Mohon tunggu...
Yayat S. Soelaeman
Yayat S. Soelaeman Mohon Tunggu... Penulis - Berbagi Inspirasi

writer and journalist / yayatindonesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Wahai Italia, Lupakan Catenaccio dan Jangan Lagi Berharap Keberuntungan!

28 Juni 2024   19:20 Diperbarui: 29 Juni 2024   07:15 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Swiss (Foto: Getty Images)

Tim nasional sepak bola Italia memiliki sejarah panjang dan paling berprestasi di Eropa, bahkan di dunia. Popularitas, Kekuatan, ketangguhan, dan konsistensi permainan Italia bisa dibilang setara dengan timnas Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris, atau Belanda. Keenam negara ini sudah menjadi trade-mark dan kiblat sepak bola Eropa.

Namun secara spesifik, timnas Italia lebih dikenal identitasnya karena strategi bertahannya yang sulit ditembus, karakter permainannya yang keras, dan terutama taktik Catenaccio atau 'gerendel' yang menempatkan hingga tujuh pemain bertipikal bertahan di jantung pertahanan, yaitu satu sweeper, dua bek-tengah di depan sweeper, dua full-back, dan dua defensife midfielder (double-pivot).

Catenaccio, mengurung dan mengunci lawan (https//www.reddit.com)
Catenaccio, mengurung dan mengunci lawan (https//www.reddit.com)
Satu lagi kisah menarik tentang Glii Azzurri adalah seringkali tampil buruk di awal-awal turnamen hingga nyaris tersingkir, namun kemudian terselamatkan oleh keberuntungan, dan selanjutnya secara mengejutkan menjadi kekuatan yang sulit dibendung, bahkan akhirnya menjadi juara.

Masih hangat di ingatan ketika Euro 2024 memainkan penyisihan grup, tiga pertandingan yang dilakoni Italia di Grup B hasilnya benar-benar mengecewakan. Beruntung Italia menang tipis 2-1 atas Albania setelah tertinggal lebih dulu. Setelah ditekuk Spanyol 0-1, Italia kembali beruntung mengakhiri pertandingan 1-1 lawan Kroasia. Hasil itu tidak mencerminkan kualitas sepak bola Italia, juara bertahan Euro 2020, peringkat 10 FIFA, empat kali juara dunia, dan dua kali juara Eropa.

Kemenangan tidak meyakinkan atas Albania (peringkat 64 FIFA) jelas mengecewakan publik Italia dan pencinta timnas Italia yang tersebar di seluruh dunia. Faktanya, Albania bukanlah lawan yang seimbang, karena mereka tidak lebih baik dari beberapa negara Asia. Bahkan Albania lebih rendah dibanding Qatar (33), Irak (54), Arab Saudi (57) dan Uzbekistan (62).

Ketika melawan Spanyol, 'tim Matador' memberondong 20 tembakan, sembilan di antaranya ke arah gawang, sedangkan Italia hanya membukukan empat tembakan, dan hanya satu yang mengarah ke gawang. Meski penguasaan bola dan jumlah tembakan bukan ukuran kualitas sebuah tim atau penentu kemenangan, namun pada pertandingan itu Italia benar-benar jadi pecundang.

Permainan Italia yang kurang tajam berlanjut saat menghadapi Kroasia. Italia tertinggal 0-1 melalui gol Luca Modric (55) dan nyaris kalah. Italia terselamatkan di menit akhir (90+8) berkat gol Mattia Zaccagni. Sejatinya, Kroasia pantas menang, karena mereka mendapatkan penalti, sayangnya Modric gagal melakukan eksekusi sempurna.

Keberuntungan atau hadirnya "Dewi Fortuna" sepertinya memang selalu menaungi Italia. Andai kalah dari Kroasia, juara bertahan Euro 2020 itu mungkin tersingkir karena hanya mengoleksi tiga poin. Meskipun ada peluang lolos melalui jalur peringkat tiga terbaik, namun jalur itu seharusnya tidak sesuai untuk tim sekelas Italia.

Keberuntungan Italia 

Gli Azzurri atau Si Biru Langit sepertinya selalu akrab dengan keberuntungan. Beberapa kali mereka mengalaminya. Bermain buruk di awal, lolos dari ancaman tersingkir lebih awal, lalu secara mengejutkan mereka bermain bagus, bahkan kemudian menjadi kampiun pada akhirnya.

Contoh keberuntungan besar yang tidak akan pernah dilupakan pencinta sepak bola dunia adalah ketika Italia tampil di Piala Dunia (PD) 1982 di Spanyol. Dari 24 peserta, Italia berada di Grup 1 bersama Polandia yang sedang bagus-bagusnya, Peru dan 'tim kemarin sore' Kamerun.

Saat itu, sepak bola nasional Italia belum pulih setelah diguncang skandal pengaturan skor di Serie A dan Serie B musim 1980 yang mengakibatkan tujuh klub terkena sanksi berat dan 19 pemain dihukum larangan bermain, termasuk Paolo Rossi, bintang Juventus paling bersinar di PD 1982.

Italia Juara Piala Dunia 1982 (AP Photo)
Italia Juara Piala Dunia 1982 (AP Photo)
Sejak skandal itu, kepercayaan dan antusiasme publik terhadap kompetisi sepak bola nasional Italia melemah, buntutnya, dukungan terhadap timnas pun menurun. Ditambah sinisme pemberitaan pers Italia terhadap timnas PD 1982 semakin menambah derita pelatih Enzo Bearzot dan 22 pemain pilihannya. Dua pemain paling disorot adalah Paolo Rossi, yang terlibat skandal pengaturan skor, dan kiper Dino Zoff, 40 tahun, yang dianggap sudah terlalu tua.

Pandangan minor publik dan pers Italia semakin diperparah dengan hasil buruk tiga pertandingan awal penyisihan grup. Ketika memulai pertandingan, Italia hanya bermain imbang 0-0 dengan Polandia. Kritikan publik dan pers nasional semakin tajam ketika Italia bermain imbang 1-1 melawan Peru yang bisa dibilang sebagai tim kelas dua di dunia sepak bola internasional.

Puncaknya, hasil imbang 1-1 melawan Kamerun dianggap sebagai penampilan terburuk Italia. Bagaimana mungkin tim peraih trofi Piala Dunia dan dua trofi Eropa tidak berkutik melawan timnas Kamerun yang baru muncul dan debut di Piala Dunia?

Namun Italia tetap saja Italia. Keberuntungan sepertinya tidak ingin menjauh dari Si Biru Langit Gli Azzurri. Meski hanya meraih tiga angka dari tiga kali seri, Italia lolos ke fase kedua babak penyisihan grup mendampingi Polandia berkat unggul satu gol memasukkan dibanding Kamerun. Skor gol Italia adalah 2-2, sedangkan Kamerun 1-1.

Tetapi di babak penyisihan grup kedua (format kejuaraan saat itu), Italia bergabung di Grup C, grup maut dengan dua raksasa sepak bola Amerika Latin, Argentina dan Brazil! Tentu saja, dua rintangan itu amat berat, apalagi di babak penyisihan Italia tampil mengecewakan.

Catenaccio dan Sweeper

Ketika menghadapi Argentina, Enzo Bearzot menerapkan taktik yang amat terkenal, taktik Catenaccio atau gerendel. Seluruh pemain Italia, terutama para gelandang dan pemain belakang, diperintahkan untuk "mengunci" dan mematikan gerakan pemain lawan, dengan berbagai cara.

Bearzot memasang kiper kawakan Dino Zoff, dengan satu sweeper, dua bek tengah, dua full-back, dan dua gelandang bertahan. Artinya, tujuh pemain bertahan Italia dipasang untuk tidak boleh kebobolan. Bagi Bearzot, tidak mencetak gol bukan masalah, yang paling utama adalah gawang Dino Zoff tidak kebobolan!

Tujuh pemain belakang Italia adalah Gaetano Scirea (sweeper), Fulvio Collovati (bek-tengah), Claudio Gentile (bek-kanan merangkap bek-tengah), Antonio Cabrini (bek-kiri), Bruno Conti (right wing-back), dan dua defensive midfielder (double-pivot) Gabriel Oriali dan Marco Tardelli.

Bearzot menempatkan Bruno Conti sebagai wing-back kanan. Ia diminta melakukan tekanan dari sayap dan ikut membantu pertahanan, sementara Giancarlo Antognoni sebagai gelandang tengah wajib turun melapis pertahanan. Praktis hanya ada Francesco Graziani dan Paolo Rossi yang siaga di lapangan tengah untuk menerima opsi memulai serangan.

Ketika saatnya menguasai bola, pasukan Enzo Bearzot akan melakukan serangan balik cepat dengan tiga pemain saja; Paolo Rossi kebagian bergerak menusuk dari tengah, Graziani siap menerima bola di sayap kiri, dan Bruno Conti siaga di sayap kanan. Ke mana pun bola diarahkan oleh Gabriel Oriali atau Marco Tardelli, pertahanan lawan pasti belum pulih dari transisi menyerang ke bertahan.

Maradona vs Claudio Gentile (Foto: https//x.com)
Maradona vs Claudio Gentile (Foto: https//x.com)
Taktik Catenaccio ala Enzo Bearzot yang dianggap 'kotor' saat menghadapi Argentina, yang selalu menjadi ingatan banyak orang, yang seringkali dihujat pencinta permainan sepak bola indah, namun juga menjadi contoh kasus dan pelajaran penting bagi para pelatih dan pemain, adalah penjagaan keras dan super-ketat Claudio Gentille terhadap bintang Argentina, Diego Maradona.

