Pantai, laut, ombak, sunset, dan riuh rendah anak pantai selalu mampu melambungkan khayalan, seandainya dunia sedamai ini.
"Tak mungkin, Dika! Dunia ini tak akan pernah bisa damai. Sebelum kamu pernah berperang, kamu tidak akan pernah merasakan damai yang sesungguhnya. Sebab, rasa damai itu hanya ada di negeri awan -- saat kita sudah tahu, bagaimana nafas kita tak butuh oksigen lagi!" Sanggah Rama, seorang teman baikku.
Aku tak pernah menolak sanggahan Rama, tapi juga tak mengiyakannya. Manusia dilahirkan untuk bertanya, bukan untuk menjawab. Jadi, tidak mungkinlah bila rasa damai akan dimiliki dunia, sekarang ini, kecuali bila manusia telah berhenti bertanya, mengapa, kenapa, bagaimana. Itu pikirku.
Dan kepada matahari sore itu, aku mencoba menghentikan tanyaku. Tapi yang terjadi, justru aku menemukan pertanyaan baru. Bukankah kedamaian ini hanya sementara? Tanyaku pada diri sendiri. Mungkin. Sebab, rasa enggan untuk meninggalkan suasana sore itu terasa begitu menjerat. Tak ingin pergi. Tak ingin berlalu. Meski aku tahu, aku harus tetap pulang. Sebagaimana matahari yang terus menuruni tangga langit, untuk menghangatkan belahan bumi lainnya.
Slamaran, 2001/18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H