Pelaku:
Orang Tua (1 Pemain)
Istri Orang Tua (1 Pemain)
Tuan Kadi (1 Pemain)
Orang Berkacamata (3 Pemain)
Manusia (4 Pemain)
Keributan suara orang-orang kampung, dari luar panggung terdengar menggil-manggil sambil berkata " Sungai menyulap mata kita, menjadi limbah-limbah! Kemudian kita tenggelam hingga sampai ke dada, lalu menjadikan air mata senja." Kemudian lampu perlahan-lahan hidup dan seketika itu terlihat jaring, jala, pancing, lukah, dan pelantaran tempat orang mandi di tepian sungai. Semuanya hanya tersangkut sampah-sampah plastik.
Di pelantaran itu terlihat orang tua separuh baya sekitar 60 tahun umurnya sedang memperbaiki jala yang penuh sampah.
Orang Tua : Air adalah dunia hidup kita! Tapi kali ini aneh bin ajib selalu saja datang hingga kini dan disi. (Membuang puntung rokok). Kalau kayu sudah ditebang oleh orang negeri ini, tak ada lagi penyangga air. Alamatlah kita kembali ke zaman Nabi Nuh atau air akan menjadi dangkal. Sudahlah dangkal, penuh pencemaran, tak ada yang bisa hidup di sungai ini! (Bingung sendiri dengan perkataannya). Setelah itu ekosistem perairan pun terganggu. Habitat seperti ikan, akan habis. Tengok ini! (Menunjuk kearah jala yang penuh dengan sampah) sampah yang banyak, air pun dah berminyak-minyak. (mendekati lukah yang berdiri di tepi pelantaran) Apalagi ikan-ikan sudah punah. Dulu minum air sungai, sekarang air galon. Naseb badan!!! (Tertawa). Kalau mengutuk dalam hati, buat tambah serasa dekat dengan mati. Eeeeehh puihhh!
(Lampu padam seketika, kemudian hidup kembali). Gelap! Gelap! Gelap! Terlalu gelap mata ini.
Orang-orang kampung mulai memenuhi panggung sambil marah-marah yang tidak jelas, melewati jaring, jala, lukah, dan pancing, kemudian keluar kembali dan Orang Tua itu keluar panggung juga dalam keadaan ketakutan.
Tidak lama kemudian muncul manusia-manusia bertutup kepalanya menggukan ember plastik, sambil membaca bait kata-kata ini :
"Senja menangis sayup-sayup di permukaan air
yang terlihat hanya sebuah kertas berkilau
kepala-kepala hanya riuh oleh ember yang kosong
kita semua hanya gamang oleh kota-kota
sungai kalah! Sungai kalah!
Air mata senja, sudah tak berguna! (Berulang-ulang)
Â
Setelah membaca bait kata-kata. Aktor manusia-manusia membuat komposisi seperti orang ketakutan dan tidak saling bertindih.
Manusia 1 : Aku belum mau mati, apa lagi haus di sungai ini. (Berjalan meraba-raba)
Manusia 1 : Belum saatnya! Belum saatnya! Kenapa kehausan mempercepat kerongkongan.
Manusia 2 : Ya begitulah, air di sungai ini tidak pernah bisa melepaskan dahaga. Karena kita tidak bisa minum di dalamnya.
Manusia 3: Mengapa kita membiarkan sampah itu terbuang dan lalu mencurahkan minyak-minyak sawit ke dalam sungai? Kenapa para pekerja indrustri tidak pernah menyumbang untuk kampung-kampung kita?
Memukul ember di kepala masing-masing manusia. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Manusaia 4 : Anehnya, kenapa kita sudah meninggalkan sungai, padahal sungai sumber dari segala kehidupan nenek moyang kita?
Manusia 1 : Kenapa harus begitu? Sungai ini sudah lama dilupakan. Bukannya kita semua sudah kalah dari kota?
Manusia 2 :Ya, itu masalah mereka, bukan kita! Kita semua hanya rakyat yang membutuhkan air.
Manusia 3 : Ini adalah sebuah rasa sakit yang nyata, sebab kita tidak bisa bertahan dan menahan. (Mendekat ke tempat pelantaran).
Manusia 1,2, dan 4 : Jangan mendekat ke situ!
Manusia 3 : Kenapa? Bukankah kita sama-sama gelap dalam melihat.
Manusia 4 : Gelap adalah lambang kematian untuk terang.
Manusia 1 : Berarti kita ini melambangkan sebuah kematian atau sebuah kebutaan terhadap lingkungan?
Manusia 2 : Eeehh! Jangan berkata seperti itu!!! Aku malu. Ini sebuah kegelapan sebenarnya dan akan memutuskan tujuan dan harapan kita.
Manusia 3 : Sebenarnya apa yang dibicarakan ini, seperti menceritakan masa lalu yang dilupakan. Semua telah lupa peradaban!
Manusia 4: Jangan ceritakan masa lalu. Jangan! Karena masa lalu menakutkan.
Manusia 1 : Kita semua perlu tahu. Tentang peradaban masa lalu.
Manusia 2 : Sebenarnya tuan-tuan semua sudah tahu?
Manusia 3 : Ayoo! Ceritakan keresahan kita! (Sambil tertawa dan memumukul setiap ember di kepala manusia 1,2, dan 4) Cepat ceritakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H