Dijawab dengan semangat "Tidak ibuuuuuu!" Rumah sakit juga jauh lokasinya dari sini. Kalau sakit parah, mereka harus ke kota terdekat untuk berobat diantar dengan speedboat yang sudah pasti mahal ongkosnya karena jalan darat teramat rusak dan akan lama tiba di rumah sakit terdekat.
Tanpa listrik, praktis kegiatan di malam hari jadi terbatas. Selain kendala listrik, tak ada sinyal internet yang masuk ke desa ini. Telepon yang digunakan murni hanya untuk berbicara dan ber-SMS. Itupun sinyal Telkomsel, satu-satunya provider yang bisa digunakan di Kepulauan Kei, lebih banyak off nya daripada on nya.Â
Karena itu anak-anak di sini terlihat kurus tapi sungguh cekatan. Mereka terbiasa bergerak dan tak duduk diam memainkan gadget. Anak-anak ini seperti hidup di belahan dunia yang lain. Padahal mereka di wilayah yang sama seperti saya, Indonesia.
Saya ceritakan tentang Jakarta ketika mereka bertanya dari mana asal saya. Lalu ketika saya tanya, ada pesan apa untuk teman-temannya di Jakarta? Mereka bilang, mereka ingin teman-temannya di Jakarta datang ke sini dan mereka akan ajak teman-teman Jakarta menyambangi air terjun yang luar biasa indahnya. Sungguh niat yang baik yaaaa...
Ternyata di sebelah lapangan kecil ini adalah laut. Jadi kami naik speed boat dari situ. Rombongan anak-anak mengantar kepergian kami setelah sebelumnya berebutan menyalami sembari riuh mereka mengucapkan selamat jalan. Keceriaan mereka tak berkurang malam itu.
Speed boat meluncur cepat membelah laut di kegelapan malam. Teriakan ceria anak-anak Ohoi Ad Wer Aur tak terdengar lagi. Mereka pasti segera tidur dan bersiap menjalani hidup yang keras lagi esok hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H