Mohon tunggu...
Y
Y Mohon Tunggu... Administrasi - -

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Amsal 1:8-9 | Yepta Simorangkir

12 Oktober 2019   00:41 Diperbarui: 12 Oktober 2019   00:48 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

         Dalam mendidik, tentu tidak hanya satu saja metode yang dapat digunakan, ada banyak metode dan bentuk yang biasanya digunakan atau 'harus' digunakan. Seperti teguran misalnya. Bisa saja dalam mendidik anaknya, seorang ayah mendidik dia dengan menegur anaknya akan kesalahan yang dia buat. Kemudian di waktu yang lain, ketika anaknya melakukan kesalahan yang lain, si ayah mungkin mendidiknya dengan memberikan disiplin. Kemudian, pada saat yang lain lagi, sang anak melakukan kesalahan yang berbeda atau mungkin kesalahan yang berulang-ulang, maka akhirnya si ayah mendidik dia dengan cara menghukumnya. Semua bentuk didikan ayah itu tentu mempunyai kondisi dan situasi tersendiri. Mungkin saja dipengaruhi oleh tingkat kesalahan si anak, atau hal lain. Namun terlepas dari itu semua, kita harus ingat bahwa Firman Tuhan di alkitab juga mengatakan : Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu, kepadamu. (Kejadian 20:12).

        Kemudian kita kembali lagi ke ayat 8, bagian b dikatakan: "...jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu...". Kata 'menyia-nyiakan' dalam Terjemahan Baru dari LAI ini saya lihat di bahasa asli adalah  (natash), yang dalam Strong Dictionariy antara lain artinya adalah: forsaken, loose. Atau dalam bahasa Indonesia: meninggalkan, melepaskan.  

        Salah satu cerita rakyat yang saya sering dengar adalah tentang Malin Kundang. Saya kira kita semua juga sudah pernah dengar cerita rakyat ini. Di mana diceritakan seorang anak yang sudah dewasa dan memutuskan untuk pergi mencari nafkah ke kota. Ketika dia masih tinggal dengan ibunya, dia adalah anak yang dengar-dengaran dengan ibunya, sampai ibunya memberangkatkan dia pergi merantau. Namun saat dia sudah menjadi orang kaya dan berhasil, dia tidak mengingat lagi apa nasehat-nasehat ibunya bahkan ketika ibunya memberangkatkan dia. Dan yang paling parah, dia tidak mengakui ibunya lagi sebagai ibu kandungnya.

        Contoh yang tidak baik dari cerita Malin Kundang ini sudah jelas kita tahu. Dan yang terlihat dari sana adalah ketika dia sudah dewasa, berhasil, kaya, mendapatkan mimpinya, dia melupakan, meninggalkan, dan menyia-nyiakan ajaran ibunya selama ketika dia masih bersama ibunya.

        Hal seperti inilah yang ditentang sama sekali oleh Amsal 1:8. Ayat ini mengingatkan supaya tidak sampai melakukan hal demikian.  Ketika orang-orang semakin dewasa, kecenderungannya adalah menganggap nasehat-nasehat dari ibunya (orang tuanya) sebagai sesuatu yang kolot, basi, tidak relevan, dan tidak up-to-date kalau untuk sekarang ini. Kebanyakan anak semakin mengabaikan dan melupakannya, menganggap dirinya sendiri sudah bisa mengerti menjalani hidup dengan metode sendiri. Namun yang Firman Tuhan mau adalah kita tidak menanggalkannya sama sekali, tetap mengenakannya dan hidup di dalamnya sampai kemudian dilanjutkan di ayat 9 : "...sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu." Yakni semua didikan, arahan, teguran, disiplin, bahkan hukuman yang kita dengar dengan seksama, lakukan, hargai, dan yang tetap kita jaga itu menjadi menghiasi kehidupan kita, memperindah kehidupan kita.

        Jadi, sebagai anak muda, anak muda yang rentan sekali dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hidup, Firman Tuhan di kitab Amsal melalui penulisnya Salomo telah menunjukkan dengan jelas apa dan bagaimana harusnya kita berbuat dan berkelakuan dalam kehidupan kita.

        Terkhususnya dari Pasal 1:8-9 ini kita diajarkan agar dengar-dengaran, memperhatikan, patuh, taat, dan melakukan segala didikan yang orang tua kita berikan. Adapun mungkin bentuk dari didikan itu bermacam-macam, kita harus paham apa sebenarnya tujuan dari didikan tersebut untuk kebaikan hidup kita.

        Orang tua yang dimaksud di sini juga tidak hanya sebatas orang tua kandung saja, bisa juga hubungan antara dosen dengan mahasiswa, guru dengan murid, mentor dengan adik mentor, senior dengan junior, kakak dengan adik, bahkan antar sesama juga prinsipnya sama. Namun yang saya tekankan adalah mengenai didikan dalam orang tua kita. Bagi saudara-saudari yang masih dikaruniai orang tua yang lengkap, alangkah patutnya untuk bersyukur, sebab masih bisa mendengar, mendapat, dan mengalami didikan-didikan dari kedua orang-tua kita. Semakin sering kita berpengalaman dalam didikan kedua orang-tua yang masih ada, semakin banyak nilai kehidupan yang bisa kita dapatkan, dan semakin mulialah 'karangan bunga di kepala kita' dan 'kalung di leher kita'. Maka apa yang kita cari selama masa muda ini mengenai pertanyaan-pertanyaan hidup terjawablah sudah, dengan adanya tuntunan dari Firman Tuhan yang hidup dan membangun, sebab 2 Timotius 3:16 berkata: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran."

Tuhan Yesus memberkati, Shaloom !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun