Cahaya bulan menerobos genteng rumah. Bayangnya memantul di tatakan kandelar perak. Ayah biasa duduk bertelut di dekat situ, di sebelah lilin yang menyala, khusuk dan khidmat. Kedua tangannya mengatup rapat, dengan ujung jari menunjuk ke atas. Sebuah patung wanita, dengan tinggi tidak lebih dari satu kilan, persis di hadapan ayah seolah memperhatikan polah tingkahnya dengan senyum. Tentu saja, ayah tak pernah tahu akan hal itu.Â
Lima belas menit kemudian, ayah keluar dari kamar sambil membawa dua botol air mineral. Satu diberikan kepada seorang bapak yang sudah menunggu hampir satu jam. Satu lagi diberikan kepada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya.Â
"Kang Kodir. Bawa dan minumkan air ini ke anakmu. Jangan lupa mohonkan pada Yang Kuasa untuk menyembuhkan luka di kakinya."
Kang Kodir berdiri, mengangguk, lalu bergegas pergi. Tidak berapa kemudian ia kembali lagi sambil tersengal. "Maaf, Mas Guru. Ongkosnya berapa, ya?" tanyanya polos. Ayahku tersenyum dan hanya menjawab dengan tangan terkatup. Meski tampak bingung, tapi Kang Kodir akhirnya pulang dengan lega.
Sementara ibu yang menggendong anaknya bergegas mendekati ayahku. Tanpa bertanya, ayah langsung mengoleskan minyak kayu putih ke leher, dada, dan perut sang bocah sambil berbisik memohonkan sesuatu.Â
"Sekarang Yu Turah pulanglah. Jangan lupa campurkan air ini di bak mandi yang dipakai Asti mandi besok pagi!" kata Ayah sambil menyerahkan sebotol air.
Yu Turah pun pergi bergegas. Raut wajahnya tampak berseri. Untuk kesembuhan anaknya, Yu Turah telah berupaya melakukan apa saja. Terakhir datang ke mas Guru karena kata orang-orang mas Guru bisa menyembuhkan berbagai penyakit.Â
Seperti diceritakan Yu Turah kepada ayah, sehari kemarin, Asti merintih-rintih sambil memegang perutnya. Tubuhnya berguling-guling ke tanah. Melihat hal itu, ibunya sangat kebingungan.Â
Sungguh tak tega melihat anaknya kesakitan, sementara ia tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, simpanan uang di celengan bambu tinggal sepuluh ribu rupiah. Untuk berobat ke Puskesmas, di kecamatan, tentu perlu ongkos buat bayar penandu Asti. Maklum, sarana transportasi belum ada. Jalan kampung juga masih tanah liat, sebagian berbatu.Â
Ayahku bukan dokter, bukan pula dukun, atau tenaga medis. Orang-orang kampung lebih suka memanggil ayah dengan sebutan "Mas Guru", karena ayah menjadi guru di SD Inpres. Sebutan mas Guru itu lumrah di kampung ini. Seorang guru adalah panutan sekaligus panuntun, orang yang memberi tuntunan dan menjadi teladan.
Guru, dalam bahasa Jawa diuraikan sebagai orang yang bisa digugu lan ditiru, atau dipercaya dan diteladani. Tugas pertama ayah, sejak lulus SPG lima belas tahun yang lalu, adalah mengajar di SD Inpres itu.