Pada suatu hari Ingnasius dari Loyola menyadari bahwa ia merasakan pengalaman yang berbeda dari dua lamunannya itu. setelah lamunannya yang pertama ia merasa sedih dan kesal, tetapi ketika ia selesai melamunkan dirinya sebagai pengikut Kristus, ia merasakan sukacita dan puas. Ia menyimpulkan bahwa cita-citanya untuk mengikuti Kristus didorong oleh roh kebaikan, sedangkan cita-citanya untuk menjadi ksatria didorong oleh roh kejahatan.[2]
Â
Kisah Ignasius dari Loyola menggambarkan suatu pengalaman yang menarik bagaimana ia jatuh bagun dalam membangun relasi dengan Allah yang intim. Dalam membangun relasi dengan Allah, ia mengalami banyak pergulatan dan tantangan. Namun, dalam situasi seperti itu ia terus berusaha dan berjuang untuk mengalahkan pergulatan dan tantangan itu. Usaha dan perjuangannya bukan semata-mata dari dirinya sendiri tetapi ia sungguh meletakan segala niat baiknya kepada kehendak Tuhan. Pengalaman Ingnasius membangun relasi dengan Allah membuahkan hasil yang mengembirakan yakni bertobat dan kembali pada jalan Tuhan. Manusia di zaman sekarang sulit untuk membangun relasi dengan Allah. Salah satu indikasinya adalah karena manusia di zaman sekarang memusatkan hidupnya pada kesenangan duniawi, sehingga ketika mengalami tantangan dan kesulitan mudah putus asa dan mudah lari dari tanggung jawab. Situasi hidup di zaman sekarang menuntut suatu komitmen yang sungguh-sungguh. Hidup tanpa komitmen pada dasarnya akan hampa dan tidak ada nilai yang dipetik. Untuk mencapai titik tujuan maka yang dibutuhkan adalah usaha dan komitmen. Kedua hal ini sungguh menjadi dasar untuk membangun relasi dengan Allah. Pengalaman berelasi bersama Allah akan membawa manusia pada tujuan hidup yang sejati. Tujuan hidup manusia yang sejati adalah kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapai hal ini, maka butuh pengorbanan dan usaha yang keras.
Â
Pengalaman subjektif adalah perpaduan kompleks antara pengetahuan dan subjektivitas. Dan itu memberi nilai tersendiri untuk sebuah kebenaran pengetahuan. Apakah aku tahu sesuatu? Sejauh aku belum bersentuhan dengan nilai yang mengedepankan pengalaman manusiawi, pengetahuanku hanyalah pengulangan frase, rumusan hipotesis, dan formal saja. Pengalaman manusiawi kerap menjadi paradigma dan gramatika dari sebuah riset yang memproduksi ilmu baru.[3]
Â
 Ini adalah satu gambaran bagaimana manusia hendak mencermati dan memaknai setiap pengalaman dengan baik dan benar. Armada Riyanto hendak menegaskan hal ini karena lewat pengalaman itu manusia mampu memperoleh pengetahuan yang nilai kebenarannya absolut. Pengalaman itu melibatkan seluruh panca indra manusia serta produk dari ratio manusia itu sendiri. Pengalaman itu bukan disebabkan oleh obyek melainkan dialami atau dilakukan oleh subyek itu sendiri. Ibaratnya dari subyek untuk subyek itu sendiri. Porsi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman itu tergantung dari subyek itu sendiri. Obyek tidak bisa memberikan penilaian terhadap porsi pengetahuan yang diperoleh dari subyek atau pelaku. Dengan demikian, pengalaman perlu menciptakan peristiwa yang harus dimaknai oleh setiap manusia yang mengalaminya. Pengalaman-pengalaman yang dialami setiap manusia tentu berbeda-beda. Setiap manusia unik dan indah, semata karena pengalamannya. Pengalaman-pengalaman yang unik bukan atas dasar kreativitas manusia semata, melainkan sebuah anugerah istimewa dari Allah. Anugerah inilah yang kemudian mengantar manusia untuk mengalami kasih dan kebaikan Tuhan yang sejati.
 Siapa itu Tuhan?Â
Â
         Allah tentu tidak bisa didefenisikan melalui suatu ide atau pengertian yang abstrak. Konsep tentang siapakah Allah selalu dirangkum dari berbagai pengalaman relasi manusia dengan Allah. Misalkan pemazmur berkata, Allah adalah gunung batuku, Allah adalah perisaiku. Konsep atau gambaran tentang Allah itu tergantung posisi dari pemazmur. Dia memberikan gambaran tentang Allah sesuai dengan pengalaman saat itu. Maka tidak heran kalau setiap manusia memberikan konsep atau gambaran tentang Allah yang berbeda-beda. Mengapa demikian? Karena setiap manusia memiliki pengalaman tentang Allah yang berbeda. Dan itulah yang akan memberikan defenisi tentang siapakah Allah bagi manusia. Dialog filsafat teologi tentu merangkul juga perdebatan mengenai siapakah Allah bagi munusia. Dialog filsafat teologi berziarah dan mencari jawaban tentang Allah. Ada begitu banyak jawaban yang diuraikan dari peziarahan itu. Dari uraian itu kita dapat menemukan jawaban bahwa Allah adalah Allah yang berziarah dan menyejarah dalam hidup manusia. Manusia hanya mengalami kehadiran Tuhan lewat peziarahan dan relasi yang intens.
Â