Mohon tunggu...
Yeremias Nino
Yeremias Nino Mohon Tunggu... Mahasiswa - Musafir

Cogito Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Berziarah Menuju Sang Cinta

22 Maret 2021   11:14 Diperbarui: 22 Maret 2021   11:20 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak 

Fokus penulis dalam tulisan ini akan mengulas tentang berziarah menuju Sang Cinta. Peziarahan merupakan salah satu perjalan kehidupan manusia menuju suatu tujuan. Manusia berziarah memiliki titik awal berangkat dan punya tujuan peziarahan. Awal dan tujuan peziarahan manusia adalah menuju Sang Cinta. Allah yang menyejarah manusia beserta pengalaman hidupnya. Allah menyatakan kehadiran-Nya lewat pengalaman hidup harian manusia. Manusia hendaknya berziarah untuk menemukan kehadiran Allah. 

Manusia bukan berziarah untuk menemukan etiket hidup yang absurd. Melainkan, manusia berziarah untuk menemukan identitas diri dan kehendak Allah yang sejati. Pengalaman menjadi sarana untuk mengenal siapakah Allah dalam peziarahan hidup manusia itu sendiri. 

Allah adalah Sang Cinta bagi hidup manusia. Sebagai Sang Cinta, Ia ingin umat-Nya bahagia. Untuk mendalami tema ini penulis menggunakan metode pembacaan kritis yang bersumber pada buku menjadi mencintai dan beberapa sumber lain. Dalam tulisan ini penulis sampai pada temuan bahwa berziarah sangat penting karena dengan berziarah manusia dapat menemukan tujuan hidup sejati.  

Kata kunci: Manusia, Berziarah, Mencari, Cinta, Pengalaman.

Pengantar

Berziarah merupakan langkah dari tempat yang semula menuju ke tempat yang baru. Peziarahan itu dilakukan sepanjang hidup manusia. Manusia berziarah dengan tujuan untuk menggapai kebahagiaan. Manusia diciptakan untuk menjadi sang peziarah. Singkat kata manusia adalah dia yang mencari, mengejar, menyerahkan diri, bermimpi, dan menciptakan sejarah hidupnya sendiri.[1]Pada umumnya manusia memiliki satu kerinduan yang besar untuk berjumpa dengan Sang Cinta. Kerinduan itu terlihat lewat tindakan mencari, mengejar, menyerahkan diri, dan bermimpi. Manusia akan mencapai kerinduan ini jika terus menerus berziarah. Berziarah merupakan fondasi pertama untuk berjumpa dengan Sang Cinta.

Peziarahan manusia tidak hanya berhenti di bumi, tetapi masih lanjut berziarah di akhirat. Penziarahan manusia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Manusia selalu mempunyai kesempatan untuk berziarah. Hidup adalah peziarahan. Peziarahan manusia selama hidup adalah peziarahan dalam mencari kebenaran. Namun, manusia seringkali dalam peziarahan menghidupi etiket hidup yang absurd. Manusia mencari hal yang tidak penting dalam hidup. Manusia hidup dalam situasi kepalsuan, kesenangan dan kenikmatan. Manusia selalu bersaing mencari kesenangan fisik ketimbang kesenangan jiwa dan batin. Ini adalah realitas yang terjadi di saat sekarang.

Pembahasan

Pengalaman

Manusia mesti menyadari bahwa dirinya bertumbuh dengan baik hanya karena punya pengalaman relasi dengan Allah. Manusia yang berelasi dengan Allah tentu menimba pengalaman yang berarti. Pengalaman mampu membentuk manusia untuk berkomitmen, memotivasi diri dan punya impian yang jelas. Manusia selalu kuat karena berkat pengalaman relasi yang intim dengan Allah. Manusia yang tidak memilki relasi dengan Allah tentu sulit untuk menentukan arah hidupnya. Dia tidak tahu ke mana dia harus melangkah untuk mencapai tujuan yang sejati. Manusia akan mencapai tujuan hidup yang sejati jika mempunyai pengalaman yang intim dengan Allah. Pengalaman membangun relasi yang intim dengan Allah merupakan salah langkah untuk mencapai hidup yang sejati. Maka, sangat penting manusia memiliki pengalaman relasi dengan Allah. Karena pengalaman membangun relasi dengan Allah mampu membawa manusia pada tujuan hidup yang sejati. Tentunya hal ini tidak mudah. Mengapa demikian? Karena hal ini membutuhkan pengorbanan dan kesetiaan.

Pada suatu hari Ingnasius dari Loyola menyadari bahwa ia merasakan pengalaman yang berbeda dari dua lamunannya itu. setelah lamunannya yang pertama ia merasa sedih dan kesal, tetapi ketika ia selesai melamunkan dirinya sebagai pengikut Kristus, ia merasakan sukacita dan puas. Ia menyimpulkan bahwa cita-citanya untuk mengikuti Kristus didorong oleh roh kebaikan, sedangkan cita-citanya untuk menjadi ksatria didorong oleh roh kejahatan.[2]

 

Kisah Ignasius dari Loyola menggambarkan suatu pengalaman yang menarik bagaimana ia jatuh bagun dalam membangun relasi dengan Allah yang intim. Dalam membangun relasi dengan Allah, ia mengalami banyak pergulatan dan tantangan. Namun, dalam situasi seperti itu ia terus berusaha dan berjuang untuk mengalahkan pergulatan dan tantangan itu. Usaha dan perjuangannya bukan semata-mata dari dirinya sendiri tetapi ia sungguh meletakan segala niat baiknya kepada kehendak Tuhan. Pengalaman Ingnasius membangun relasi dengan Allah membuahkan hasil yang mengembirakan yakni bertobat dan kembali pada jalan Tuhan. Manusia di zaman sekarang sulit untuk membangun relasi dengan Allah. Salah satu indikasinya adalah karena manusia di zaman sekarang memusatkan hidupnya pada kesenangan duniawi, sehingga ketika mengalami tantangan dan kesulitan mudah putus asa dan mudah lari dari tanggung jawab. Situasi hidup di zaman sekarang menuntut suatu komitmen yang sungguh-sungguh. Hidup tanpa komitmen pada dasarnya akan hampa dan tidak ada nilai yang dipetik. Untuk mencapai titik tujuan maka yang dibutuhkan adalah usaha dan komitmen. Kedua hal ini sungguh menjadi dasar untuk membangun relasi dengan Allah. Pengalaman berelasi bersama Allah akan membawa manusia pada tujuan hidup yang sejati. Tujuan hidup manusia yang sejati adalah kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapai hal ini, maka butuh pengorbanan dan usaha yang keras.

 

Pengalaman subjektif adalah perpaduan kompleks antara pengetahuan dan subjektivitas. Dan itu memberi nilai tersendiri untuk sebuah kebenaran pengetahuan. Apakah aku tahu sesuatu? Sejauh aku belum bersentuhan dengan nilai yang mengedepankan pengalaman manusiawi, pengetahuanku hanyalah pengulangan frase, rumusan hipotesis, dan formal saja. Pengalaman manusiawi kerap menjadi paradigma dan gramatika dari sebuah riset yang memproduksi ilmu baru.[3]

 

