Jakarta -- Berbagai pendapat, pandangan dan tudingan adanya dugaan pelanggaran atau kecurangan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 (Pemilu), khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres), menurut seorang pakar hukum, hanya sekedar diksi-diksi dan semangat heroisme dari pihak yang kalah.
Dalam wawancara khusus dengan Dr. Tengku Murphy Nusmir, SH, MH mengenai dinamika politik pasca-Pilpres 2024, Ketua Umum DPP Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) itu menyatakan bahwa tudingan adanya dugaan kecurangan merupakan hal yang biasa ketika hasil pemilu (pilpres) diketahui, khususnya dari pasangan calon yang kalah.
"Profesor Mahfud MD, mantan Ketua MK, yang saat ini sebagai calon wakil presiden pernah menyatakan bahwa dalam setiap pilpres, begitu perhitungan suara diketahui, maka yang kalah belum siap untuk menerima kekalahan dan menyuarakan adanya dugaan kecurangan," katanya.
Pilpres 2024 diikuti tiga pasangan calon, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Berdasarkan quick count hampir semua lembaga survei dan real count KPU, pasangan Prabowo-Gibran sementara unggul perolehan suara, yaitu lebih dari 58 persen, diikuti Anies-Muhamimin sekitar 24 persen dan Ganjar-Mahfud yang mendekati 17 persen.
Menurut Tengku Nusmir, dalam sosiologi politik, tudingan dan diksi-diksi adanya kecurangan dalam pilpres adalah hal biasa dan merupakan dinamika politik. "Hanya heroisme biasa saja dari paslon dan relawan pendukungnya yang tidak menerima kekalahan. Namun, demi keadilan untuk semua pasangan calon, maka dugaan kecurangan harus dibawa dan dibuktikan di muka pengadilan," katanya.
Dalam konteks hukum dan keadilan, katanya, semua orang/pihak sama di depan hukum. Artinya, hukum harus memberikan keadilan yang setara kepada semua paslon pilpres, bukan hanya bagi paslon yang kalah, tapi juga kepada paslon yang meraih suara rakyat terbanyak.
Berikut petikan wawancara tanya jawab dengan pakar dan praktisi hukum Dr. Tengku Murphy Nusmir:
Tanya (T): Bagaimana suara-suara dugaan kecurangan pilpres dipandang dari aspek hukum?
Jawab (J): Begitu masuk  ke ranah hukum, diksi dugaan kecurangan itu tidak bisa diterima. Semua dugaan kecurangan harus dibawa ke muka sidang pengadilan dan harus dibuktikan. Itu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai UU Pemilu. Ketika dibawa ke ranah hukum, maka harus terpenuhi formil dan materiilnya. Formilnya pencoblosan dan penghitungan suara, sedangkan materiilnya (perbuatannya) adanya tindakan perbuatan melakukan kecurangan. Nah, perbuatannya apa? Kemudian, siapa yang melakukan perbuatan curang? Apakah salah satu paslon pilpres, penyelenggara (KPU/Bawaslu), pemerintah, KPPS/Petugas di TPS, tim sukses, pengurus parpol, atau siapa? Kemudian juga waktunya, tempatnya, dan saksinya.
T: Bagaimana mengenai adanya beberapa pihak yang tidak percaya kepada KPU atau MK?