T: Mengenai Hak Angket DPR RI?
J: Hak Angket adalah soal politik. Itu hak istimewa DPR untuk bertanya kepada penyelenggara negara. Tidak ada kaitan langsung dengan pelaksanaan Pilpres 2024, meskipun kalau dihubung-hubungkan, bisa saja ada irisannya, misalnya soal keputusan MK yang membolehkan calon wakil presiden berusia di bawah 40 tahun asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau mungkin juga isu soal pembagian Bansos yang diduga memiliki pengaruh besar dalam pemenangan pasangan paslon tertentu. Namun bagaimanapun, Hak Angket DPR tidak bisa mengubah ketetapan KPU soal hasil pileg dan pilpres 2024.
T: Berdasarkan hasil hitung cepat semua lembaga survei dan hasil real count KPU, pasangan Prabowo-Gibran memperoleh suara lebih dari 58 persen, sedangkan kompetitornya Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud MD memperoleh sekitar 24 persen dan 17 persen. Bagaimana Anda melihat hal ini?
J: Secara fakta berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei dan real count KPU, meskipun belum resmi karena masih sementara, pasangan Prabowo-Gibran harus diakui mendapat dukungan dan kepercayaan besar dari rakyat. Perolehan suaranya cukup jauh dengan pasangan lain.
Sejak pilpres 2004 secara langsung, angka hasil hitung cepat lembaga survei selalu tidak berbeda jauh dengan angka hasil real count KPU dan hasil hitung manual berjengjang KPU berdasarkan bukti asli C Plano. Secara empiris dalam beberapa kali pilpres, hasil hitung cepat lembaga survei dan hasil hitung manual KPU tidak akan berbeda jauh.
Kita ingat Pilpres 2009 ketika pasangan Megawati-Prabowo dan relawan PDIP melakukan tekanan berat terhadap KPU, namun KPU tetap menetapkan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang, dan pasangan Megawati-Prabowo serta pasangan JK-Wiranto harus patuh aturan hukum. Sidang gugatan sengketa hasil pemilu 2009 di MK itu dipimpin Ketua MK Mahfud MD yang kini jadi peserta pilpres 2024 berpasangan dengan Ganjar Pranowo.
Hal sama terjadi pada Pilpres 2019 ketika pasangan Prabowo-Sandiaga Uno kalah dari pasangan Jokowi-M. Amin. Saat itu benar-benar menegangkan, namun tekanan sebesar apa pun, tidak menggoyahkan KPU untuk menetapkan Jokowi-M. Amin sebagai pemenang. Betapapun kecewanya, Prabowo-Sandi harus menerima dan patuh terhadap keputusan KPU atas nama UU dan atas nama keadilan.
T: Menurut Anda, perlukah pemilu legislatif dan pilpres disempurnakan?
J: Berkaca dari pengalaman pemilu sejak tahun 2004, maka disarankan para pakar hukum, praktisi hukum, akademisi, pengamat politik, dan tokoh-tokoh berpengaruh, melakukan telaahan pemilu secara menyeluruh dan memberikan sumbangan pemikiran tentang perubahan pemilu mendatang.
Misalnya kewenangan Bawaslu diperkuat, dibuat UU Pidana Pemilu yang tegas untuk mengadili semua pelanggaran pemilu, termasuk aturan agar ASN dan pejabat negara tidak masuk dalam tim sukses atau berpihak kepada salah satu peserta pilpres. Soal pemasangan atribut dan baliho parpol dan calon anggota legislatif juga harus diatur dengan lebih baik. (yss)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H