...
Kelas masih sunyi. "Cukup!" Kata pak Guru sambil menjetikkan jarinya.
"Kelas hari ini, cukup. Silakan berkemas, berdoa, dan pulang!"
Semua siswa celingukan, saling bertatapan satu sama lain, "Bingung!"
Itulah awal mula aku menyukai bunyi detak jarum jam. Tapi aku tidak punya jam tangan. Sekadar jam bekas pun tidak punya. Tak boleh juga menyalahkan bapak. Karena membiayai sepuluh anak, tentu tidak mudah. Bapak tak punya tabungan milyaran di bank.Â
Satu-satunya tabungan yang ia punya adalah lima belas pohon kelapa. Itupun tidak semua hasilnya untuk bapak. Samin, tetangga sebelah rumah, yang juga masih saudara dari ibu, berperan sebagai pemetik nira di lima belas pohon kelapa milik bapak. Bapak hanya mendapatkan separo dari total gula yang dihasilkan.Â
Untungnya, bapak bisa berdagang. Jadi, selain punya pohon kelapa sendiri, bapak juga menjadi pembeli gula merah tetangga sekitar. Istilah dalam pembukuan, tengkulak. Tapi, bapak tidak sepenuhnya disebut tengkulak. Sebab, harga gula merah yang bapak beli tidak jauh berbeda dengan harga di pasaran.Â
Meski tetap saja, saat menjual gula merah ke penadah yang lebih besar, harganya sudah dinaikkan. Prinsip bapak, tak perlu mengambil keuntungan terlalu besar, yang penting tetangga kita bisa hidup, kita bisa hidup. Begitu kata bapak kepadaku suatu ketika.
Kembali ke kisah jam tanganku. Sepulang dari sekolah, aku petik janur atau daun kelapa, lalu kuanyam menyerupai jam tangan. Pada bagian pegangannya, masing-masing kuikat dengan karet gelang. Tanpa sungkan, aku pasang di pergelangan tangan kiriku. Sejak itulah, jam tangan buatanku tak pernah lepas dari tanganku. Saat tidur, mandi, sekolah, apapun, jam tangan itu selalu kupakai.Â
Hampir seminggu lamanya aku pakai, hingga pergelanganku gatal-gatal. Hingga akhirnya, bapak menegurku, "Le, coba tengok di saku tas besar di kamar, ambil dan bawa ke sini!"
Dengan bergegas aku menuju kamar dan mencari-cari apa yang dimaksud bapak. "Yess...!"