Pendapatan Persib makin membengkak ketika penjualan merchandise laku keras, hasil penjualan tiket penonton, dan pendapatan usaha kreatif dari beberapa medsos Persib yang memiliki followers jutaan orang.
Forbes bahkan menetapkan Persib Bandung sebagai tim terkaya di Indonesia, ditaksir memiliki kekayaan Rp 2,24 triliun. Sukses Persib diikuti Bali United, yang bahkan sudah melantai di Bursa Efek Indonesia, memiliki mega store, usaha restoran dan kafe. Persib dan Bali United dalam semusim dapat meraup ratusan miliar rupiah dari komersialisasi klub.
Hakikat Profesionalisme
Dengan modal yang besar, maka klub akan mampu membayar pemain-pemain berkualitas dan menyediakan fasilitas terbaik bagi para pemain dan pelatih, termasuk tempat berlatih, akomodasi, konsumsi, gizi, transportasi, dan layanan prima lainnya.
Faktor-faktor di atas menjadi jaminan klub mampu bersaing untuk memperebutkan posisi terbaik. Dan ketika klub berprestasi dan meraih popularitas tinggi, hal itu akan menjadi daya tarik kuat bagi kalangan dunia usaha untuk membonceng ketenaran klub.
Kini arus deras profesionalisme Liga 1 semakin kuat dan para pemodal besar mulai tertarik memasuki industri sepak bola. Namun jangan mengira mereka hanya sekadar ingin memuaskan kecintaannya terhadap sepak bola. Mereka tentu juga melirik keuntungan finansial.
Raffi Ahmad, Kaesang Pangarep, Gading Marten, dan beberapa nama lain, ketika mereka terjun ke industri sepak bola, tentu saja tidak untuk membuang uang sia-sia, tetapi selalu ada nilai benefit yang mereka targetkan. Orang kuat dan pengusaha sekelas mereka tidak bodoh, pasti sudah mencium keuntungan besar di masa depan.
Pergerakan dinamis industri sepak bola nasional yang terus mengarah ke modernitas amat sulit dihindari, apalagi ketika kemeriahan kompetisi liga-liga di Eropa yang bergelimang uang jutaan dolar AS merasuk ke Asia, termasuk Indonesia.
Ketika klub semakin kaya dan tangguh, maka pemain berkualitas, lokal dan asing akan datang, dan nilai jual kompetisi pun semakin tinggi. Para pemain akan meningkatkan kualitas teknis mereka untuk dipilih, dan harga otomatis akan menjadi mahal. Itulah sesungguhnya hakikat dari profesionalitas kompetisi sepak bola modern. Ada modal, ada kualitas, ada harga, ada prestasi, ada brand, ada keuntungan.
Tanpa mengubah kultur klub menjadi perusahaan yang menjalankan prinsi-prinsip bisnis atau yang masih bergantung kepada pemerintah daerah dengan pendanaan seadanya, apalagi ditambah manajemen pengelolaan klub yang seadanya, maka tinggal menunggu waktu untuk dilindas dan digantikan klub-klub bermodal besar dengan manajemen yang kuat. (yss)