 Ini adalah satu gambaran bagaimana manusia hendak mencermati dan memaknai setiap pengalaman dengan baik dan benar. Armada Riyanto hendak menegaskan hal ini karena lewat pengalaman itu manusia mampu memperoleh pengetahuan yang nilai kebenarannya absolut. Pengalaman itu melibatkan seluruh panca indra manusia serta produk dari ratio manusia itu sendiri. Pengalaman itu bukan disebabkan oleh obyek melainkan dialami atau dilakukan oleh subyek itu sendiri. Ibaratnya dari subyek untuk subyek itu sendiri. Porsi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman itu tergantung dari subyek itu sendiri. Obyek tidak bisa memberikan penilaian terhadap porsi pengetahuan yang diperoleh dari subyek atau pelaku. Dengan demikian, pengalaman perlu menciptakan peristiwa yang harus dimaknai oleh setiap manusia yang mengalaminya. Pengalaman-pengalaman yang dialami setiap manusia tentu berbeda-beda. Setiap manusia unik dan indah, semata karena pengalamannya. Pengalaman-pengalaman yang unik bukan atas dasar kreativitas manusia semata, melainkan sebuah anugerah istimewa dari Allah. Anugerah inilah yang kemudian mengantar manusia untuk mengalami kasih dan kebaikan Tuhan yang sejati.

  Siapa itu Tuhan? 

 

                  Allah tentu tidak bisa didefenisikan melalui suatu ide atau pengertian yang abstrak. Konsep tentang siapakah Allah selalu dirangkum dari berbagai pengalaman relasi manusia dengan Allah. Misalkan pemazmur berkata, Allah adalah gunung batuku, Allah adalah perisaiku. Konsep atau gambaran tentang Allah itu tergantung posisi dari pemazmur. Dia memberikan gambaran tentang Allah sesuai dengan pengalaman saat itu. Maka tidak heran kalau setiap manusia memberikan konsep atau gambaran tentang Allah yang berbeda-beda. Mengapa demikian? Karena setiap manusia memiliki pengalaman tentang Allah yang berbeda. Dan itulah yang akan memberikan defenisi tentang siapakah Allah bagi manusia. Dialog filsafat teologi tentu merangkul juga perdebatan mengenai siapakah Allah bagi munusia. Dialog filsafat teologi berziarah dan mencari jawaban tentang Allah. Ada begitu banyak jawaban yang diuraikan dari peziarahan itu. Dari uraian itu kita dapat menemukan jawaban bahwa Allah adalah Allah yang berziarah dan menyejarah dalam hidup manusia. Manusia hanya mengalami kehadiran Tuhan lewat peziarahan dan relasi yang intens.

 

      Siapakah Allah di Yerusalem? Dia adalah Allah yang rasional-personal, mencintai dan menyejarah dalam hidup manusia. Dia adalah Sang Pencipta yang menciptakan segala yang dari ketiadaan. Dia adalah Pribadi, Allah yang punya nama. Dia adalah Allah yang mengutus Putera-Nya, Yesus Kristus, untuk menebus manusia lewat salib.[4]

 

    Orang Yerusalem mendefenisikan Allah berdasarkan pengalaman iman, pengalaman perjumpaan pribadi dengan Allah. Allah dimengerti atau dipahami di Yerusalem karena Allah telah menyatakan diri-Nya kepada orang-orang Yerusalem. Orang Yerusalem mengakui bahwa Allah itu hadir dalam peziarahan hidup mereka. Allah yang menyejarah dalam hidup mereka. Orang-orang Yerusalem tidak bisa berpaling dari Allah. Mereka hidup dibawah kontrol atau kehendak Allah. Jika awal dan akhir sejarah adalah Allah, maka pandangan ini mengukir kebenaran bahwa Allah adalah Dia yang menyejarah. Allah menguasai atas seluruh hidup manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan berziarah menuju Allah. Konsep atau gambaran tentang Allah dari pengalaman hidup orang-orang di Yerusalem, dapat disimpulkan bahwa Allah sebagai pencipta, penyelamat, dan sebagai dasar serta tujuan dari peziarahan hidup manusia. Dialog filsafat teologi dalam Agustinus bermuarah di dalam iman. Iman yang sepenuhnya merupakan anugerah Tuhan, iman yang diperolehnya dari Sang Pewarta (Yesus Kristus) dan iman akan Sang Pewarta sendiri.[5]  

 

St. Agustinus memberikan gambaran tentang Allah yang menarik. Agustinus mengambarkan Allah berdasarkan pengalaman dan isi hatinya kepada Allah. Agustinus memberikan kesaksian bahwa kebenaran sejati hanya menyatukan diri dengan Allah. Dari pengalaman Agustinus ini, menggambarkan bahwa manusia adalah peziarah, pencari kebenaran, dan tidak akan tenang sebelum bersatu dengan Sang kebenaran itu sendiri. Peziarahan merupakan satu eksistensi dari manusia. Manusia terus bergerak dan berziarah sepanjang hidup untuk mencari kebenaran. Manusia belum bisa menyimpulkan gambaran yang pasti tentang Allah selama berziarah di bumi. Allah sendiri tidak dialami. Manusia memahami dan menyatu dengan Allah ketika manusia hidup diakhirat. Pengalaman itu bukanlah gambaran yang nyata, melainkan hanya sekedar pikiran dan perasaan dari setiap orang akan Allah. Manusia mengenal Allah secara nyata dan penuh ketika manusia hidup bersama Allah di akhirat. Agustinus memberikan gambaran bahwa hidup bersama Allah selalu tersedia segala kebutuhan manusia. Allah tidak pernah kekurangan dalam hal apa pun. Oleh karena itu, Agustinus mengajak manusia untuk memiliki kerinduan untuk menyatukan diri dengan Allah. Karena dalam diri Allah selalu ada terang kebenaran, kasih, kedamaian, cinta, kebahagiaan, keindahan, dan kepenuhan spiritual. 

 

Allah Sang Cinta

 

Allah merupakan Sang Cinta. Dalam diri Allah ada kepenuhan cinta. Manusia berziarah untuk menemukan cinta itu. Manusia akan menemukan Sang Cinta itu jika manusia terus mencari dan berusaha untuk menemukan Sang Cinta itu. Tentunya hal ini membutuhkan suatu sikap kerendahan hati. Sikap rendah hati merupakan fondasi utama untuk berjumpa dan mengalami Sang Cinta itu. Sang Cinta itu selalu berziarah dalam diri manusia hanya terkadang manusia kurang memahami kehadiran Sang Cinta itu. Mengapa? Karena jiwa dan batin manusia dipenuhi dengan hal-hal duniawi, sehingga sulit untuk mengalami Sang Cinta itu. Ini adalah realitas yang terjadi di zaman sekarang. Kehidupan manusia di zaman sekarang banyak tawaran. Entah itu tawaran yang menarik maupun yang kurang menarik. Namun pada umumnya manusia lebih suka memilih tawaran yang menarik ketimbang tawaran yang kurang menarik. Manusia cenderung mencari hal-hal yang bersifat menarik. Manusia tidak mau disakiti atau tidak mau disibukkan dengan hal-hal yang kurang menarik. Letak kelemahan manusia adalah kurang mengendalikan diri dengan hal-hal duniawi, sehingga sulit untuk menemukan Sang Cinta itu. Manusia akan mampu menemukan Sang Cinta itu jika manusia mau mentransformasi diri. Mentransformasi diri yang dimaksudkan di sini adalah bersedia untuk memulai suatu hidup baru. Manusia akan mencapai tingkat ini jika ada kesadaran dan kemauan yang berasal dari diri sendiri. Unsur utama untuk menemukan Sang Cinta adalah berziarah dan terus berziarah.

 

Cinta adalah itu yang dirindukan semua orang. Segala manusia merindukannya, mengharapkannya jatuh bangun tidak ada yang dikecualikan, dari zaman kapan pun cinta adalah kerinduan manusia. Cinta identik dengan kehidupan itu sendiri.[6]  

 

Armada rinyanto menggambarkan dengan sangat spesifik bahwa cinta merupakan salah satu esensi kebutuhan dalam hidup manusia. Semua manusia mempunyai keinginan mencintai dan ingin dicintai oleh sesamanya.  Cinta itu bisa diidentikan dengan hubungan yang sehat dan penuh kasih mesrah antara manusia dengan alam. Cinta itu juga memberikan semangat dan motivasi dalam hidup manusia. Dengan adanya cinta, manusia dapat melakukan dan menerima segala sesuatu dengan penuh hati. Cinta juga mendorong manusia untuk semangat dalam bekerja, belajar, berdialog, dan lain sebagainya. Tentu semua tindakan itu dilakukan karena didorong oleh perasaan cinta.

 

Armada Riyanto ingin mengafirmasikan bahwa pada umumnya semua manusia merindukan cinta. Manusia mempunyai keinginan untuk mencintai dan ingin dicintai. Namun terkadang ekspektasi manusia tidak sesuai dengan realita. Mengapa demikian? Karena manusia hanya bermimpi dan memiliki konsep yang sangat jauh dan kurang merealisasikan ekspektasi tersebut sehingga banyak manusia gagal untuk mencapai tujuan yang sejati.  Jika manusia ingin dicintai maka pertama-tama manusia harus mencintai diri sendiri terlebih dahulu, lalu kemudian mencintai sesama, dan Tuhan. Indikasi bahwa manusia mengalami cinta adalah gembira dan sukacita. Manusia mampu mengalami kegembiraan dan sukacita jika ada pengorbanan dan kesetiaan. Cinta tanpa pengorbanan pada hakikatnya akan hampa. Cinta akan terwujud jika ada pengorbanan yang total. Jika manusia ingin mencintai Tuhan maka manusia harus rela berkorban dan setia melaksanakan tugas dengan total dan penuh sukacita.

 

Plato merefleksikan cinta secara lebih halus. Orang yang mencintai adalah orang yang menyatukan diri. Cinta itu energi yang menyatukan. Karena cinta jiwa mencari pasangannya (soul mate). Lukisan platonian adalah demikian, bila orang jatuh cinta, keinginan yang terdalam adalah penyatuan jiwa. Di atas segala kecantikan atau kemolekan fisik, cinta adalah perkara jiwa. Cinta sejati memiliki karakter transcendental. Maksudnya, kesatuan yang dirindukan bukan kesatuan fisik melainkan menyeberangi realitas fisik keabadian. [7]

 

Plato menjelaskan dengan sangat jelas bahwa cinta itu bukan soal seks, yang dapat dipandang sebagai kebutuhan fisik semata-mata. Cinta itu jauh lebih dalam karena berhubungan dengan penyatuan diri baik dengan Allah maupun dengan sesama. Cinta yang menyatukan diri itu dibangun atas dasar kebaikan dan kasih yang ada dalam diri. Cinta identik dengan kehidupan itu sendiri. Cinta membutuhkan kasih dan perhatian yang lebih mendalam. Kasih dan perhatian merupakan hakikat dari cinta itu sendiri. Cinta bukan soal harta dan kekayaan tetapi soal bagaimana menyatukan diri dengan cinta itu. Zaman sekarang banyak kaum remaja jatuh dalam hal cinta. Mengapa demikian? Karena mereka kurang memaknai cinta dengan baik sehingga mereka jatuh dalam cinta yang hanya bersifat sementara artinya hanya mencari kepuasaan fisik dan kepuasan diri. Namun plato mengatakan bahwa bukan itu yang dimaksudkan dengan cinta. Cinta yang dimaksudkan oleh Plato adalah cinta yang menyeluruh dan datang dari diri sendiri.

 

Cinta bukan soal seks dan fisik. Tetapi lebih dari itu adalah cinta yang bersifat menyatu dengan diri. Hidup tanpa cinta seperti makan sayur tanpa garam. Manusia selalu membutuhkan cinta dan cinta yang dimaksudkan di sini adalah cinta yang total. Maka untuk mencapai itu, manusia harus selalu berziarah dan terus berziarah untuk menemukan Sang Cinta yang sejati. Peziarahan hidup manusia adalah peziarahan untuk mewujudkan cinta kepada sesama dan kepada Allah. Dengan mewujudkan cinta, manusia dapat menyelami hati sesamanya dan merasakan kehadiran Tuhan. Cintalah yang mampu menumbuhkan kesadaran baru dalam diri manusia. cinta membuka mata hati manusi dalam berpikir bahwa sesama manusia adalah hadiah terindah dari Allah. Cinta mampu menumbuhkan kesadaran manusia untuk saling menghormati dan saling menghargai sesama manusia. Cinta menjadikan peziarahan hidup menuju Allah yang disebut sebagai Sang Cinta itu sendiri.

 

Cinta itu indah, karena di dalamnya manusia berada dalam lautan makna. Cinta memungkinkan manusia memeluk bintang dan bulan. Dan, ia tidak melepaskannya. Ia seperti terbang di ketinggian keindahan. Ia membiarkan diri terdampar di ketinggian itu. karena cinta manusia tampil bagai matahari, bercahaya. Ia bersinar di sekelilingnya. [8]

 

Manusia akan mengalami keindahan cinta jika manusia memaknai cinta itu dengan baik dan benar. Keindahan cinta itu hanya terletak pada diri manusia. Manusia adalah pencipta keindahan cinta itu sendiri. Jika manusia salah memaknai cinta itu maka keindahan cinta itu akan hilang dan tidak ada nilai. Cinta itu bukan sebatas teori, tetapi menemukan arti yang lebih mendalam dan diwujud nyatakan dengan tindakan yang baik. Cinta memampukan manusia untuk bersandar pada kehendak Allah dalam seluruh peziarahan hidup.

 

 Makna Peziarahan

 

               Dalam sebuah perjalanan tentu ada banyak pengalaman yang dialami oleh setiap manusia. Manusia mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Pengalaman-pengalaman itu kemudian mendorong manusia untuk menemukan sebuah makna di balik itu. Makna peziarahan terletak pada pengalaman manusia. Makna peziarahan yang sejati hanya terungkap lewat pengalaman manusia. Setiap pengalaman tentu mempunyai makna dan maksud tersendiri tergantung dari setiap manusia yang memaknainya. Namun makna sejati dari peziarahan manusia adalah kebahagian dan kesejahteraan. Inilah makna sejati dari sebuah peziarahan. Sebuah peziarahan akan bermakna jika manusia memaknai setiap pengalaman dengan baik dan benar. Memaknai pengalaman yang baik dan benar yang dimaksudkan di sini adalah melihat pengalaman baik suka maupun duka sebagai bagian dari sebuah peziarahan hidup. Letak makna kebahagian akan terlihat dan terwujud ketika manusia memiliki konsep yang baik mengenai setiap pengalaman yang dialami. Makna peziarahan akan terealisasi apabila manusia sungguh-sungguh menaruh perhatian pada pengalaman hidup. Pengalaman ini yang akan membawa manusia untuk menemukan makna peziarahan yang sejati. Pada umumnya makna peziarahan adalah menemukan kebahagiaan dan sukacita dalam hidup.

 

Kekerasan Manusia 

 

            Kamis, (21/11/2019), Paus Fransiskus mendesak semua pihak untuk mengambil lebih banyak upaya untuk memerangi penghinaan pada perempuan dan anak-anak, terutama mereka yang dipaksa menjadi pelacur dan menjadi korban jaringan perdagangan manusia. Paus dalam kunjungan ke Thailand negara yang juga dikenal parawisata seksnya, dengan lugas mengatakan, kekerasan, pelecehan, dan perbudakan terhadap mereka adalah kejahatan yang harus dihentikan.[9] 

 

Paus Fransiskus menegaskan untuk memberhentikan tindakan ini karena tindakan ini tidak sesuai dengan perilaku moral manusia. Paus melihat bahwa tindakan ini sangat memprihatikan seolah-olah manusia dijadikan sebagai barang yang diperjual belikan. Padahal manusia memiliki moral yang sungguh dijunjung tinggi. Namun dalam realitasnya tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan oleh semua orang. Paus melihat hal ini sebagai perilaku yang sangat merugikan manusia. Paus menegasakan untuk memberhentikan tindakan ini karena ia ingin agar manusia dicintai seperti Tuhan mencintai umat-Nya.  Peziarahan hidup manusia di zaman sekarang banyak tawaran. Banyak tawaran yang sungguh menarik dan pada umumnya manusia lebih suka pada hal yang menarik. Sehingga tidak mengherankan banyak kaum remaja jatuh dalam pergaulan bebas. Paus menegaskan supaya manusia mencintai sesama dan memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Ia tidak mau manusia hidup dalam kesesatan.

 

Ia ingin semua manusia diperlakukan dengan adil dan penuh cinta. Kekerasan manusia terjadi di zaman sekarang karena banyak orang menggunakan otoritas untuk merusak dan menghancurkan masa depan sesama. Pikiran hanya dikuasai dengan pikiran yang buruk dan jahat. Ini adalah realitas yang terjadi di saat ini. Paus sarankan supaya manusia tetap teguh dan terus berziarah menuju Sang Cinta sebagai tujuan hidup sejati.  Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Esensi dari manusia adalah memiliki akal budi. Akal budi merupakan satu indrawi manusia yang membuka hati dan pikiran manusia untuk berjalan pada jalan yang benar. Namun dalam kenyatannya manusia kurang menggunakan akal budi itu dengan efektif. Mengapa demikian? Karena hati dan pikiran manusia dipenuhi dengan pikiran yang busuk.

 

  Penutup

 

Peziarahan merupakan esensi dari manusia. Manusia berziarah untuk menciptakan sejarah hidupnya dengan Allah. Peziarahan manusia bukan untuk mengejar hal yang menyenangkan. Manusia berziarah untuk berelasi dengan Allah. Manusia tinggal dalam kehendak Allah dan hidup di bawah bimbingan Allah. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukan sendiri orientasi hidupnya. Allah yang menyejarah seluruh peziarahan hidup manusia. Allah merupakan awal dan tujuan dari peziarahan manusia.

 

Cinta menjadi kebutuhan dasar manusia dalam berziarah kepada Allah. Peziarahan manusia juga menjadi peziarahan mengejar cinta Allah. Allah merupakan kepenuhan cinta. Maka, manusia perlu tinggal dalam Allah untuk memahami cinta. Sebab cinta Allah bisa menyatukan segalanya baik terhadap Allah sendiri, sesama manusia dan dengan alam sekitar. Cinta juga mampu menumbuhkan perasaan bahagia manusia dengan Allah. Tujuan manusia berziarah adalah untuk mencari kebahagiaan dan sukacita. Kebahagiaan dan sukacita itu hanya dialami lewat peziarahan hidup. Peziarahan merupakan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dari peziarahan itu akan terjadi perjumpaan antara manusia dengan Sang Cinta. Sang Cinta itu hadir kapan dan dimana pun hanya terkadang manusia sulit untuk memahami kehadiran-Nya. Manusia akan mampu mengalami Sang Cinta itu jika manusia terus-menerus berziarah.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Riyanto Armada, Menjadi-Mencintai. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

 

Barry A. Wiliam, Menemukan Tuhan dalam Segala Sesuatu, Yogyakarta: Kanisius, 2002. 

 

Riyanto, Armada, "Dialog Filsafat Teologi: Perspektif Beriman Dialogal." Diktat Pengantar Filsafat STFT Widya Sasana.

 

Rasfan, Mohd, "Paus Kecam Eksploitasi Perempuan," Kompas, Jumat, 22 Desember 2019.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun