Mohon tunggu...
Pendidikan

"Freedom to Speak"

1 Desember 2018   21:28 Diperbarui: 1 Desember 2018   21:34 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan berbicara atau berpendapat dalam bahasa Inggris adalah freedom of speech, yang artinya kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian. Kebebasan untuk berpendapat diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang menyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat" dan juga dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 

Kebebasan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia, namun di negara kita Indonesia masih banyak terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan terhadap kebebasan ini. 

Khususnya akhir-akhir ini, banyak orang yang menyalahgunakan kebebasan berpendapat di media sosial sebagai sarana untuk menyebarkan rumor-rumor atau hoax. Hal ini dapat menjadi suatu kasus yang bahkan diambil tindak oleh pengadilan karena termasuk salah satu pelanggaran HAM.

Beberapa contoh pelanggaran hak berpendapat adalah sebagai berikut:

1. Perang Komentar di Dunia Maya

Waspada, internet adalah dunia yang ganas. Coba tulis sesuatu yang agak nyeleneh di twitter dan tak lama kemudian para netizen ganas datang bertubi-tubi. Sudah ada kesadaran bahwa lingkungan daring memang beracun dan ada upaya-upaya untuk meredamnya.

Sekarang ini, perusahaan-perusahaan besar internet memilih meredam secara tanpa pandang bulu. Misalnya sensor kebebasan berpendapat melalui penghapusan konten yang dianggap "beracun."

Dalam tataran praktis, itu berarti ada suatu algoritma yang menghapus komentar-komentar pembaca dari beberapa situs tanpa menunggu masukan dari moderator atau editor situs tersebut, seakan melangkahi mereka yang berwenang di situs yang terdampak.

Tapi, bukan algoritma itu yang menghapus hal-hal yang dianggap tidak pantas. Semua bermula dari diri kita. Jika kita benar-benar meyakini kebebasan berpendapat, maka pandangan yang paling busuk sekalipun sebenarnya memiliki hak untuk tampil.

2. Serangan pada Anonimitas

Pada 2014, kelompok Anonymous menguak rahasia sejumlah anggota kelompok rasis KKK dan mengunggah sejumlah identitas secara daring.

Sambutan hangat datang dari berbagai sisi, tapi ada saja orang yang kemudian salah menuduh orang lain yang bukan anggota KKK. Ternyata, ada bahaya lain terkait pengungkapan itu.

Dengan merampas hak kelompok rasis itu menyuarakan pendapat mereka, para peretas itu sebenarnya merusak kebebasan berpendapat bagi semua orang. Anonimitas memberikan kesempatan kepada kita semua untuk melontarkan kritik kepada pemerintah tanpa khawatir dihajar balik.

Tapi, bukan pengungkapan identitas itu yang paling berbahaya, melainkan cara kita memberikan tanggapan terhadap pengungkapan identitas tersebut.

Jika kita tenang-tenang saja menghadapi terkuaknya para pegiat yang lantang berpendapat, kita seakan sepakat bahwa ada segelintir orang yang tidak berhak berpendapat secara tidak dikenal (anonim).

Dengan demikian, orang bisa saja berhenti mengungkapkan isi hatinya karena khawatir identitas mereka disebarkan. Ketika orang takut mengungkapkan pendapat, habislah kebebasan berpendapat itu.

3. Peningkatan Kasus Penistaan

Kasus dugaan penistaan agama yang paling hangat adalah yang dialami mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Hakim memvonis Ahok dua tahun penjara dalam kasus itu.

Rupanya, kasus penistaan agama tak hanya terjadi di Indonesia. Sekitar seminggu lalu, Irlandia membatalkan kasus penistaan yang menyeret aktor dan komedian Stephen Fry dari Inggris. Irlandia memutuskan untuk tidak melanjutkan dakwaan terhadap Fry yang menyebut Tuhan itu "goblok."

Yang mencengangkan adalah adanya hukum tersebut. Tapi, contoh dari Irlandia itu hanyalah satu dari semakin banyaknya kasus penistaan yang mengancam kebebasan berpendapat di seluruh dunia. Di negara-negara berpenduduk Muslim, seseorang bisa dipenjara atau bahkan dihukum mati jika mencela Nabi.

Tapi bukan hanya di sana, karena, pada 2014 di Polandia, seorang penyanyi didakwa karena merobek Alkitab di atas panggung. Pihak berwenang Yunani pernah mendakwa seseorang yang mengunggah gambar biarawan Ortodoks dengan spageti yang direkayasa menempel di mukanya. Dua kasus itu rontok pada tahap banding.

Tapi, yang mencengangkan adalah kenyataan adanya proses pengadilan terhadap dua kasus itu. Hukum tentang penistaan itu sendiri tidak masuk akal, seakan Tuhan tidak cukup kuat berhadapan dengan foto spageti menempel di muka seorang biarawan.

Sementara itu, harian Independent di Inggris mengamati bahwa cukup banyak orang yang menanggapi pembantaian Charlie Hebdo pada 2015 dengan mempersalahkan para kartunisnya. Temuan itu dianggap menjadi dukungan diam-diam terhadap hukum penistaan.

4. Perang Melawan Jurnalisme

Sekarang ini, media sepertinya menjadi sasaran kebencian dari segala sisi. Memang benar, seorang jurnalis harus ditantang ketika menggunakan penelitian asal-asalan. Tapi, masalahnya adalah ketika orang mulai memandang jurnalis sebagai "musuh."

Seperti laporan Index on Censorship, iklim permusuhan seperti itu menjadikan 2016 sebagai tahun paling berbahaya bagi para jurnalis selama beberapa dekade belakangan ini.

Kebebasan pers berkaitan erat dengan kebebasan berpendapat. Jika seorang jurnalis tidak boleh melaporkan kisah yang menguak kebusukan penguasa, maka kita hidup dalam masyarakat yang anti-demokrasi.

Kenyataannya, pembungkaman pers semakin sering terjadi. Para wartawan seringkali dibunuh karena menuliskan kisah-kisah yang kurang berkenan di sejumlah negara semisal Rusia. Atau "diberhentikan" dari tugas seperti yang dialami 2500 wartawan setelah upaya kudeta terkini di Turki.

Hal demikian juga terjadi di Barat. Prancis telah meloloskan peraturan yang mengijinkan memenjarakan seorang jurnalis hingga 7 tahun kalau melindungi sumbernya. Presiden Donald Trump di Amerika Serikat juga telah mengancam membungkam pers dengan peraturan baru terkait fitnah.

5. Pemaksaan Budaya

Ketika bicara tentang serangan ganas terhadap kebebasan berpendapat, cobalah juga bicara tentang pemaksaan budaya. Jika merujuk kepada Wikipedia, disebutkan di sana bahwa hal itu dijelaskan sebagai "penggunaan unsur-unsur suatu budaya oleh orang-orang dari budaya lain."

Dalam tataran praktis, itu berarti bahwa bicara soal hal-hal yang bukan merupakan budaya kita dapat mengundang masalah. Misalnya, penulis J.K. Rowling (pencipta The Lord of the Rings dan lainnya) dicela karena menuliskan tentang tabib Pribumi Amerika dalam salah satu bukunya.

Mungkin tidak sejahat seperti menjebloskan jurnalis atau seorang terduga penista ke penjara, tapi sekarang ini kita sudah pada tahap berdiam diri dalam beberapa topik bahasan karena bukan berasal dari demografi tertentu.

Misalnya, ada saja orang yang mempermasalahkan penulis blog bukan keturunan China yang menulis tentang resep-resep makanan China. Ada yang tidak beres.

6. Pembunuhan untuk Pembungkaman

Ketakutan hilangnya nyawa karena memberikan pendapat adalah konsep yang melandasi assassin's veto -- yaitu pembunuhan untuk pembungkaman. Pembunuhan keji terhadap orang yang mengatakan sesuatu yang tidak disukai memang bisa membungkam seluruh pembicaraan.

Sekarang ini, cara 'veto' seperti itu masih berlangsung. Misalnya pembunuhan Theo Van Gogh, seorang pembuat film dari Belanda, terkait dengan filmnya yang berbicara soal penindasan kaum wanita Muslim. Demikian juga dengan pembantaian Charlie Hebdo dan pembunuhan bloggerateis dari Bangladesh.

Tapi, pembungkaman demikian bukan hanya terkait dengan pemeluk agama. Di Meksiko, para kartel narkoba menyiksa dan membunuh secara brutal siapapun yang lantang bicara menentang mereka. Hal serupa dilakukan oleh Mafia di Italia. Di Amerika Serikat, para pegiat pendukung dan penentang aborsi sama-sama mengalami dibunuh karena menyuarakan pandangan mereka.

Yang paling suram adalah kenyataan bahwa pembungkaman itu berlangsung dalam segala aspek. Pidato, pentas, konser, acara komedi, dan kuliah umum juga kerap dibatalkan karena adanya ancaman-ancaman. Dampaknya telah membungkam kebebasan berpendapat di seluruh dunia.

7. Protes Sebagai Senjata

Kebebasan berpendapat mencakup hak untuk memprotes pendapat yang tidak disetujui seseorang. Tapi ada bedanya hak demokratis untuk unjuk rasa dengan penggunaan hak itu untuk membungkam pandangan yang tidak disetujui. Dalam beberapa kejadian belakangan ini, para pengunjuk rasa malah lebih bertujuan sebagai pembungkaman pihak lawan.

Dari beberapa contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran dan penyalahgunaan kebebasan berpendapat sangatlah tidak sepele, maka yang sebaiknya dilakukan oleh kita dalam menggunakan kebebasan tersebut adalah dengan bertanggungjawab dengan mengetahui dan sadar akan batas-batas yang ada. Sebagai contoh jika di media sosial, kita harus mempertimbangkan baik-baik, jangan sampai merugikan orang lain. 

Kita harus memikirkan baik dan buruknya, jangan hanya berpikir pendek. Kita harus memikirkan dampak apa yang akan ditimbulkan jika kita mengeluarkan suatu pendapat di sosial media. Dan kita juga harus menghargai dan menghormati satu sama lain hak yang kita miliki agar tidak terjadi pelanggaran HAM.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun