Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seiko

1 Februari 2022   14:45 Diperbarui: 1 Februari 2022   14:48 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tentang Seiko. Aku akan berbagi rahasia. 

Aku adalah anak nomor dua dari lima bersaudara. Tetapi setelah ibuku meninggal, saudaraku bertambah lima lagi. Jadi genaplah menjadi sepuluh bersaudara. Setiap perangai kakak dan adikku sangat beragam. Aku tak akan cerita di sini. Mungkin nanti.

Nah, karena bersepuluh itulah, aku harus mengatur strategi agar bapak tak marah saat aku meminta sesuatu. Yups. Saat SMP aku ingin sekali memakai jam tangan, seperti temanku yang lain. Tampak gagah dan mengesankan sebuah kecerdasan. Betapa tidak. Hampir seluruh kegiatan di sekolahku dibatasi oleh waktu. Jam pertama hingga jam paling akhir, dijadwal dengan rapi, dari menit ke menit, dari jam ke jam. Itulah gunanya jam tangan. 

Jam tangan sendiri bukan waktu. Ia hanyalah penanda waktu. Lalu, apakah waktu itu? Suatu kali, guruku bertanya hal yang tidak kami mengerti. Semua siswa terdiam. Kelas tiba-tiba sunyi. Hanya detak jarum jam dinding yang berdetak-detak berirama , konstan.

"Waktu adalah situasi yang membatasi sesuatu, pak Guru!" kata Mosa dengan percaya diri.

Pak Guru tersenyum. "Ada lagi?"

"Kita punya waktu dua puluh empat jam, seribu empat ratus empat puluh menit, dan delapan puluh enam ribu empat ratus detik dalam sehari." Kata sang Kala.

Pak Guru tetap tersenyum. "Ada lagi?"

"Waktu adalah penunjuk yang membedakan siang dan malam, pagi dan petang!" seru Thalia sambil berdiri.

"Waktu adalah ciptaan Sang Khalik, pak Guru!" Tono menimpali sambil keduatangannya menopang dagu dengan gaya slank.

Pak Guru mengangkat tangan kanannya. Thalia dan Tono kembali duduk. Kelas kembali sunyi. "Mari kita dengarkan bersama detak jarum jam mengelilingi porosnya. Masuklah ke alamnya. Jangan dilawan. Biarkan bunyi detaknya menyatu dengan detak jantungmu...!"

...

Kelas masih sunyi. "Cukup!" Kata pak Guru sambil menjetikkan jarinya.

"Kelas hari ini, cukup. Silakan berkemas, berdoa, dan pulang!"

Semua siswa celingukan, saling bertatapan satu sama lain, "Bingung!"

Itulah awal mula aku menyukai bunyi detak jarum jam. Tapi aku tidak punya jam tangan. Sekadar jam bekas pun tidak punya. Tak boleh juga menyalahkan bapak. Karena membiayai sepuluh anak, tentu tidak mudah. Bapak tak punya tabungan milyaran di bank. 

Satu-satunya tabungan yang ia punya adalah lima belas pohon kelapa. Itupun tidak semua hasilnya untuk bapak. Samin, tetangga sebelah rumah, yang juga masih saudara dari ibu, berperan sebagai pemetik nira di lima belas pohon kelapa milik bapak. Bapak hanya mendapatkan separo dari total gula yang dihasilkan. 

Untungnya, bapak bisa berdagang. Jadi, selain punya pohon kelapa sendiri, bapak juga menjadi pembeli gula merah tetangga sekitar. Istilah dalam pembukuan, tengkulak. Tapi, bapak tidak sepenuhnya disebut tengkulak. Sebab, harga gula merah yang bapak beli tidak jauh berbeda dengan harga di pasaran. 

Meski tetap saja, saat menjual gula merah ke penadah yang lebih besar, harganya sudah dinaikkan. Prinsip bapak, tak perlu mengambil keuntungan terlalu besar, yang penting tetangga kita bisa hidup, kita bisa hidup. Begitu kata bapak kepadaku suatu ketika.

Kembali ke kisah jam tanganku. Sepulang dari sekolah, aku petik janur atau daun kelapa, lalu kuanyam menyerupai jam tangan. Pada bagian pegangannya, masing-masing kuikat dengan karet gelang. Tanpa sungkan, aku pasang di pergelangan tangan kiriku. Sejak itulah, jam tangan buatanku tak pernah lepas dari tanganku. Saat tidur, mandi, sekolah, apapun, jam tangan itu selalu kupakai. 

Hampir seminggu lamanya aku pakai, hingga pergelanganku gatal-gatal. Hingga akhirnya, bapak menegurku, "Le, coba tengok di saku tas besar di kamar, ambil dan bawa ke sini!"

Dengan bergegas aku menuju kamar dan mencari-cari apa yang dimaksud bapak. "Yess...!"

Tanpa bertanya, aku langsung robek jam tangan janurku, lalu kuganti dengan jam tangan baru yang dibelikan bapak. Begitulah caraku menarik perhatian bapak. Aku tidak berani minta sesuatu dengan terang-terangan. Aku tahu, bapak tak mungkin mengabulkan semua permintaanku. Juga, tak enak rasanya kalau minta sesuatu di depan kakak dan adik-adikku. Aku menjaga perasaan bapak. Sayangnya, bapak tidak begitu mengerti perasaanku. Itulah yang nanti akan aku ceritakan, semuanya.

Dan, Seiko kini telah menjadi kenangan. Setelah lulus Diploma Dua, Sekolah Pendidikan Guru, setara SMA, aku pulang ke kampung dan mengajar di sana. Seikoku tak pernah kupakai lagi. Tapi, ia sudah menjadi penanda, betapa besarnya cinta bapak kepadaku.

(cerita bapak tentang bapaknya)

Depok, Imlek 2573

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun