Mohon tunggu...
Y
Y Mohon Tunggu... Administrasi - -

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Amsal 1:8-9 | Yepta Simorangkir

12 Oktober 2019   00:41 Diperbarui: 12 Oktober 2019   00:48 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amsal 1:8-9

Yepta Simorangkir

Di dalam kehidupan zaman modern di abad 21 ini, kebanyakan orang-orang di usia muda sangat memperhatikan bagian kehidupan mengenai nama, harga diri, ketenaran, 'dipandang baik/tidak baik' oleh orang lain, memiliki reputasi yang baik atau tidak, relasi yang berkelas atau tidak, dan masih banyak lagi.  

Saya juga lahir di zaman ini, tepat di awal abad 21 ini, di mana saya sudah menjalaninya sekitar 19 tahun 10 bulan dalam hidup saya. Yang saya lihat dalam kehidupan manusia-manusia muda se-iring kehidupan saya berjalan ini adalah kecenderungan akan hal-hal seperti yang saya sebutkan tadi. Tidak jarang juga saya sendiri termasuk di dalam praktik seperti itu.

                   Banyak hal yang mempengaruhi kecenderungan tersebut, entah itu memang sudah bawaan dari lahir (natur) bagi seseorang tersebut, entah itu dari pengaruh 'tuntutan' sosial, ekonomi, bahkan budaya, dan keluarganya mungkin. Untuk saat ini yang saya lihat kebanyakan yang memengaruhinya adalah lingkungan sosial. Kebanyakan anak-anak muda yang saat ini ingin memperoleh nama yang baik dan berpredikat bagus di mata teman-teman, saudara, keluarga, guru, terutama biasanya -- lawan jenis mereka.

                   Hal mengenai menginginkan nama baik, menurut saya tidak hanya terjadi pada zaman modern ini saja, tetapi sudah menjadi 'kebutuhan' juga bagi manusia muda di zaman dahulu, termasuk pada zaman Ibrani kuno, di zaman Perjanjian Lama.

                   Saya pernah membaca sebuah Bible Commentary -- khususnya  mengenai kitab Amsal. Di mana buku itu mengatakan bahwa pada zaman dahulu orang-orang muda Israel menginginkan sebuah perhiasan di leher yang terbuat dari emas atau bahan mulia lainnya. Perhiasan ini pada zaman itu dianggap menaikkan predikat anak muda itu, dan dianggap baik oleh orang lain. Sehingga pada zaman itu, anak-anak muda berlomba untuk mendapatnya, demi menaikkan predikat mereka.

                   Demikian di Amsal 1:9 berbunyi: "... sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu." . Di ayat ini terlihat bahwa penulis kitab ini sedang menjelaskan akibat dari sebuah tindakan. Hal ini bisa kita lihat dari kata 'sebab' pada awal ayat itu.

                   Nah, untuk melihat latar belakang dari kata 'sebab' itu, maka kita akan melihat ke ayat sebelumnya -- Amsal 1:8 yang berbunyi: "Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu... ". 

                   Setelah kita sudah melihat hubungan dari kedua ayat ini, maka terlihatlah dengan jelas dan sederhana bahwa kalau kita sebagai anak mendengarkan didikan orang tua, hal itu akan menjadi 'karangan bunga dan perhiasan yang indah' bagi leher kita. Sederhananya adalah seperti itu. Namun kalau kita belajar lebih jauh lagi mengenai pesan yang boleh kita ambil dari ayat ini, maka ada beberapa pembelajaran yang akan kita dapatkan. Kita akan belajar sedikit mengenai fakta dan latar belakang kitab Amsal

                   Saya rasa, secara umum  masing-masing kita setidaknya sudah tahu mengenai penulis dari kitab ini -- ya, benar, Salomo. Namun memang keseluruhan kitab ini tidak hanya Salomo saja yang menuliskannya, tapi ada Agur juga, dan Lamuel pada bagian akhir.

        Salomo menulis kitab ini pada masa awal pemerintahannya sebagai raja. Tujuan dari kitab ini sendiri dengan jelas bisa kita lihat dalam pasal 1:2-7 mengenai hikmat dan pengertian, mengenai perilaku yang bijak, kebenaran, keadilan, dan kejujuran, sehingga orang yang tidak berpengalaman dapat menjadi orang bijak, kaum muda dapat memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan, dan orang bijak bisa menjadi lebih bijak lagi.

        Dengan demikian, secara keseluruhan dan secara umum saya melihat tema dari kitab Amsal ini adalah mengenai pedoman, nasihat, dan petunjuk untuk hidup dengan bijaksana. Kata 'bijaksana' sendiri perlu kita ketahui maksud sebenarnya. 

Saya pernah membaca sebuah buku yang mengatakan: "The word 'wisdom' in the Scriptures means the ability to use knowledge aright". Jadi, Kata 'kebijaksanaan' dalam Alkitab artinya adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dengan benar". 

Karena banyak orang yang mempunyai pengetahuan (knowledge), namun tidak mengerti menggunakannya di dalam praktek kehidupannya dengan benar. Itu adalah sedikit mengenai tema dari kitab Amsal yang saya simpulkan.

Nah, kembali kepada Pasal 1:8 dan 9 ini. Di ayat ini saya melihat ada suatu perintah yang sedang dilayangkan oleh penulis kepada 'anaknya'. Namun di Alkitab Terjemahan Indonesia dari LAI hanya diterjemahkan sebatas 'dengarkanlah'. 

Setelah saya mempelajari sedikit mengenai bahasa Ibrani, dan saya coba melihat kata ini ke dalam bahasa aslinya, saya menemukan bahwa kata aslinya adalah  (shama), yang dalam Strong Dictionary artinya adalah: to hear intelligently (often with implication of attention, obedience, atau berimplikasi perhatian dan kepatuhan/ketaatan. Namun yang saya garis-bawahi di sana adalah mengenai perhatian dan kepatuhan/ketaatan.

        Jadi ayat 8a ini sedang memberikan command kepada 'anak' untuk [mendengar] dengan perhatian dan taat/patuh kepada 'didikan' ayahnya. Kata 'didikan' di ayat ini juga saya lihat ke dalam bahasa Ibrani, dan saya menemukan bahwa kata aslinya adalah  (musar), yang dalam Strong Dictionary artinya adalah: properly chastisement; figuratively reproof, warning or instruction; also restraint: - bond, chastening ([-eth]), chastisement, check, correction, discipline, doctrine, instruction, rebuke, atau dalam bahasa Indonesia: hukuman yang tepat; teguran, peringatan atau instruksi kiasan; juga menahan: - ikatan, menghukum , hukuman, pemeriksaan, koreksi, disiplin, doktrin, instruksi, teguran. Yang saya garis-bawahi di sana juga adalah mengenai hukuman, disiplin, instruksi, dan teguran. Di mana ayat ini menurut saya tidak hanya sekedar berbicara 'didikan' ayah saja, namun termasuk juga di dalamnya adalah hukuman, pendisiplinan, instruksi, dan teguran-teguran dari seorang ayah.

        Dalam ayat 8a ini juga, yang disebut 'anakku' oleh Salomo bukan sedang berbicara anak kandung Salomo, namun pada tradisi saat itu berbicara lebih kepada hubungan antara guru dengan murid, bukan antara orang tua dengan anak.  

        Dari ayat 8a ini kita bisa melihat bahwa seperti yang saya bilang sebelumnya, bahwa salah satu tujuan dari kitab Amsal ini adalah agar kaum muda seperti kita bisa memperoleh kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan artinya tadi adalah mengenai 'melakukan pengetahuan kita dengan baik dalam kehidupan', atau dengan kata lain 'aplikasi dari knowledge atau pengetahuan kita' -- terutama mengenai pengetahuan akan Firman Tuhan. Firman Tuhan yang ada dalam Amsal 1:8a ini khususnya harusnya kita bisa aplikasikan dengan bijaksana melalui penjabaran saya tadi bahwa kita harus menaruh pendengaran, perhatian, dan ketaatan kita kepada didikan orang tua (ayah) kita. Walaupun mungkin 'didikan' itu berupa teguran, disiplin, koreksi, dan bahkan hukuman.

        Karena yang dilakukan oleh orang tua (ayah) kepada anaknya pada umunya pasti bertujuan untuk kebaikan, baik itu kebaikan anaknya, maupun kebaikan bagi orang yang lain secara tidak langsung melalui perbuatan anaknya itu.

        Di saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya punya seorang teman yang sering disebut sebagai anak yang 'nakal' oleh guru-guru di sekolah itu. Rumah dia dengan saya cukup dekat, sehingga kita terbiasa bermain bersama sebagaimana anak-anak seumuran SD. Dia sering datang ke rumah saya sekedar bermain, saya juga sebaliknya.  Dengan demikian saya sering melihat aktivitas di dalam rumah mereka, dan dia juga sebaliknya. Suatu hari sepulangnya dari sekolah, kami pergi kami terlebih dahulu ke rumah si teman ini. Sebelumnya, di pagi harinya, dia terkena teguran dari guru akibat ulahnya tidak mengerjakan tugas. Setibanya di rumahnya, guru yang menghukum dia ternyata sudah memberitahukan kepada orang-tuanya mengenai kesalahan anak itu. Akhirnya ketika kami tiba di rumahnya, ayah dari anak ini menegaskan kepada dia supaya tidak pergi keluar dan bermain seperti yang biasa dilakukannya, tapi harus belajar dengan ekstra di rumahnya. Besoknya kami kembali lagi dari sekolah, dan dengan kasus yang sama lagi. Namun kali ini ayahnya mulai menampar dia dengan tangan.

         Dalam mendidik, tentu tidak hanya satu saja metode yang dapat digunakan, ada banyak metode dan bentuk yang biasanya digunakan atau 'harus' digunakan. Seperti teguran misalnya. Bisa saja dalam mendidik anaknya, seorang ayah mendidik dia dengan menegur anaknya akan kesalahan yang dia buat. Kemudian di waktu yang lain, ketika anaknya melakukan kesalahan yang lain, si ayah mungkin mendidiknya dengan memberikan disiplin. Kemudian, pada saat yang lain lagi, sang anak melakukan kesalahan yang berbeda atau mungkin kesalahan yang berulang-ulang, maka akhirnya si ayah mendidik dia dengan cara menghukumnya. Semua bentuk didikan ayah itu tentu mempunyai kondisi dan situasi tersendiri. Mungkin saja dipengaruhi oleh tingkat kesalahan si anak, atau hal lain. Namun terlepas dari itu semua, kita harus ingat bahwa Firman Tuhan di alkitab juga mengatakan : Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu, kepadamu. (Kejadian 20:12).

        Kemudian kita kembali lagi ke ayat 8, bagian b dikatakan: "...jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu...". Kata 'menyia-nyiakan' dalam Terjemahan Baru dari LAI ini saya lihat di bahasa asli adalah  (natash), yang dalam Strong Dictionariy antara lain artinya adalah: forsaken, loose. Atau dalam bahasa Indonesia: meninggalkan, melepaskan.  

        Salah satu cerita rakyat yang saya sering dengar adalah tentang Malin Kundang. Saya kira kita semua juga sudah pernah dengar cerita rakyat ini. Di mana diceritakan seorang anak yang sudah dewasa dan memutuskan untuk pergi mencari nafkah ke kota. Ketika dia masih tinggal dengan ibunya, dia adalah anak yang dengar-dengaran dengan ibunya, sampai ibunya memberangkatkan dia pergi merantau. Namun saat dia sudah menjadi orang kaya dan berhasil, dia tidak mengingat lagi apa nasehat-nasehat ibunya bahkan ketika ibunya memberangkatkan dia. Dan yang paling parah, dia tidak mengakui ibunya lagi sebagai ibu kandungnya.

        Contoh yang tidak baik dari cerita Malin Kundang ini sudah jelas kita tahu. Dan yang terlihat dari sana adalah ketika dia sudah dewasa, berhasil, kaya, mendapatkan mimpinya, dia melupakan, meninggalkan, dan menyia-nyiakan ajaran ibunya selama ketika dia masih bersama ibunya.

        Hal seperti inilah yang ditentang sama sekali oleh Amsal 1:8. Ayat ini mengingatkan supaya tidak sampai melakukan hal demikian.  Ketika orang-orang semakin dewasa, kecenderungannya adalah menganggap nasehat-nasehat dari ibunya (orang tuanya) sebagai sesuatu yang kolot, basi, tidak relevan, dan tidak up-to-date kalau untuk sekarang ini. Kebanyakan anak semakin mengabaikan dan melupakannya, menganggap dirinya sendiri sudah bisa mengerti menjalani hidup dengan metode sendiri. Namun yang Firman Tuhan mau adalah kita tidak menanggalkannya sama sekali, tetap mengenakannya dan hidup di dalamnya sampai kemudian dilanjutkan di ayat 9 : "...sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu." Yakni semua didikan, arahan, teguran, disiplin, bahkan hukuman yang kita dengar dengan seksama, lakukan, hargai, dan yang tetap kita jaga itu menjadi menghiasi kehidupan kita, memperindah kehidupan kita.

        Jadi, sebagai anak muda, anak muda yang rentan sekali dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hidup, Firman Tuhan di kitab Amsal melalui penulisnya Salomo telah menunjukkan dengan jelas apa dan bagaimana harusnya kita berbuat dan berkelakuan dalam kehidupan kita.

        Terkhususnya dari Pasal 1:8-9 ini kita diajarkan agar dengar-dengaran, memperhatikan, patuh, taat, dan melakukan segala didikan yang orang tua kita berikan. Adapun mungkin bentuk dari didikan itu bermacam-macam, kita harus paham apa sebenarnya tujuan dari didikan tersebut untuk kebaikan hidup kita.

        Orang tua yang dimaksud di sini juga tidak hanya sebatas orang tua kandung saja, bisa juga hubungan antara dosen dengan mahasiswa, guru dengan murid, mentor dengan adik mentor, senior dengan junior, kakak dengan adik, bahkan antar sesama juga prinsipnya sama. Namun yang saya tekankan adalah mengenai didikan dalam orang tua kita. Bagi saudara-saudari yang masih dikaruniai orang tua yang lengkap, alangkah patutnya untuk bersyukur, sebab masih bisa mendengar, mendapat, dan mengalami didikan-didikan dari kedua orang-tua kita. Semakin sering kita berpengalaman dalam didikan kedua orang-tua yang masih ada, semakin banyak nilai kehidupan yang bisa kita dapatkan, dan semakin mulialah 'karangan bunga di kepala kita' dan 'kalung di leher kita'. Maka apa yang kita cari selama masa muda ini mengenai pertanyaan-pertanyaan hidup terjawablah sudah, dengan adanya tuntunan dari Firman Tuhan yang hidup dan membangun, sebab 2 Timotius 3:16 berkata: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran."

Tuhan Yesus memberkati, Shaloom !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun