Mohon tunggu...
Yazqi Albee
Yazqi Albee Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa ilmu komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Pilu Pedagang Bandrek

9 Januari 2024   16:36 Diperbarui: 16 Januari 2024   19:30 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : google.com (Indonesia Food Department)

Dinginnya malam yang disertai rintik hujan membuat saya ingin mencari hidangan berupa makanan atau minuman untuk menghangatkan badan. 

Tanpa berlama lama, saya pun langsung bergegas keluar dari rumah untuk mencari penjual bandrek, karena saya rasa bandrek adalah pilihan yang pas dimusim hujan yang dingin ini.

Jalanan yang becek dan licin saya susuri dengan menggunakan motor. Saya mencari-cari penjual bandrek di sekitaran daerah Margahayu, namun sedikit sulit ditemukan. 

Alhasil saya melanjutkan perjalanan hingga ke daerah Katapang. Perlahan saya susuri jalanan yang menuju perumahan warga, terlihat cukup ramai pedagang yang berjualan di sekitar SD NEGERI KATAPANG. 

Namun sialnya tidak ada pedagang bandrek. Sedikit merasa kesal, namun karena saya sangat menginginkan bandrek, saya melanjutkan perjalanan hingga menemukan penjual bandrek. Ternyata tidak jauh dari SD yang saya lewati tadi, akhirnya saya menemukan penjual bandrek

Tanpa lama-lama, saya langsung memesan bandrek. Namun terpaksa saya harus mengantri cukup lama, dikarenakan banyak orang yang membeli bandrek juga. 

Saya duduk di kursi yang ada disitu untuk menunggu pesanan saya dan disaat sedang menunggu, hujan juga turun secara tiba tiba.

Setelah beberapa menit turun hujan, saya baru ingat jika jas hujan yang biasa saya pakai ternyata ada dirumah, tidak saya masukkan ke dalam bagasi motor.

Akhirnya terpaksa, saya harus menunggu hujan reda di tempat bandrek. Sembari menunggu hujan reda, saya memesan makanan sebagai pelengkap bandrek, karena kebetulan saya juga merasa lapar.

Makanan yang saya pesan untuk sekedar mengganjal perut diantaranya ada ubi cilembu, kacang kacangan dan juga singkong kukus.

Hujan pun semakin lebat, namun untungnya bandrek dan makanan yang saya pesan di antarkan ke meja yang saya tempati.

Nikmatnya bandrek hangat ternyata tidak tertandingi, apalagi diminum selagi hujan, di temani ubi cilembu, kacang dan juga singkong kukus. Ternyata tidak sia-sia saya menyusuri jalan yang jauh untuk menikmati bandrek dan makanan yang enak ini.

Saya pun sampai penasaran dengan ubi cilembu yang dijual oleh bapak ini, karena rasanya sangat manis dan teksturnya sangat lembut, yang lebih menggoda nya lagi, ubi ini berwarna kuning sekali.

"Pak, ini ubinya asli cilembu?" tanya saya

"Iya a, asli cilembu" jawab bapak pedagang bandrek

Saya pun akhirnya berkenalan dan mengobrol dengan bapak penjual bandrek ini.

Bapak Asnawi namanya, beliau ternyata bukan warga asli Bandung, karena ketika kami mengobrol, beliau berkata bahwa beliau baru 5 tahun di Bandung dan baru 3 bulan berjualan bandrek. 

"Saya asli probolinggo a, tapi udah lumayan lama di Bandung, disini mau ngadu nasib aja, kalo anak istri ada di probolinggo." ucap pak Asnawi 

Pak Asnawi bercerita bahwa awal mula beliau bisa ke Bandung dan mencari rezeki disini karena beliau merasa bosan dengan suasana di Probolinggo dan ingin mencoba peruntungan di kota lain sampai pada akhirnya beliau memutuskan untuk memilih kota Bandung.

Beliau bilang, penghasilan beliau di Bandung ini lebih baik daripada saat beliau menjadi kuli di Probolinggo.

"Disini lumayan a daripada di probolinggo, kalo bandrek sama yang lain lainnya habis, saya bisa dapet 400 ribu per hari, tapi kalo ngga habis kadang suka ngga nentu. bisa 200an, kadang 100an juga, kalo 100 ribu ngga balik modal itu a" tutur pak Asnawi.

Tak terasa, kami mengobrol cukup lama karena hujan yang tak kunjung reda, dan dari kisah hidup pak asnawi, saya juga mendapatkan banyak pelajaran.

Bagi pak Asnawi, seorang kepala keluarga harus berani berjuang menghadapi apapun, dan harus terus banting tulang untuk menghidupi anak dan istri.

"Yaa biarpun anak sama istri ngga ikut sama saya kesini karena ngga diizinin sama mertua saya, saya kan tetep harus biayain mereka. Berat a sebenernya, tapi ya ngga masalah, toh sekarang kalo kangen bisa video call".

Pada awalnya, istri dan anak pak Asnawi hendak dibawa ke Bandung karena bagaimanapun, sebuah keluarga kecil tak dapat dipisahkan. Namun sayang, karena mertua pak Asnawi tidak begitu suka kepada pak Asnawi, istrinya tidak diberi izin untuk ikut ke Bandung bersama pak Asnawi, suaminya sendiri.

Ada yang menarik perhatian saya saat saya melihat pak Asnawi berjalan ke gerobak nya untuk melayani pelanggan. Saya melihat pak Asnawi berjalan agak sedikit pincang, karena saya pikir ada yang tidak beres dengan kaki beliau, saya pun berniat menanyakan soal kaki nya, barangkali ada yang bisa saya bantu.

"Bapak jalannya pincang, kenapa pak? ada yang sakit?" tanya saya.

"Kaki sebelah kanan saya memang bekas patah a, masih sakit sedikit kadang-kadang." Ucap pak Asnawi.

Beliau berkata bahwa kondisi kakinya sudah seperti itu sejak tahun 2018 karena saat masih bekerja di probolinggo sebagai kuli, beliau mengalami kecelakaan yang menyebabkan kakinya patah, namun karena keterbatasan ekonomi, beliau berkata bahwa kakinya tidak mendapatkan penanganan medis.

"Kalo ke rumah sakit gitu ngga a, uang darimana saya, jadi cuma di urut urut aja sama tetangga yang bisa" tutur pak Asnawi.

Tidak terasa, hujan pun akhirnya sedikit mereda setelah bertukar cerita bersama beliau.

Karena takut hujan lagi, akhirnya saya bergegas untuk pulang, namun sebelum pulang, saya membeli lagi bandrek untuk orang dirumah, sekaligus membantu menghabiskan dagangan pak Asnawi.

Momen yang tidak disangka sangka, saya bisa bertemu pedagang lansia yang ceritanya sangat inspiratif, semangatnya tak pernah surut untuk menghidupi keluarga kecilnya, walaupun dengan kondisi fisik yang kurang prima, pak Asnawi tetap memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun