Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mas Guru

19 Januari 2021   16:40 Diperbarui: 19 Januari 2021   16:52 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya bulan menerobos genteng rumah. Bayangnya memantul di tatakan kandelar perak. Ayah biasa duduk bertelut di dekat situ, di sebelah lilin yang menyala, khusuk dan khidmat. Kedua tangannya mengatup rapat, dengan ujung jari menunjuk ke atas. Sebuah patung wanita, dengan tinggi tidak lebih dari satu kilan, persis di hadapan ayah seolah memperhatikan polah tingkahnya dengan senyum. Tentu saja, ayah tak pernah tahu akan hal itu. 

Lima belas menit kemudian, ayah keluar dari kamar sambil membawa dua botol air mineral. Satu diberikan kepada seorang bapak yang sudah menunggu hampir satu jam. Satu lagi diberikan kepada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. 

"Kang Kodir. Bawa dan minumkan air ini ke anakmu. Jangan lupa mohonkan pada Yang Kuasa untuk menyembuhkan luka di kakinya."

Kang Kodir berdiri, mengangguk, lalu bergegas pergi. Tidak berapa kemudian ia kembali lagi sambil tersengal. "Maaf, Mas Guru. Ongkosnya berapa, ya?" tanyanya polos. Ayahku tersenyum dan hanya menjawab dengan tangan terkatup. Meski tampak bingung, tapi Kang Kodir akhirnya pulang dengan lega.

Sementara ibu yang menggendong anaknya bergegas mendekati ayahku. Tanpa bertanya, ayah langsung mengoleskan minyak kayu putih ke leher, dada, dan perut sang bocah sambil berbisik memohonkan sesuatu. 

"Sekarang Yu Turah pulanglah. Jangan lupa campurkan air ini di bak mandi yang dipakai Asti mandi besok pagi!" kata Ayah sambil menyerahkan sebotol air.

Yu Turah pun pergi bergegas. Raut wajahnya tampak berseri. Untuk kesembuhan anaknya, Yu Turah telah berupaya melakukan apa saja. Terakhir datang ke mas Guru karena kata orang-orang mas Guru bisa menyembuhkan berbagai penyakit. 

Seperti diceritakan Yu Turah kepada ayah, sehari kemarin, Asti merintih-rintih sambil memegang perutnya. Tubuhnya berguling-guling ke tanah. Melihat hal itu, ibunya sangat kebingungan. 

Sungguh tak tega melihat anaknya kesakitan, sementara ia tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, simpanan uang di celengan bambu tinggal sepuluh ribu rupiah. Untuk berobat ke Puskesmas, di kecamatan, tentu perlu ongkos buat bayar penandu Asti. Maklum, sarana transportasi belum ada. Jalan kampung juga masih tanah liat, sebagian berbatu. 

Ayahku bukan dokter, bukan pula dukun, atau tenaga medis. Orang-orang kampung lebih suka memanggil ayah dengan sebutan "Mas Guru", karena ayah menjadi guru di SD Inpres. Sebutan mas Guru itu lumrah di kampung ini. Seorang guru adalah panutan sekaligus panuntun, orang yang memberi tuntunan dan menjadi teladan.

Guru, dalam bahasa Jawa diuraikan sebagai orang yang bisa digugu lan ditiru, atau dipercaya dan diteladani. Tugas pertama ayah, sejak lulus SPG lima belas tahun yang lalu, adalah mengajar di SD Inpres itu.

Malam itu, setelah semua tamu pulang, ayah baru bisa istirahat. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi rasa lelah dan penat sungguh sudah menumpuk. Sejak pagi sampai siang, mengajar di SD Inpres, berlanjut rapat Pengurus RT di Balai Desa. Sesampai di rumah jam lima sore, orang banyak sudah menunggu untuk berobat.

Suatu ketika, ayah memberiku nasihat. "Bud. Kalau kamu mau bantu orang, jangan lihat dia siapa, rumahnya di mana, atau agamanya apa. Jangan! Lihatlah ia sebagai pribadi yang luhur dan bermartabat di hadapan Tuhannya." Saat itu, aku hanya mengangguk.

"Bu. Aku dengar mbah Minto panen padinya naik 3x lipat?"

"Iya, Pak. Kemarin, mbah Minto kirim beras ke sini, diantar Suparmin. Katanya, ada salam dari mbah Minto. Air yang bapak berikan kemarin, manjur mengusir hama," kata ibu.

Ayah menghela nafas. "Syukurlah! Lho. Suparmin masih rewang di tempat mbah Minto?"

"Ya, masih to Pak. Suparmin itu yang cerita kalau mbah Minto merasa sangat senang melimpahnya hasil panen tahun ini. Tidak ada wereng coklat, tidak ada tikus, tidak ada burung. Semua tanaman padi aman terkendali."

"Ya syukurlah Bu. Kalau Gusti sudah berkehendak, apapun bisa kelakon. Apapun yang Tuhan mau, terjadilah."

**

"Tok Tok Tok ..." 

Terdengar suara pintu diketok berkali-kali dengan kerasnya.

"Buka pintunya, Mas Guru. Buka pintunya!" Teriakan orang-orang merobek pagi yang sepi dan tenang. Tampak di luar rumah sudah banyak orang berkumpul, sambil mengepal-epalkan tangannya. Beberapa di antaranya membawa golok dan cangkul. Mendadak suasana mencekam. Ayah membuka pintu.

Seorang lelaki yang membawa golok, berteriak, "Hei. Mas Guru! Mulai sekarang, Mas Guru harus pergi dari kampung ini!" Orang-orang menyambutnya dengan pekik, "Setujuu!"

Ayah tampak kebingungan. Senyatanya ayah tidak tahu persis duduk permasalahannya. "Tenang, bapak-bapak. Mohon maaf. Ijinkan saya bicara..."

"Kami tidak perlu penjelasan lagi, Mas Guru. Kami sudah terlanjur kecewa. Ternyata Mas Guru sudah membohongi kami selama ini!" sahut seorang lelaki bersarung dan berkaos singlet. 

Ayah semakin kebingungan tak mengerti. Tapi, ayah berusaha tetap tenang. "Baik. Bapak-bapak. Maaf sekali lagi. Kalau saya, isteri, dan anak-anak harus pergi dari kampung ini tidak apa. Hanya tolong jelaskan, ada apa sebenarnya?"

Orang-orang kampung yang emosi sudah tak sabar. "Usir saja. Usiirrr....!" Salah seorang di antaranya memprovokasi. Massa pun hampir tersulut, dan hendak merangsek masuk ke rumah Mas Guru. Tampak satu di antaranya adalah Yu Turah. Ia maju ke depan. Wajahnya sayu, matanya sembab seperti habis menangis semalam-malaman. Ia mengangguk kepada Mas Guru.

Seseorang yang memimpin rombongan berkata, "Gara-gara air dari Mas Guru, Yu Turah kehilangan Asti, anak semata wayangnya! Paham sekarang, Mas Guru!"

Ayah terkejut bukan kepalang. "Maaf, Yu. Saya ikut prihatin. Tapi..."

"Tapi apa... Mau mengelak apa lagi, Mas Guru. Semua sudah jelas. Lebih baik, Mas Guru segera berkemas dan pergi dari kampung ini selamanya. Selamanya!" kata seseorang yang membawa cangkul.

Ayah tidak punya pilihan lain. Membela diri di depan orang-orang kampung yang sedang kalap, sepertinya percuma saja. Hanya saja, ayah merasa aneh dengan kehadiran Yu Turah di tengah massa. Ia mengenal Yu Turah sudah sekian lama, dan tak mungkin Ayah tega membunuh Asti dengan cara yang tak masuk akal. Ayah yakin, Yu Turah pun tahu akan hal itu. 

Di tengah kebuntuan, terdengar suara, "Mas Guru, tidak bersalah!"

Orang-orang mengalihkan pandangannya ke arah suara. "Pak Mantri?!"

Orang yang disebut Pak Mantri menerobos kerumunan massa. Orang-orang kampung sangat menghormatinya. Pak Mantri, yang bertugas di Puskesmas kecamatan sering berkunjung ke kampung, melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. 

"Maksud, pak Mantri?" tanya ayah.

"Tenang, mas Guru. Biar saya yang jelaskan!" kata pak Mantri. Pak Mantri berpaling ke kerumunan, "Nah, bapak ibu. Kalau bapak ibu masih percaya sama saya, mohon dengar penjelasan saya." 

Orang-orang saling berpandangan. Seseorang yang disebut pemimpin menganggukkan kepala. Pak Mantri pun tersenyum.

"Pertama. Kepada Yu Turah, saya ucapkan turut berduka cita atas kepergian Asti. Yang kedua, saya dan tim dari medis dari kecamatan sudah memeriksa penyebab kematian Asti. Mohon maaf, Yu Turah. Sebenarnya Asti meninggal karena infeksi tetanus. Kalau saja, Yu Turah cepat membawa Asti ke puskesmas atau ke rumah sakit, mungkin tetanus Asti bisa ditangani lebih cepat." Pak Mantri menjelaskan panjang lebar.

Sebagian orang mulai mengerti. Tetapi sebagian lain masih mencari celah kesalahan Mas Guru. 

"Maaf, Pak Mantri. Bukan hanya soal Yu Turah ini. Sebenarnya lebih dari itu!" kata seorang lelaki berpeci. Ia berkata lagi. "Kang Kodir saksinya. Mas Guru ini, musrik pak Mantri. Geledah saja di kamarnya. Pak Mantri akan temukan patung seorang wanita yang disembah-sembah dan dimintai doa!"

Orang-orang yang sudah agak tenang, kembali bergolak. Emosi mereka terusik kembali.

Mas Guru dan Pak Mantri saling berpandangan. Istri mas Guru yang dari tadi berdiri di balik pintu, bergegas ke belakang dan mengambil patung yang dimaksud. Dengan tenang dan keberanian yang tak biasa, ia pun berdiri di samping ayah.

"Bapak ibu semua. Ini adalah patung Bunda Maria. Bapak ibu tidak perlu cemas. Ayah tidak berdoa kepada patung. Ayah tetap berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa, seperti halnya bapak ibu semua. Bagi kami sekeluarga, Bunda Maria adalah sosok teladan kerendahan hati dan keteladanan tulus membantu orang lain." 

Ibu berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Tentang air yang menjadi perantara kesembuhan bapak ibu, atau siapa pun yang pernah ke sini, itu pun tergantung dari keyakinannya sendiri. Ayah berdoa sesuai keyakinannya. Bapak ibu berdoa sesuai dengan keyakinannya juga. Tuhan yang Maha Baik, tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya yang percaya kepada-Nya!"

Ayah mengelus pundak istrinya. Dalam hati, ayah mensyukuri keberanian istrinya. Ayah pun mengambil sikap. "Baiklah, bapak ibu sekalian. Sekali lagi, mohon maaf jika saya, istri dan anak-anak selama di sini berbuat kesalahan dan menyakiti perasaan bapak ibu. Seperti bapak ibu mau, kami akan segera bersiap-siap. Jadi, mohon bapak ibu bisa pulang ke rumah masing-masing. Siang ini, kami akan pergi dari kampung ini, segera!" kata ayah dengan tenang.

Yu Turah menatap wajah ayah dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, ayah tak mungkin membunuh Asti, anaknya. Hanya saja ia tak kuasa menolak desakan warga agar menjadikan mas Guru sebagai tertuduh. Yu Turah mendekat ke ayah dan ibu, sambil berbisik, "Maafkan saya."

Satu per satu, orang-orang pun pergi. Namun, tidak berapa lama kemudian, mereka kembali lagi bersama dengan mbah Minto. Wajah mereka tidak garang lagi. Orang-orang berjalan tenang dengan muka sedikit tertunduk. Dengan memakai tongkat, mbah Minto tertatih ke arah mas Guru.

"Mas Guru dan ibu. Juga Mas Mantri. Maafkan orang-orang kampung ini. Mas Guru masih sangat diperlukan di sini. Anak-anak di sekolah membutuhkan bimbingan mas Guru," kata mbah Minto penuh wibawa. "Leluhur kami sangat menghormati keberagaman. Ini hanya kesalahpahaman saja. Siapapun bisa tinggal di kampung ini, termasuk mas Guru."

Ayah dan ibu mengangguk hormat pada mbah Minto. "Terima kasih, mbah Minto. Saya bisa mengerti apa yang mbah Minto sampaikan. Saya juga minta maaf, kalau ada yang salah dari kami selama ini."

Mbah Minto menepuk pundak ayah. Lalu, mbah Minto pun memberi isyarat kepada orang-orang yang berkumpul. Satu per satu, mereka menyalami ayah dan ibu, sambil saling memohon maaf. 

"Tetaplah di sini, mas Guru!" kata mbah Minto sekali lagi.

Depok, 31.05 | 20-21

_________________

1 kandelar (Latin) -  tatakan tempat lilin

2 rewang (Jw)  - membantu, melayani

3 kelakon (Jw)  - terjadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun