Gerakan Nasional Revolusi Mental dicanangkan Presiden Jokowi dalam rangka menemukan karakter bangsa Indonesia. Sesuai Inpres No.12/2016, Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Tujuannya, untuk mengubah karakter bangsa dengan menguatkan nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong.
Proses menemukan dan membentuk karakter bangsa bukan perkara mudah, tetapi mungkin untuk dilakukan. Aristoteles (384-322 SM) menegaskan bahwa karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik. Ketiga unsul itu tumbuh dan berasal dari hati. Bagaimana kita memulai?
Jawabannya ada di buku "Character Excellence" yang ditulis oleh Rizal Badudu, seorang konsultan pendidikan karakter lebih dari 20 tahun. Rizal menulis dua jilid buku, terdiri atas Mengembangkan Karakter Pribadi, dan Mengembangkan Karakter Anak, Siswa, dan Karyawan. Membaca buku ini dijamin tidak akan pernah ada penyesalan, kecuali perasaan bahwa Anda terlambat mengetahuinya.
Makna Karakter
Karakter berasal dari kata Yunani: kharakter, yang pada awalnya berarti "alat yang dipakai untuk mengukir." Karakter merupakan tanda kepribadian yang menjadi ciri-ciri atau karakteristik setiap orang. Oleh karenanya, karakter memancar dari hati. Ia bertumbuh dan bersifat konsisten.
Mari kita periksa. Apakah keramahan para frontliner akan bertahan setelah mereka selesai bekerja? Bisa jadi iya, bisa juga tidak. Keramahan yang memudar di saat tidak ada lagi tuntutan dari pekerjaannya, bukanlah karakter yang senyatanya. Keramahan yang memancar dari hati akan bertahan lama dan tidak tergantung dari tempat dan situasi.
Ketaatan terhadap hukum atau undang-undang bagi pejabat negara adalah keharusan. Ya benar. Namun, ketaatan itu hanya tampak artifisial saja, jika tidak memancar dari hati. Ketaatan sebagai karakter, akan berpegang teguh pada kebenaran, menolak segala macam suap, dan bertindak dalam koridor yang benar saja.
Dengan demikian, karakter adalah kualitas-kualitas teguh yang dibangun dalam kehidupan seseorang, yang menentukan responsnya tanpa dipengaruhi oleh kondisi dan situasi.
Sebagaimana dikisahkan oleh Dr. Aboetari, rekan kuliah di Rotterdam, Rizal mencontohkan kualitas teguh Proklamator Bangsa, Bung Hatta. "Ia terkenal sebagai mahasiswa yang rajin, tidak banyak membuang waktu untuk bersenang-senang, seperti berdansa, dan sebagainya.
Selain itu, Bung Hatta juga terkenal sebagai penggemar buku-buku pelajaran. Sebagian besar uangnya dipergunakan untuk membeli buku-buku dari rupa-rupa jurusan" (hal. 13). Karakter kerajinan Bung Hatta teruji oleh waktu.
Demikianlah, di hampir seluruh buku ini, Rizal mengagumi sekaligus mengambil hikmah dari karakter kuat Bung Hatta.
Pada kenyataannya, prinsip yang baik di dalam hati akan menghasilkan sikap dan tindakan yang baik pula. Sebaliknya, jika kita mengamati berbagai sikap dan tindakan yang buruk, itu hanya merupakan gejala atau simptom yang terlihat. Sumber penyakitnya bukan sikap dan tindakan itu sendiri, melainkan ketiadaan karakter di dalam hati (hal.37).
Buah-buah yang diperoleh dan bisa dilihat dalam bentuk perilaku atau tindakan yang baik merupakan hasil dari akar pohon yang baik berupa berbagai kualitas karakter.
Misalnya, karakter ketepatan waktu membuat mampu memenuhi tenggat waktu; karakter antusiasme menghasilkan produktivitas tinggi; karakter daya tahan membuat mampu bekerja dengan baik saat sulit; karakter kesabaran berbuah mampu bernegosiasi; karakter ketaatan membuahkan keteraturan di lalu lintas.
Karakter berbeda dengan keterampilan. Keterampilan cenderung bersifat lebih menetap, meski sudah lama tidak dilakukan, kita akan tetap mampu melakukannya di kemudian hari. Tapi, karakter tidaklah demikian. Kualitas karakter terbentuk karena kita sering mengambil keputusan yang tepat untuk bertindak benar. Karakter harus menjadi kebiasaan hidup.
Ada tiga rumus pembiasaan karakter, yang diteliti dan disarankan Charles Duhigg. Pertama, lakukan kebiasaan-kebiasaan baru sebagai rutinitas dalam hidup sehari-hari. Hanya dengan menjadikannya sebagai rutinitas, karakter akan menjadi kebiasaan kita. Kedua, kita harus percaya dampak dari karakter yang kita latih, dan hal itu akan lebih mudah jika dilakukan dalam sebuah kelompok. Ketiga, satu kualitas karakter akan berdampak secara langsung kepada kualitas karakter lainnya.
Menyitir pendapat Stephen Covey, Rizal menegaskan bahwa "karakter kita pada dasarnya terdiri kebiasaan-kebiasaan kita. Karena semua kebiasaan itu konsisten, sering dalam bentuk pola yang terjadi dalam alam bawah sadar, maka secara konstan dan sehari-hari, hal-hal itu mengekspresikan karakter kita."
Rizal menyebut ada sepuluh kualitas karakter yang pokok, yaitu antusiasme, daya tahan, kerajinan, kerendahan hati, ketulusan, keberanian, ketaatan, ketepatan waktu, perhatian penuh, dan tanggung jawab.
Pribadi Berkarakter
Lima karakter awal disebut Rizal sebagai mengelola diri dengan karakter (Bab 3), dan lima karakter berikutnya disebutnya sebagai mengelola relasi dengan karakter (Bab 4).
Ada banyak pribadi tokoh bangsa yang memiliki karakter kuat sebagaimana dimaksudkan Rizal. Sultan Hamengku Buwono IX pernah menolak mentah-mentah ajakan Belanda untuk menyingkir dari Yogya, saat Jepang menyerang Indonesia. "Apapun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat."
Karakter daya tahan Sultan, juga ditunjukkan oleh Proklamator Bung Hatta saat dibuang Belanda ke Boven Digoel. Surat-surat Hatta yang disampaikan ke Maktuo Rafiah (kakak sulungnya) hanya menceritakan kondisi lingkungan di tempat pembuangan, dan tidak pernah menceritakan keluh kesah, apalagi cengeng.
Tentang keberanian, karakter ini menonjol pada kisah hidup Jenderal Hoegeng. Rumah kecil dan sederhana di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, itu pun tetap bersahaja, "Sejak saya menjabat Kepala Imigrasi, kemudian menjadi menteri, dan menjabat Kapolri, saya tetap di rumah ini.
Tidak ada tambahan barang-barang mewah." Keteguhan Hoegeng tak tertandingi. Demikian pula saat seorang pengusaha wanita asal Makassar terlibat kasus penyelundupan, Pengusaha itu memohon kepada Hoegeng agar kasusnya dihentikan, dan tidak diproses lebih lanjut ke pengadildan, sambil mengirim berbagai hadiah ke rumah Hoegeng. Tentu saja, polisi yang teguh ini tidak mau menerimanya, dan semua hadiah pun dikembalikan.
Lain lagi dengan kisah hidup Jacob Kusmanto. Ia, pengusaha yang menjalankan bisnis retail berbagai produk, seperti selimut, tas, handuk, perlengkapan bayi berbasis tekstil, tirai dan kelambu, taplak meja, gorden tebal. Jakob dikenal sangat taat membayar pajak. Beberapa kali ia harus menghadapi perkara di pengadilan pajak karena "dipaksa" oleh tuduhan dari petugas pajak.
Namun, ia menang dalam semua perkara itu, karena memang tidak ada kecurangan dalam perpajakannya. Karakter ketaatannya, menghasilkan ketenangan dan kenikmatan yang nyata (hal. 191)
Setelah mengolah diri dan mengembangkan karakter secara personal di Buku Jilid 1, Rizal mempertajam refleksi bagaimana pengelolaan diri dan relasi dengan karakter pada Anak, Siswa, dan Karyawan. Pembahasan lebih dalam tentang bagaimana penerapan di ketiga subjek tersebut dijelaskan detail di buku Jilid 2.
Pembentukan dan pembangunan sumber daya manusia yang berkarakter, harus dimulai dari ketulusan dan kesediaan masing-masing pribadi. Sama halnya apabila setelah membaca buku ini, kita tidak menjalankannya, maka karakter bangsa yang diidamkan hanyalah angin lalu.
Sumber Buku “Character Excellence, Mengembangkan Karakter Pribadi”; ditulis oleh Rizal Badudu, Penerbit Kompas (Februari 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H