Matahari sore telah sedikit ditelan awan. Langit memerah kekuning-kuningan, memburatkan aura kedamaian, juga kegelisahan. Â Sekawanan Camar terbang melandai ke ranting-ranting bakau yang tumbuh subur. Sebagian mencicit, sebagian lain memainkan sayapnya sekadar menahan terpaan angin, yang mulai dingin. Seekor Camar yang berbulu hitam pekat, bertengger di bagian ranting yang paling atas.
Ia laksana burung pelican atau elang yang sedang mengawasi ikan-ikan kecil. Sesekali paruhnya yang kecil mendongak ke atas menantang awan. Lihat aku telah membawa dua belas anak buahku untuk menikmati engkau, wahai awan. Dan, awan Altokumulus yang bergulung-gulung putih (seperti biasa dilukiskan anak-anak sewaktu belajar menggambar) hanya mengerlingkan matanya, tersenyum, lalu berarak ke utara dengan perlahan mengikuti arah angin.
Pantai selatan sudah sedemikian kotor.
Sampah-sampah plastik sisa makanan yang dibuang para pengunjung berserakan di mana-mana. Ada yang sedang berjuang mati-matian hingga mencengkeram bidang pasir, meski tetap tak kuasa menahan derasnya air ketika ombak meraih pantai. Ada juga yang pasrah lalu membiarkan tubuhnya sebagian tenggelam di pasir.
Beberapa lembar tisu yang sempat meloloskan diri dari kejaran ombak melenggang ke sana ke mari seolah sedang menari sambil mengejek sang ombak yang gagal. Namun, tidak berapa lama kemudian tisu yang telah sobek tak karuan itu akhirnya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil melemparkan sepotong kain putih tanda menyerah.
Dan, senjata laras panjang dari tanduk-tanduk rumput landak yang runcing, segera menggelandangnya ke tepi pantai yang sepi. Naas benar nasibnya. Sudah menyerah masih ditembak pula. Sementara di genangan air serupa kolam kecil di pinggir pantai, udang-udang kecil terlihat berkeciap bermain petak umpet, sekaligus berlari dari tangkapan anak-anak nelayan, lalu menyembunyikan diri di balik bebatuan.
Di bagian pinggir pantai dekat jalan, ada benteng semen serupa tanggul yang berdiri berjejer mulai keropos. Ujung-ujungnya sudah rompal. Bagian-bagian tengah temboknya juga sudah berlubang. Persis tuturan dongeng kebajikan yang menasihatkan bahwa kesabaran dan kelembutan bisa mengalahkan kekerasan hati, jika dilakukan dengan ketekunan. Itu air laut yang menghempas-hempaskan diri secara berulang ke tembok adalah buktinya.
Belum sampai setahun dibangun, air sudah mengikis kekokohan semen itu, sedikit demi sedikit. Apalagi jika air sedang pasang. Tembok-tembok itu hanya nampak 1 cm di atas air, lalu keesokan harinya, satu demi satu tumbang ke pasir. Di samping tanggul itu sebenarnya telah dipagari secara berlapis dengan tumpukan berkarung-karung pasir. Tapi, pasir dalam karung pun lama-lama terkikis air dan terhisap ke tengah laut.
Sementara pada musim air yang tenang, berpuluh-puluh pasang remaja akan duduk memangku keajaiban matahari sore. Mereka saling merapat sambil sesekali sang pangeran akan menunjuk ke tengah laut atau ke atas awan, lalu merayu pasangannya dengan puisi kacangan, agar tubuhnya semakin erat memeluk.
Sang perawan akan tersenyum kecil atau tertawa terbahak melihat ketololan pacarnya. Jika sedang bernasib baik, maka sang pangeran akan mendapat kecupan manis, tapi sebaliknya bila sang perawan sedang tidak bergairah, maka ia akan mendorong pangeran itu ke air, diiringi tawa yang lepas tidak terkendali. Puas rasanya saat melihat sang pangeran menggigil dan terhempas ke dalam rasa malu. Tak ada amarah. Maka, selanjutnya mereka pun saling bermain air, seperti Jaka Tarub yang sedang bermadu kasih dengan sang bidadari.
Tidak hanya pasangan remaja yang di sana, di pinggir pantai yang benar-benar pinggir, ada sepasang keluarga kecil yang juga sedang menikmati angin laut. Mereka mungkin ingin mengenang masa bulan madu atau saat-saat pacaran mereka sama dengan pasangan-pasangan remaja tadi. Dua anak kecil, laki-laki dan perempuan, anak mereka, saling berebut menyusun istana pasir, dengan konstruksi ala barok. Barangkali, keluarga kecil itu sedang menyulam kembali kebahagiaan, selepas dari masa penat pekerjaan, mungkin juga pertengkaran.
Di ujung pantai, seorang nelayan bercaping lebar mengentaskan jalanya. Tak jelas benar, ikan apa yang ia peroleh sore itu. Bentuk ikannya ramping dan panjang. Aku mendengar seorang anak kecil berteriak girang bukan kepalang, "ikan layur...ikan layur...".
Mungkin itulah nama ikan yang berhasil dijala nelayan. Aku melihatnya beberapa kali memasukkan ikan dalam Bubu (tempayan dari anyaman bambu). Sedangkan, dua anak kecil yang saling berlarian, mendadak berhenti lalu ikut menyeret jala bapaknya ke tepian.
Rasanya, nikmat nian berada dalam pelukan sore itu. Deburan ombak, pasir yang terkikis buih, telapak kaki yang terendam air laut, sanggup menormalkan degup jantung.
**
Di sini, orang-orang yang mencintai pantai sanggup berlama-lama menunggu hasrat, berjabat erat dengan sang Pencipta, hampir tiada habisnya. Di sini pula, ribuan penyair melabuhkan hatinya di lembar-lembar puisi, merangkai kata-kata yang indah, menyusunnya dalam antologi. Â Maka, catatan-catatan prestasinya akan selalu terbawa saat sang penyair menulis riwayat hidup. Sebab "nama" bagi penyair adalah taruhan sekaligus asset yang bisa dijual. Aku ini binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang, dan telah terjerat oleh tumpukan hutang...".
Bagiku, tumpukan panorama itu menjadi lahan berejakulasi di kanvas. Memindahkannya sebagai lukisan, tanpa bermaksud menyamai Tuhan. Aku melukis, karena panggilan jiwa yang berulang kali membentang-bentangkan sayapnya seperti malaikat. Kelak kemudian, lukisan itu menjadi mimesis keindahan relasi sang makhluk dengan Penciptanya. Terutama saat seekor kupu-kupu betina bermigrasi ke taman bunga di lembah di bawah kaki Bukit Damai. Di sanalah, aku memulai dan mengakhiri cerita, dengan polesan terakhir tanda tanganku di ujung kanvas.
Sementara, bagi sebagian orang Tionghoa, laut menjadi penghantar mereka dalam pelarungan abu jenazah para kerabat atau keluarganya. Laut menjadi tempat persemayaman yang murah, tanpa nisan, tanpa persewaan.
Seperti juga sekelompok Tionghoa di sini. Di sebelah selatan pantai itu berdiri sebuah bangunan, semacam aula atau gedung serba guna. Atapnya terbuat dari asbes, yang sanggup menahan panas di saat terik dan mampu menyerap dingin di saat malam. Bangunan itu memang kosong. Kecuali pada hari tertentu, jika dengungan sirine dan ratusan pelayat yang menghantarkan jenazah, berbondong dengan muka lusuh dan kalut.
Meski berdiri sendirian, tapi bangunan itu kokoh bukan kepalang. Tembok dengan tebal dua kilan, dengan tonjolan batu-batu kali yang sengaja diperlihatkan untuk kepentingan keindahan, sekaligus keawetan. Di dalam bangunan yang luas itu terdapat gua-gua kecil yang berbentuk seperti makam-makam batu di Yerusalem. Bagian bawah gua yang membentuk lubang adalah tungku pembakaran mayat. Di situlah orang-orang Tionghoa biasanya melakukan upacara requiem bagi kerabatnya yang meninggal, sebelum abunya dilarung di laut.
Setelah pembakaran selesai, para pekerja atau panitia lelayon yang biasa mengurusinya akan memilah-milah abu bagian tulang dan tengkorak kepala, kemudian disimpan di sebuah tempat seperti cupu (keramik), untuk disimpan oleh keluarganya. Abu itulah yang nantinya akan diletakkan khusus di dekat tempat sembahyang. Sisanya, abu akan ditabur ke laut sembari mengucapkan doa selamat jalan.
Lain adat lain belalang. Jika di Bali tentu ngaben lebih dikenal sebagai pesta pembakaran mayat yang paling meriah, sekaligus membutuhkan dana besar. Kecuali di suatu tempat terpencil di pinggir Danau Batur, suku Bali Aga (kuno) yang justru meletakkan jenazah di atas tanah. Setelah didoakan dengan gumaman mantra yang magis, jenazah sang pasien dipagari ancak saji yang terbuat dari bambu membentuk semacam kerucut (keranda), lalu sang mayat akan tenang tertidur di bawah rimbunan pohon-pohon Taru Menyan. Itulah mepasah versi penduduk Trunyan. Belum sampai di situ, setelah larut dengan tanah, maka tengkorak kepalanya akan dijejerkan dengan tengkorak kepala yang lain, sesuai dengan tingkat kastanya. Aneh memang. Tetapi itulah keanggunan tradisi yang justru mengusik rasa ingin tahu wisatawan.
Pantai, laut, ombak, sunset, dan riuh rendah anak pantai selalu mampu melambungkan khayalan, seandainya dunia sedamai ini.
"Tak mungkin, Dika! Dunia ini tak akan pernah bisa damai. Sebelum kamu pernah berperang, kamu tidak akan pernah merasakan damai yang sesungguhnya. Sebab, rasa damai itu hanya ada di negeri awan -- saat kita sudah tahu, bagaimana nafas kita tak butuh oksigen lagi!" Sanggah Rama, seorang teman baikku.
Aku tak pernah menolak sanggahan Rama, tapi juga tak mengiyakannya. Manusia dilahirkan untuk bertanya, bukan untuk menjawab. Jadi, tidak mungkinlah bila rasa damai akan dimiliki dunia, sekarang ini, kecuali bila manusia telah berhenti bertanya, mengapa, kenapa, bagaimana. Itu pikirku.
Dan kepada matahari sore itu, aku mencoba menghentikan tanyaku. Tapi yang terjadi, justru aku menemukan pertanyaan baru. Bukankah kedamaian ini hanya sementara? Tanyaku pada diri sendiri. Mungkin. Sebab, rasa enggan untuk meninggalkan suasana sore itu terasa begitu menjerat. Tak ingin pergi. Tak ingin berlalu. Meski aku tahu, aku harus tetap pulang. Sebagaimana matahari yang terus menuruni tangga langit, untuk menghangatkan belahan bumi lainnya.
Slamaran, 2001/18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H