Pada hari Rabu sore mejelang magrib, hampir setiap pekan saya sering sekali melewati pemandangan turbin besar yang berjejer, pesona yang sedikit mengobati rasa lelah dari aktivitas kerja. Turbin besar berbentuk baling-baling itu dikenal sebagai pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang sudah terbangun sekitar lebih kurang enam tahun di Jeneponto.Â
Ya, PLTB merupakan teknologi dengan energi baru dan terbarukan (EBT) yang katanya menjadi solusi untuk menekan penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang dinilai memiliki candangan yang terbatas.
Jeneponto memang dikenal sebagai daerah dengan intensitas kecepatan anginnya yang cukup tinggi. Hal ini yang menjadi pertimbangan pemerintah membangun pembangkit listrik bertenaga angin ini di Butta Turatea.
Kehadiran PLTB di Butta Turatea menjadi daya tarik dan kebanggan tersendiri oleh masyarakat Jeneponto secara umum. Lokasi ini sering menjadi tujuan utama oleh orang-orang yang ingin berswafoto di sekitar baling-baling.Â
Isu Dekarbonasi
Selain pemanfaatan energi baru terbarukan, penggunaan teknologi ramah lingkungan juga merupakan suatu upaya untuk mengurangi jumlah emisi karbon atau dekarbonasi. Mengutip dari laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Asset Manager PT Energi Bayu Jeneponto Wahyuddin menerangkan bahwa pembangkit tersebut mampu mengaliri listrik setara 160 ribu rumah per tahun, dengan mengurangi emisi CO2 sejumlah 220 kton/tahun.Â
Isu dekarbonasi sudah menjadi perhatian masyarakat global guna mengurangi dan menghilangkan emisi gas rumah kaca dan CO2 dari atmosfer. Dekarbonasi tidak hanya pada sektor pembangkit listrik, tetapi juga menyasar semua sektor industri baik dari sektor rumah tangga, energi, transportasi, lingkungan, manufaktur dan lainnya.
Perhatian masyarakat global pada pentingnya langkah dekarbonasi dalam usaha bahu-membahu negara-negara maju dan berkembang dengan menerapkan prinsip ekonomi hijau dan berkelanjutan. Berbagai negara di dunia telah berkomitmen untuk melakukan dekarbonasi di berbagai sektor industri untuk mencapai target emisi bersih (net zero emission) 2050 yang dimuat pada Perjanjian Paris (Paris Agreement) tahun 2015 lalu.
Semua ini tentunya dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan perubahan iklim dan menjaga suhu bumi agar dapat menunjang terlaksananya kegiatan ekonomi secara berkelanjutan. Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang dimilkinya diharapkan mampu menyumbang kontribusi yang besar untuk menekan jumlah emisi karbon.Â
Fenomena Jet Pribadi
Di Negara kita, Indonesia pada beberapa saat yang lalu dihebohkan dengan isu penggunaan jet pribadi oleh putra bungsu Presiden Joko Widodo yakni Kaesang Pangarep bersama istrinya Erina Gudono untuk ke Amerika Serikat. Mencuatnya isu ini diawali dari flexing menantu presiden di media sosial yang kemudian disoroti oleh banyak warganet.
Berbagai kritik bermunculan mengarah kepada keluarga Jokowi,mulai dari dugaan gratifikasi, gaya hidup mewah dan kurangnya kepekaan sosial , serta isu lingkungan. Â Bagaimana tidak mendapat sorotan, ditengah pemberitaan mengenai kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami deflasi, keluarga presiden malah mempertontonkan aktivitas kemewahannya di media sosial.Â
Penggunaan jet pribadi dengan harga sewa yang disinyalir mencapai 4,8 miliyar sekali terbang, flexing kue ultah seharga UKT mahasiswa dan tas mewah yang berharga ratusan juta rupiah membuat warganet geram dengan keluarga presiden yang menampilkan sikap tone deaf.
Bukannya mau mencampuri urusan pribadi Kaesang dan Erina, peggunaan jet pribadi tentu sah-sah saja bagi setiap orang, tetapi tentunya perlu juga memperhatikan kondisi ekonomi dan sosial sebagai keluarga presiden. Selain isu ekonomi dan sosial, sorotan lain juga mengarah kepada isu lingkungan, penggunaan jet prbadi oleh Kaesang dan Erina dinilai kurang memperhatikan aspek lingkungan dimana jet pribadi mampu menyumbang emisi karbon yang cukup besar.
Kita mungkin masih ingat dengan kritikan Gibran, kakak Kaesang ketika debat cawapres lalu yang menyoroti Muhaimin Iskandar karena menggunakan air mineral dengan kemasan plastik sebagai kritikan terhadap isu lingkungan. Kaesang sepertinya juga lupa bahwa bapaknya sebagai kepala negara sedang fokus pada upaya dekarbonasi di berbagai sektor.Â
Irene Sarwindaningrum dalam artikelnya yang tayang di Kompas pada 24 Agustus 2024 menyebut orang-orang yang sering menggunakan jet pribadi sebagai kaum 1 persen, mereka adalah orang superkaya yang mempunyai posisi mentereng, mulai dari miliarder, politisi, selebritas, maupun pejabat publik. Lebih lanjut Irene menambahkan bahwa penggunaan jet pribadi oleh politisi dan pejabat publik bertentangan dengan komitmen untuk mencapai nol emisi.
Kita sampai saat ini tak pernah tahu alasan Kaesang terbang ke AS dengan menggunakan jet pribadi yang harga sewanya menghabiskan miliyaran rupiah. Apakah ia benar-benar membayar sewa yang begitu mahal? atau berangkat gratis dengan bermodalkan label keluarga presiden? seperti dugaan banyak orang tentang isu gratifikasi. Atau mungkin saja ia betul-betul menyewa jet pribadi miliyaran rupiah itu  dengan alasan keinginan dan kebagahagiaan istri, bukan gratifikasi.
Membahagiakan IstriÂ
"USA here we go" tulis Erina Gudono dalam unggahan media sosialnya dengan menampilkan gambar jendela pesawat, postingan yang sewajarnya dilakukan oleh setiap orang di medsos pribadinya untuk sekedar flexing  maupun berbagi kabar sesama warganet. Membuat postingan saat bepergian atau mengunjungi suatu tempat biasanya menjadi kebahagiaan tersendiri bagi setiap orang, terutama bagi kaum perempuan apalagi yang sudah berstatus sebagai istri.Â
Flexing bersama dengan pasangan pada suatu perjalanan akan menjadi aktivitas yang sering kali akan dilakukan oleh istri bahkan bisa berkali-kali dalam satu momen atau tempat. Jika tujuan perjalanan bersama pasangan adalah Amerika Serikat, tentu saja momen ini tak boleh terlewatkan begitu saja, apalagi jika terbang dengan jet pribadi yang harganya fantastis, pastilah diposting.
Siapa sih yang tidak mau terbang dengan jet pribadi? ini juga mungkin menjadi impian banyak orang, meminta kepada pasangan agar pergi dengan jet mahal, mengunjungi berbagai negara lalu flexing-flexingan di medsos. Ketika pasangan mengiyakan permintaan itu, pastinyalah akan merasa sangat bahagia dan merasa istimewa.Â
Saya membayangkan bagaimana Erina meminta Kaesang untuk naik jet pribadi ke AS. "Sayang, akau maunya naik jet pribadi dong ke AS", pinta Erina ke Kaesang. Aku lagi hamil loh, takutnya kenapa-napa kalo pake komersil, lanjut Erina.
Ya, iya deh, nanti kita perginya pake jet pribadi, kita mentingin kehamilan kamu, Jawab Kaesang.
Sebagai pasangan yang belum terlalu lama melangsungkan pernikahan, ditambah dengan kondisinya yang lagi hamil, seorang suami pasti akan sangat memperhatikan kondisi kebahagiaan istri. Â Dengan kemampuan finansial dan keadaan yang mendukung, Kaesang tentunya berusaha semaksimal mungkin untuk membuat sang istri menjadi bahagia.
Tetapi pertanyaannya kemudian, Â dengan kondisi seperti sekarang, dengan disorot banyak masyarakat dan media, apakah membuat Kaesang dan Erina tetap bahagia?Â
Apakah dengan membahagiakan istri tanpa mempedulikan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat itu sudah cukup?
Kita mungkin tak perlu menunggu jawaban dari Kaesang dan Erina, cukup bertanya pada diri sendiri seandainya berada pada posisi mereka berdua. Mengutip Fahruddin Faiz dalam kata pengantarnya pada buku yang berjudul  "Filsafat Kebahagiaan" bahwa kebahagiaan merupakan unsur kehidupan yang diidam-idamkan manusia, baik secara esensisal maupun eksistensial. Tidak ada manusia yang tidak menginginkan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang dipandang bernilai, sangat bernilai, bahkan paling bernilai oleh manusia dalam kehidupannya.Â
Lebih lanjut Fahruddin Faiz menambahkan pandangannya tentang kebahagiaan dalam perspektif filsafat yakni ontologis, epistemologis dan aksiologis. Â Secara ontologis, bentuk dan jalan kebahagiaan setiap orang bisa berbeda-beda sesuai dengan visi, orientasi, dan konteks hidupnya.
Secara epistemologis, kebahagiaan dapat melibatkan seluruh sisi inteligensi manusia, tidak hanya kenikmatan indrawi, namun ada kalanya menuntut ketepatan pemahaman rasional, kedalaman rasa, bahkan ketajaman intuisi dan kemampuan imajinasi.
Secara aksiologis, kebahagiaan ternyata bukan hanya tentang perasaan puas dan menyenangkan, tetapi juga berhubungan dengan kualitas hidup secara keseluruhan seperti kesejahteraan, kenyamanan, kedalaman, bahkan juga harmoni sosial dan alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H