Banyak momen ketika Gentile yang dijuluki "si perusak sepak bola" melakukan tindakan segala cara untuk mengganggu dan menghentikan Maradona, yang pada pertandingan itu benar-benar menjadi pecundang.

Sistem permainan yang disebut "gerendel ala Italia" berhasil menjungkalkan Argentina 2-1 berkat gol Marco Tardelli dan Antiono Cabrini. Para pemain top Argentina, yaitu Daniel Passarella, Alberto Tarantini, Osvaldo Ardiles, Mario Kempes, Daniel Bertoni, Ramon Diaz dan Jorge Valdano dibuat tidak berkutik.

Taktik Catenaccio Bearzot yang menenggelamkan Tim Tango dan Diego Maradona tentu saja mendapat kecaman keras dari banyak pihak, namun Enzo Bearzot tidak terpengaruh. Mungkin, sepak bola baginya adalah hasil akhir. Percuma bermain indah namun harus kalah dan tersingkir.

Tanpa mengubah taktik, Enzo Bearzot justru sukses menunjukkan ke publik bahwa Italia bukan hanya jago memainkan permainan lugas dan menutup rapat ruang pertahanan, tapi juga mampu menciptakan banyak gol. Ia juga membuktikan kepada publik, pilihannya terhadap striker Paolo Rossi tepat.

Rossi yang sejak awal turnamen dicap sebagai pemain tercela karena terlibat skandal pengaturan skor menjadi bintang bersinar, mencetak hatrik ke gawang Brazil untuk mengakhiri pertandingan dengan skor 3-2, dan membawa timnas Italia ke semi-final menantang Polandia.

Timnas Brazil asuhan Tele Santana benar-benar tidak berdaya menghadapi permainan keras dan taktik 'gerendel' Italia. Falcao, Serginho dan Socrates gagal menundukkan ketangguhan lini belakang Italia yang dijaga kiper Dino Zoff. Brazil mencetak gol melalui Socrates dan Falcao, namun Paolo Rossi mencetak hatrik ke gawang Brazil!

Kegemilangan Italia dan Paolo Rossi di PD 1982 berlanjut ketika Gli Azzurri berhasil menyingkirkan Polandia di semi-final dengan skor 2-0. Dua gol diborong Paolo Rossi! Ketangguhan lini belakang Italia dan ketajaman Rossi kembali terbukti, dan menenggelamkan bintang Polandia, Zbigniew Boniek.

Tibalah Italia di puncak PD 1982 untuk menghadapi Jerman Barat yang sebelumnya mengalahkan Perancis. Final Italia-Jerman Barat mengulang pertemuan klasik antara kedua tim di babak semi-final PD 1970 yang seru.

Duel final Piala Dunia 1982 itu berakhir dengan kesuksesan Gli Azzurri menggilas Tim Panser 3-1. Magis Paolo Rossi kembali membawa tuah bagi Italia ketika dia mencetak gol pembuka sekaligus gol keenamnya di turnamen ini. Dua gol lagi dicetak Marco Tardelli dan Alessandro Altobelli. Sedangkan satu gol hiburan Jerman Barat dicetak Paul Breitner.

Pada final PD 1982 itu terbukti lagi betapa sulitnya menundukkan kehebatan lini pertahanan Italia yang digalang stopper Claudio Gentile dan sweeper Gaetano Sciera. Paul Breitner, Peter Briegel, Hansi Muller, Karl-Heinz Rummenigge, dan Klaus Fischer gagal menembus pertahanan Italia. Bahkan bintang Pierre Littbarski redup, tidak berdaya, karena ke sisi lapangan mana pun ia mencari ruang, Gentile terus membayanginya.

Rintangan Swiss dan Inggris

Tentu tidak pada tempatnya bagi pelatih Luciano Spalletti untuk menerapkan taktik Catenaccio saat melanjutkan kiprah mereka di arena Euro 2024, terutama menghadapi rintangan pertama, Swiss. Spalleti juga seharusnya tidak bermimpi akan menerima naungan keberuntungan seperti Enzo Bearzot saat memimpin tim PD 1982.

Timnas Swiss (Foto: Getty Images)
Timnas Swiss (Foto: Getty Images)
Namun dengan jujur ia mengakui sangat beruntung saat melawan Kroasia. Ia mengaku tidak memiliki harapan saat tertinggal 0-1, dan waktu telah memasuki perpanjangan waktu. Dan ia terkejut dengan reaksi dan tekad pemain yang tidak menyerah sehingga berhasil mencetak gol di menit akhir melalui Mattia Zaccagni.

Spalleti jelas tahu, yang dibutuhkan timnya saat menghadapi Swiss dan lawan-lawan selanjutnya adalah memperkuat pertahanan. Dari tiga kali penampilan di babak grup, Italia selalu kebobolan lebih dulu melawan Albania, Spanyol dan Kroasia.

Pelatih Spalleti selalu setia dengan formasi 4-2-3-1, dan formasi itu jika dicermati, sesungguhnya merupakan modifikasi dari taktik Catenaccio. Setidaknya, Italia selalu familiar dengan dua defensive midfielder atau yang populer disebut double-pivot. Perbedaan taktik Catenaccio dengan formasi 4-2-3-1 adalah hilangnya fungsi sweeper atau libero.

Namun hal yang logis tidak diterapkannya taktik Catenaccio karena Luciano Spalletti tidak memiliki pemain bertahan yang tangguh dan memiliki disiplin keras layaknya Claudio Gentile dan Gaetano Scirea. Atau setidaknya sekelas Fabio Cannavaro, Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Nesta dan Alessandro Costacurta.

Meskipun selama berpuluh-puluh tahun sepak bola Italia selalu dibangun dari lini pertahanan lebih dulu, namun dengan perkembangan sepak bola modern yang memainkan gaya total-football, ketika semua pemain sangat cair dan seringkali bertukar-posisi, gaya bermain bertahan 'gerendel ala Italia' yang menerapkan man-to-man-marking menjadi kehilangan fungsi.

Namun ada hal lain, Jerman adalah tempat yang memberikan kenangan indah dan membanggakan bagi Italia ketika tahun 2006 merengkuh trofi Piala Dunia yang keempat bagi mereka setelah menyingkirkan Perancis. Nama-nama besar menghiasai tim PD 2006 Italia saat itu.

Kiper Gianluigi Buffon, deretan pemain belakang tangguh Gianluca Zambrotta, Fabio Cannavaro, Marco Materazi, dan Gennaro Gatusso, sementara Andrea Pirlo, Francesco Totti, dan Alessandro Del Piero menjadi gelandang dan penyerang yang berada di level tinggi.

Adakah keberuntungan akan kembali mendatangi Gli Azzurri setelah mereka tampil buruk dan hampir tersingkir? Apakah di babak knock-out penampilan Italia akan moncer dan menggila sebagaimana terjadi di Piala Dunia 1982? Atau akankah tuah tempat penyelenggaraan Euro 2024 di Jerman akan memberikan keberuntungan ganda bagi Italia sebagaimana Piala Dunia 2006?

Tantangan pertama adalah Swiss, tim yang memiliki stabilitas dalam bertahan dan menyerang. Permainan Swiss tidak jauh berbeda dengan tipikal permainan Jerman, yang mengandalkan permainan cepat, diselingi umpan-umpan terobosan berbahaya, dengan kekuatan fisik para pemainnya.

Apabila lolos dari rintangan Swiss, Italia kemungkinan akan menghadapi tantangan berat, Inggris, yang diperkirakan mampu menyingkirkan Slovakia. Andai benar, maka pertemuan Italia-Inggris di babak delapan besar Euro 2024 dipastikan akan menjadi pertemuan menarik dengan dua gaya permainan berbeda. 

Pertemuan keduanya akan menjadi ulangan final Euro 2020 di Stadion Wembley. Italia saat itu berjaya mengalahkan Inggris 3-2 melalui adu tendangan penalti.

Sangat mungkin Italia akan terus melaju, karena sebagaimana tim-tim Italia sebelumnya di arena kompetisi mayor, mereka akan semakin tangguh dan semakin tajam ketika dihadapkan dengan tim-tim yang secara kualitas setara.

Dengan formasi 4-2-3-1 yang cenderung bertahan, Spalleti akan memasang double-pivot Jorginho dan Nicolo Barella. Namun di sektor tengah, ia akan menempatkan tiga gelandang serang berbahaya; Federico Chiesa, Lorenzo Pellegrini, dan Davide Frattesi atau Giacomo Raspadori. Sedangkan juru gedor tetap dipercayakan kepada Gianluca Scamacca atau Mateo Retegui.

Kemudian di lini pertahanan, Italia selalu mengandalkan formasi empat bek, yaitu Frederico Dimarco (left full-back), Ricardo Calafiori dan Alessandro Bastoni (bek-tengah), serta Giovanni Di Lorenzo (right full-back) untuk menjaga area kiper Gianluigi Donnarumma.

Tanpa taktik Catenaccio, tanpa mengharapkan keberuntungan, tanpa mengandalkan permainan keras, tanpa mengandalkan tuah tempat pertandingan yang berlokasi di Jerman, patut ditunggu, akankah Gli Azzurri mampu mempertahankan gelar yang mereka raih empat tahun lalu di Stadion Wembley?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun