupaten di tanah Papua, yaitu Kabupaten Kaimana, pemekaran dari Kabupaten Fak-Fak (11 Desember 2002); Kabupaten Teluk Bintuni, pemekaran dari Kabupaten Manokwari (11 Desember 2002); Kabupaten Teluk Wondama, pemekaran dari Kabupaten Manokwari (11 Desember 2002); Kabupaten Raja Ampat, pemekaran dari Kabupaten Sorong (11 Desember 2002); Kabupaten Sorong Selatan, pemekaran dari Kabupaten Sorong (11 Desember 2002); Kabupaten Boven Digoel, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002); Kabupaten Mappi, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002); Kabupaten Asmat, pemekaran dari Kabupaten Merauke (11 Desember 2002); Kabupaten Yahukimo, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002); Kabupaten Pegunungan Bintang, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002); Kabupaten Tolikara, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (11 Desember 2002); Kabupaten Sarmi, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (11 Desember 2002); Kabupaten Keerom, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (11 Desember 2002); dan Kabupaten Waropen, pemekaran dari Kabupaten Yapen Waropen (11 Desember 2002). Pada tahun 2003 Jakarta memproduksi 2 UU pemekaran kabupaten di tanah Papua, yaitu Kota Jayapura, pemekaran dari Kabupaten Jayapura (2 Agustus 1993) dan Kabupaten Supiori, pemekaran dari Kabupaten Biak Numfor (18 Desember 2003).

Pada tahun 2007 Jakarta memproduksi 1 UU pemekaran kabupaten di tanah Papua, yaitu Kabupaten Mamberamo Raya, pemekaran dari Kabupaten Sarmi (15 Maret 2007). Pada tahun 2008 Jakarta memproduksi 9 UU pemekaran kabupaten di tanah Papua, yaitu Kabupaten Tambrauw, pemekaran dari Kabupaten Sorong (29 Oktober 2008); Kabupaten Lanny Jaya, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008); Kabupaten Mamberamo Tengah, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008); Kabupaten Nduga Tengah, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008); Kabupaten Yalimo, pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya (4 Januari 2008); Kabupaten Puncak, pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya (4 Januari 2008); Kabupaten Dogiyai, pemekaran dari Kabupaten Nabire (4 Januari 2008); Kabupaten Deiyai, pemekaran dari Kabupaten Paniai (29 Oktober 2008); dan Kabupaten Intan Jaya, pemekaran dari Paniai (29 Oktober 2008).

Lalu, sebenarnya apa syarat dan kriteria pemekaran sebuah kabupaten baru (daerah otonom baru)? Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (3) tentang syarat pemekaran harus memenuhi 3 (tiga) syarat utama yaitu Syarat Administratif, Syarat Teknis dan Syarat Fisik Kewilayahan. Syarat administratif antara lain berisi surat-surat pernyataan, dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat, rekomendasi dari DPRD, dukungan dari bupati kabupaten induk, dukungan dari DPRD Provinsi, dukungan dari Gubernur dan Ketua MRP Papua maupun dukungan dari Pusat. Syarat teknis berupa hasil kajian dari pemerintah kabupaten induk melalui Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah Kabupaten dan hasil kajian akademik dari universitas yang ditunjuk. Syarat fisik wilayah antara lain jumlah distrik, peta kabupaten, dokumen pembangunan infrastruktur, dokumen pembebasan tanah adat dan lainnya.

Dilihat dari tiga syarat pemekaran menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di atas jelas-jelas terjadi manipulasi dan sogok. Surat-surat pernyataan dan dukungan tokoh-tokoh masyarakat dimanipulasi tim sukses. Hasil kajian yang dilakukan kabupaten maupun universitas sekalipun asal-asalan saja, yang penting dapat uang. Syarat fisik wilayah misalnya, dari sisi luas wilayah memenuhi syarat tetapi pelepasan tanah adat diiming-iming dengan uang dan jabatan kepada masyarakat adat. Soal jumlah penduduk adalah juga jelas-jelas tidak memenuhi syarat (baca jumlah penduduk Papua). Lalu, sejumlah kriteria yang dipakai untuk mengukur sebuah daerah apakah layak dimekarkan atau tidak menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga sama saja.

Alasan-alasan yang digunakan kelompok pro pemekaran di tanah Papua --kelompok yang kehilangan lahan, gila uang dan jabatan yang dimanfaatkan negara untuk meloloskan keinginan Jakarta di tanah Papua -- setidaknya ada 17 alasan. Alasan-alasan itu antara lain: (1) pemekaran untuk mengangkat potensi alam, (2) memenuhi syarat luas wilayah dan geografis, (3) pemekaran dianggap sebagai memperpendek rentang kendali, (4) soal penduduk Papua yang banyak (baca jumlah penduduk asli Papua), (5) dianggap memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah, (6) mereka juga menganggap ada dukungan dari UU Otsus, (7) dirasa, pemekaran memberikan kesempatan merencanakan dan mengatur, (8) pemekaran adalah saru cara terbaik untuk menjaga keutuhan NKRI, (9) pemekaran juga dinilai akan terbuka kesempatan kerja dan berusaha (baca: pendatang kuasai), (10) pemekaran juga diklaim sebagai tuntutan rakyat (baca: tuntutan merdeka), (11) kelompok pro mekaran juga menilai bahwa ada dukungan transportasi, (12) perluasan pasar (13) pemekaran karena memenuhi kriteria PAD, (14) SDM cukup, (15) dinilai ada kesamaan sosial budaya, (16) pemekaran memiliki dasar hokum yang jelas, dan (17) pemekaran adalah juga salah satu bentuk reformasi.

Sementara, rakyat sipil Papua dalam menolak pemekaran selalu mengemukakan berbagai alasan yang lahir dari pengalaman hidup selama 45 tahun lebih sejak Papua dicaplok menjadi bagian dari Indonesia (baca: PEPERA). Alasan-alasan penolakan itu adalah (1) akan terjadi arus migrasi dan kemiskinan—penyakit sosial, (2) soal kesiapan SDM orang asli Papua yang berkualitas, (3) alasan kepentingan politik, (4) mengejar kekayaan dan kekuasaan kelompok tertentu (tercipta orang kaya baru), (5) akan terjadi pemutusan hubungan/kekerabatan sosial budaya, (6) SDA akan dikuras habis atas persekongkolan pemerintah dan perusahaan, (7) pemekaran akan menjadi lahan perebutan kekuasaan, (8) alasan ingin feferendum untuk merdeka, (9) pemekaran dianggap sebagai adu domba, ekspansi, dan genosida, (10) lahan korupsi baru, (11) kelompok pro mekaran adalah orang-orang yang kalah, (12) rakyat melihat pemekaran sebagai bentuk tutup mulut atas berbagai soal termasuk pelanggaran HAM, (13) mereka juga menilai dana Otsus terbuang dengan pemekaran, (14) akan terbangun budaya konsumtif dan pejabat tidak akan pernah di kantor, (14) pemekaran adalah satu bentuk penghilangan budaya asli Papua, (16) pemekaran adalah politik konspirasi rahasia atau komplotan kejahatan, dan (17) pemekaran juga dinilai sebagai hasil perselingkuhan/perzinahan borjuasi pusat dan daerah yang akan menyengsarakan rakyat Papua sepanjang masa (masa kini dan masa depan).

Jadi, berdasarkan data-data di atas, terlihat bahwa sebagian besar UU pemekaran kabupaten di tanah Papua lahir pada tahun 2002. Pada tahun-tahun skalasi politik Papua memanas. Sama halnya dengan tahun 2008 yang juga masalah politik Papua mulai banyak dibicarakan di Papua maupun di dunia internasional. Dilihat dari sisi politik, ”mungkin Jakarta menganggap berhasil” karena memecah belah kekuatan politik Papua merdeka. Orang Papua yang bersatu dalam ras melanesia dan terus menunjukkan eksistensi nasionalisme Papua Barat itu dipecah dan dibuat sibuk dengan pemekaran (baku rebut kuasa dan jabatan). Keberhasilan pemecahan kekuatan politik Papua merdeka dengan pemekaran Irjabar menjadi pelajaran yang sukses. Jakarta juga mungkin berbangga bahwa sebagian aktivis Papua merdeka gadungan beralih kesibukannya ke dalam dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru.

Pemekaran, Politik Neo-‘Devide et Impera’
Pemekaran itu politik ‘devide et impera”. Mengapa? Karena, Indonesia adalah negara ‘tukang tiru’. Apa yang pernah dilakukan orang lain, dia tiru dan lakukan, termasuk hal yang tidak baik/benar. Dalam konteks ini, politik pecah-belah yang dilakukan Belanda di Java dulu itu dia mulai lakukan saat ini di Papua. Dulu, Belanda memecah belah dan mengadu domba raja-raja di pulau Jawa agar tidak bersatu melawan kolonial Belanda. Sekarang Indonesia menggiring bangsa Papua yang ras Melanesia itu pada keretakan.

Artinya, Jakarta mengotak-kotak kita orang Papua dalam suku dan golongan. Kemudian membujuk golongan suku lain untuk curiga terhadap suku lain. Atau membuat suku tertentu benci terhadap yang lain. Baku rampas jabatan yang kadang-kadang mengakibatkan pertumpahan darah. Mulai ada batasan-batasan/ larangan sesama orang Melanesia bekerja di kabupaten tertentu. Kita dibuat menjadi manusia kotak-kotak dan pilih-pilih. Kita sebagai satu ras Melanesia mulai dimatikan. Atau misalnya juga perang antarwarga yang sebelumnya tidak pernah ada dan terjadi di Papua.

Kita mesti sadar bahwa cara dan pendekatan negera ini terhadap orang Papua belum dan tidak akan berubah. Artinya hegemoni masih dan terus akan mendominasi dalam pembangunan di Papua. Pemekaran oleh para penguasa lokal dipahami sebagai salah satu usaha untuk membangun Papua. Mimpi. Karena pemekaran bukan solusi! Justru membuka peluang bagi kapitalis dan antek-anteknya masuk ke Papua Barat, menguasai alam Papua sekaligus membunuh masa sekarang dan masa depan.

Banyak orang, terutama kaum etis, mengatakan bahwa pemekaran itu terjadi di seluruh Indonesia. Jadi, pemekaran di Papua tidak harus dilihat sebagai satu upaya pemecahan kesatuan ras bangsa Melanesia di Pasifik Selatan. Mereka mengacu pada penetapan DPR RI pada rapat paripurna (sekitar 12.05 WIB, pada 25 Februari 2004) tentang rancangan Undang-Undang tentang pembentukan satu provinsi dan delapan kabupaten baru. Tempo News Room, 26 Pebruari 2004 menulis, dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR,Tosari Wijaya, enam fraksi masing-masing Fraksi Golkar, Fraksi Reformasi, Fraksi PDIP, Fraksi PPP, Fraksi PKB dan Fraksi TNI/Polri sepakat menjadikan rancangan itu sebagai RUU inisiatif DPR. Namun Fraksi TNI/Polri menyertakan beberapa catatan.

Mengacu pada penetapan DPR RI di atas untuk mengatakan tidak ada politik pecah belah kepapuaan orang Papua adalah tidak benar. Tidak benar karena proses-proses pemekaran, kepatuhan atas hukum dalam pengusulan pemekaran dan tentu saja konteks politik di Papua berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Papua dipandang dengan cara yang berbeda dan tetap akan berbeda. Proses pemekaran yang asal jadi dan penuh pelanggaran dalam koteks politik Papua yang terus memanas adalah bukti pertama bahwa pemekaran di Papua adalah sebuah upaya sadar negara untuk memecah-belah kemelanesiaan orang Papua.

Jumlah penduduk di Papua lebih dari 2,5 juta jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari 1,3 juta adalah kaum pendatang. Penduduk asli di Papua hanya kurang dari 1,2 juta jiwa. Data ini terus menurun karena kematian orang Papua di era Otonomi Khusus dan pemekaran lebih besar. Alasan kedua mengapa pemekaran itu memecah-belah adalah soal jumlah penduduk dan sumber daya manusia untuk membangun. Tidak masuk akal apabila sebuah wilayah yang penduduk aslinya hanya 1,2 juta jiwa dipaksakan untuk memekarkan daerahnya menjadi 38 kabupaten. Idealnya, satu kabupaten ada 14 dinas dengan tenaga kerja 8 ribu pegawai. Belum lagi soal tenaga-tenaga kerja pada perusahaan milik negara dan daerah. Lalu, pintu migrasi dibuka lebar-lebar secara sengaja (baca trasmigrasi bebas). Orang asli Papua terpinggir dan baku “makan” sendiri ketika merasa orang luar menguasai jabatan, tanah, dan harga diri mereka. Tempat pelampiasannya adalah kepada saudaranya sendiri orang Papua.

Pemakaran yang menyuburkan migrasi itu melahirkan konflik, keretakan, korupsi, peminggiran, penguasaan. Rasa sebagai satu bangsa Melanesia memudar, budaya hancur lebur, identitas kepapuaan hilang, ekososdikbud hencur, pejabat mabuk uang dan jawaban. Kehidupan sebagai sebuah bangsa justru hancur lebur. Pembangunan pendidikan, ekonomi, pelayanan kesehatan, hukum, HAM, dan lainnya di tanah Papua (era Otsus) hancur-hancuran.

Pemekaran yang Melumpuhkan?
Harus dicatat bahwa politik pecah belah yang dilakukan Belanda kepada orang Jawa dahulu itu tidak hanya melumpuhkan orang Jawa tetapi juga akhirnya Belanda. Hal penting yang harus dicatat di sini bahwa pemekaran tidak hanya ’melumpuhkan gerakan politik tetapi juga ikut melumpuhkan pemerintahan sipil resmi di Papua dan sekaligus melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil di Papua.

Pemekaran yang melumpuhkan pemerintahan resmi di Papua itu artinya kebijakan itu melumpuhkan Indonesia di tanah Papua. Jakarta melumpuhkan kepercayaan rakyat semesta Papua Barat kepada Republik Indonesia. Terpenting lagi kepercayaan dunia atas Indonesia lumpuh sejalan dengan lumpuhnya manusia dan nilai-nilai kemanusaan orang Papua Barat sebagai bagian dari dunia.

Belanda di masa lalu dilumpuhkan di Java oleh orang Java. Jaminan keutuhan NKRI yang ada pada UU 21/2001 tentang Otsus itu telah dilumpuhkan sendiri oleh Indonesia dengan kebijakan bertentangan, PEMEKARAN. Mudah-mudahan, dukungan Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Uni Eropa atas klaim Indonesia atas Papua Barat tidak lumpuh karena politik pecah-belah anti kemanusiaan itu.

Dari blog pribadi saya, http://www.yerifile.co.cc untuk http://www.kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun