Mohon tunggu...
Yayat S. Soelaeman
Yayat S. Soelaeman Mohon Tunggu... Penulis - Berbagi Inspirasi

writer and journalist / yayatindonesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Persela Lamongan, yang Terhempas dan yang Jatuh

24 Maret 2022   02:36 Diperbarui: 24 Maret 2022   09:37 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skuat Persela Lamongan terdegradasi ke Liga 2.| Sumber: MUHAMMAD ALIF AZIZ MARDIANSYAH/BOLASPORT.COM

Jakarta -- Persela Lamongan adalah tim perserikatan yang terhempas dari persaingan kompetisi tertinggi sepak bola Indonesia, Liga 1, musim 2021/2022. Persela menyusul Persiraja Banda Aceh, terdegradasi ke kasta Liga 2 musim depan.

Laskar Joko Tingkir selalu tertekan di musim ini, dan akhirnya menyerah, setelah 18 tahun terus berjuang mengarungi kerasnya kompetisi di negara yang puluhan juta penduduknya sangat menggandrungi sepak bola. Kini, ketika nama Persela telah terpahat di hati warga Lamongan dan menjadi ikon 'Kota Soto', Persela justru harus meninggalkan gelanggang Liga 1.

Jatuhnya Persela ke kasta Liga 2 bisa dibilang menjadi tragedi yang memilukan hati bagi ribuan fans fanatik LA Mania, dan tentu kesedihan pun dirasakan puluhan ribu pencinta Persela Lamongan yang bertebaran di seluruh Indonesia.

Adalah tidak aneh ketika pekan lalu, sehari setelah Persela dipastikan terdegradasi (21 Maret 2022), ratusan Suporter setia LA Mania mendatangi rumah dinas Bupati Lamongan Yuhronur Efendi. Mereka protes, kesal, marah, kecewa, sedih, dan putus asa setelah klub kesayangannya terdegradasi.

Mantan manajer Persela, Edy Yunan Achmadi, saat itu menenangkan fans, sekaligus meminta maaf atas keterpurukan Persela. "Kami sudah bekerja keras, tetapi inilah hasilnya. Mari menerima dengan ikhlas. Selanjutnya kita harus bersatu untuk membawa kembali Persela ke Liga 1," katanya.

Walau sudah lama mewarnai belantika sepak bola nasional di kasta tertinggi, nama Persela masih identik sebagai klub 'pelat merah'. Pengelolaan di tubuh klub Persela masih bergantung pada Pemkab Lamongan, meski sudah berbadan hukum di bawah naungan P.T. Persela Jaya.

Keberadaan Yuhronur Efendi, yang merupakan Bupati Lamongan periode 2021-2024 sebagai Chief Executive Officer (CEO) klub menjadi buktinya. Totalitas Yuhronur terhadap Persela tidak perlu diragukan. Bahkan ia telah aktif sebagai asisten manajer sejak masih menjadi Direktur BPR Bank Daerah Lamongan (2012), dan terus berlanjut saat menjadi Sekda dan bupati.

Prestasi Persela sebenarnya membanggakan. Laskar Joko Tingkir tercatat sebagai kampiun Piala Gubernur Jatim dengan lima gelar, mengungguli Arema dan Persebaya Surabaya. 

Beberapa pemain hebat dilahirkan dan dibesarkan Persela, yaitu Zulham Zamrun, Saddil Ramdani, Dendy Sulistyawan, Arif Satria, Hambali Tholib, Marcio Suoza, Fabiano Beltrame, Gustavo Lopez, Kei Hirose, atau Rafinha.

Untuk kompetisi nasional KU-21, sekarang bertajuk Elite Pro Academy, Persela juga merengkuh dua gelar juara berturut-turut, tahun 2011 dan 2012. Dari tim U-21 ini lahir nama-nama tenar, Taufiq Kasrun, Choirul Huda, Dendy Sulistyawan, dan Birrul Walidain.

Choirul Huda (Foto: bola.kompas.com)
Choirul Huda (Foto: bola.kompas.com)

Kiamat Kecil APBD

Terhempasnya dua tim asal perserikatan, Persela dan Persiraja, sebenarnya hanya soal waktu, karena keduanya kesulitan untuk bersaing di tengah arus deras industri sepak bola nasional. Dan awal kiamat kecil bagi Persela terjadi tahun 2008 lalu ketika Departemen Dalam Negeri mengimbau klub liga profesional tidak lagi menggunakan dana APBD.

Selang tiga tahun, terbitlah Peraturan Mendagri Nomor 1/2011. Isinya, klub sepak bola profesional dilarang menggunakan dana APBD, yang berlaku 1 Januari 2012.

Ada kurun waktu 10 tahun sejak terbitnya Peraturan Mendagri yang melarang penggunaan APBD hingga Persela terdegradasi di musim 2021/2022 ini, dan manajemen Persela sepertinya gagal menyesuaikan diri untuk lebih kreatif mencari pendanaan.

Namun sesungguhnya pengelola Persela sudah bekerja keras untuk menjadi klub mandiri, meski usaha keras mereka tampaknya kalah jauh dan seperti tidak ada apa-apanya dibanding usaha luar biasa klub-klub pesaingnya.

Lalu mengapa Persela harus terhempas dan jatuh, sedangkan Persebaya Surabaya, Persib Bandung, PSM Makassar, Persik Kediri, atau PSIS Semarang mampu bertahan, padahal semuanya adalah tim perserikatan?

Tentu ada penyebabnya mengapa Persela harus terhempas dan jatuh. Salah satu faktornya, mudah diduga, yaitu minimnya dana. Ketika persoalan keterbatasan dana menjadi alasan, jelas akan memengaruhi kualitas pengelolaan klub, minimnya fasilitas pendukung, serta tidak mampu mendatangkan pemain dan pelatih berkualitas.

Apabila dianalisis, faktor penting lain dalam pengelolaan klub selain kekuatan modal adalah persoalan manajemen yang belum menerapkan prinsip-prinsip bisnis. Dan pengelola Persela tidak segera menyerahkan pengelolaan klub kepada orang-orang profesional dan menjadikan Persela sebagai entitas bisnis.

Dengan melihat ke belakang, ketika awal 2012 terbit larangan penggunaan dana APBD, saat itu Bupati Lamongan adalah H. Fadeli, MM. Sosok Fadeli inilah yang menjadi pemilik dan chairman klub yang sesungguhnya, selama lebih dari sepuluh tahun ia menjabat Bupati Lamongan (2010-2021). Ia dibantu orang kepercayaannya, Yuhronur Effendi.

Saat PT Persela Jaya dibentuk tahun 2011, maka direksinya adalah Debby Kurniawan (putra Fadeli), komisaris Ujik Silvian Effendi, anggota DPRD Lamongan yang juga putra Sekda Lamongan, Yuhronur Effendi.

Yuhronur Effendi (Foto: Antara)
Yuhronur Effendi (Foto: Antara)

Setelah Fadeli tidak lagi menjadi bupati tahun 2021, Yuhronur Effendi justru memenangi Pilkada dan menjadi Bupati Lamongan (2021- 2024). Yuhronur-lah yang kemudian menggantikan Fadeli mengurusi semua kepentingan Persela. 

Sayangnya, ketika pengelolaan Persela tak kunjung diserahkan kepada orang-orang profesional, Persela harus terhempas karena kalah bersaing dengan klub-klub kuat dengan manajemen yang solid.

Sungguh amat sulit untuk membayangkan ketika klub yang tidak memiliki modal besar, belum berakar kuat di dunia komersial, dan tidak memiliki usaha yang menguntungkan, harus menyiapkan dana setidaknya Rp 30 miliar untuk mengarungi satu musim kompetisi.

Kultur klub 

Sebenarnya, harus ada keputusan penting ketika Persela mengarungi kompetisi yang keras, yaitu mengubah kultur lama yang selalu bergantung kepada anggaran APBD. 

Jalannya sudah jelas, harus memiliki modal besar, membeli pemain dan pelatih bagus, melengkapi infrastuktur, menyerahkan pengelolaan klub kepada orang-orang profesional, menjalankan prinsip-prinsip bisnis, dan bersaing untuk meraih prestasi.

Ketika klub berhasil meraih prestasi dan memiliki nama besar, maka bukan hanya penonton yang akan datang, namun kalangan dunia usaha juga akan menghampiri secara otomatis. Itulah hukum bisnis sepak bola.

Sangat banyak contoh klub yang berjuang dan berdarah-darah untuk mempertahankan nama dan reputasi klub. Persija Jakarta setidaknya harus menyiapkan Rp 50 miliar setiap musim, Bhayangkara FC sekitar Rp 40 miliar, dan Sriwijaya FC harus keluar dana Rp 19 miliar hanya untuk membeli pemain.

Contoh terakhir, Persis Solo menggelontorkan Rp 40 miliar untuk membeli pemain, meraih brand dan nama baik, mencetak prestasi, dan sukses menjadi juara Liga 2 dan promosi ke Liga 1. Ketika nama baik dan reputasi klub sudah terangkat tinggi, maka usaha komersialisasi klub lebih mudah dilakukan.

Lihatlah Persija Jakarta yang mendapat Rp 35 miliar dari logo-logo komersial yang menempel di kaos pemain, juga Persib Bandung yang berhasil menarik 18 mitra komersial, yang konon meraup tidak kurang dari Rp 150 miliar. 

Pendapatan Persib makin membengkak ketika penjualan merchandise laku keras, hasil penjualan tiket penonton, dan pendapatan usaha kreatif dari beberapa medsos Persib yang memiliki followers jutaan orang.

Forbes bahkan menetapkan Persib Bandung sebagai tim terkaya di Indonesia, ditaksir memiliki kekayaan Rp 2,24 triliun. Sukses Persib diikuti Bali United, yang bahkan sudah melantai di Bursa Efek Indonesia, memiliki mega store, usaha restoran dan kafe. Persib dan Bali United dalam semusim dapat meraup ratusan miliar rupiah dari komersialisasi klub.

LA Mania (Foto: bola.kompas.com)
LA Mania (Foto: bola.kompas.com)

Hakikat Profesionalisme

Dengan modal yang besar, maka klub akan mampu membayar pemain-pemain berkualitas dan menyediakan fasilitas terbaik bagi para pemain dan pelatih, termasuk tempat berlatih, akomodasi, konsumsi, gizi, transportasi, dan layanan prima lainnya.

Faktor-faktor di atas menjadi jaminan klub mampu bersaing untuk memperebutkan posisi terbaik. Dan ketika klub berprestasi dan meraih popularitas tinggi, hal itu akan menjadi daya tarik kuat bagi kalangan dunia usaha untuk membonceng ketenaran klub.

Kini arus deras profesionalisme Liga 1 semakin kuat dan para pemodal besar mulai tertarik memasuki industri sepak bola. Namun jangan mengira mereka hanya sekadar ingin memuaskan kecintaannya terhadap sepak bola. Mereka tentu juga melirik keuntungan finansial.

Raffi Ahmad, Kaesang Pangarep, Gading Marten, dan beberapa nama lain, ketika mereka terjun ke industri sepak bola, tentu saja tidak untuk membuang uang sia-sia, tetapi selalu ada nilai benefit yang mereka targetkan. Orang kuat dan pengusaha sekelas mereka tidak bodoh, pasti sudah mencium keuntungan besar di masa depan.

Pergerakan dinamis industri sepak bola nasional yang terus mengarah ke modernitas amat sulit dihindari, apalagi ketika kemeriahan kompetisi liga-liga di Eropa yang bergelimang uang jutaan dolar AS merasuk ke Asia, termasuk Indonesia.

Ketika klub semakin kaya dan tangguh, maka pemain berkualitas, lokal dan asing akan datang, dan nilai jual kompetisi pun semakin tinggi. Para pemain akan meningkatkan kualitas teknis mereka untuk dipilih, dan harga otomatis akan menjadi mahal. Itulah sesungguhnya hakikat dari profesionalitas kompetisi sepak bola modern. Ada modal, ada kualitas, ada harga, ada prestasi, ada brand, ada keuntungan.

Tanpa mengubah kultur klub menjadi perusahaan yang menjalankan prinsi-prinsip bisnis atau yang masih bergantung kepada pemerintah daerah dengan pendanaan seadanya, apalagi ditambah manajemen pengelolaan klub yang seadanya, maka tinggal menunggu waktu untuk dilindas dan digantikan klub-klub bermodal besar dengan manajemen yang kuat. (yss)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun